I Miss You, Dell (3)

4 1 0
                                    

I Miss You, Dell (3)

"Jadi, kamu juga masih mencintaiku?" 

Kuulang pertanyaan tak tahu malu itu. Sudah kepalang basah. Aku harus tahu bagaimana perasaan Delland saat ini. Apakah cinta itu masih tersisa atau telah terkikis oleh waktu.

Delland mengalihkan pandangannya dari langit ke arahku. Ia sedikit menggeser tubuhnya hingga posisi kami berhadapan. Mata kami saling beradu. Delland mengulas seutas senyum yang mengandung 100 kwintal gula kapas. Manis banget. Ah, ciptaan Tuhan sungguh indah sekali.

"Alisha, sahabatku masa kecilku, aku memang mencintaimu dulu. Sangat-sangat mencintaimu. Kamu bukan hanya cinta pertamaku, tapi juga patah hati pertamaku.

Bahkan, sampai sekarang aku masih ingat banget gimana deg-degannya aku ketika bersama kamu. Kamu paling juga nggak sadar kalau aku selalu nungguin kamu di gerbang parkiran diam-diam. Hanya demi bisa melihat kamu pulang.

Aku rela begadang hanya untuk menjadi teman ngobrolmu ketika kamu belum bisa tidur, padahal aku sudah ngantuk banget. Tapi, aku sadar, momen seperti itu berharga banget buat aku.

Dan, kamu tahu, aku bahkan masih menyimpan radio yang kubeli karenamu."

"Radio?" tanyaku tak mengerti.

Delland mengangguk. Tangannya merogoh saku dan mengeluarkan ponsel. Lantas ia memperlihatkan foto sebuah radio jadul kepadaku.

"Radio itu kubeli saat aku  aku kelas 1 SMA. Nangis-nangis aku minta ke nenek untuk membelikannya. Sampai-sampai, nenekku heran, untuk apa minta radio. Tentu saja aku tidak bilang kalau radio itu untukku minta maaf sama kamu."

Delland tersenyum kecil mengingatnya.

* 12 tahun yang lalu *

"Hai, pendengar setia Suara Muda FM, kali ini aku akan bacakan satu kiriman SMS dari seseorang dengan nomor akhiran 656, request lagunya Filosofi yang judulnya Sadarilah. Lagunya buat buat sahabatku inisial Al yang tadi baru saja kukatai bodoh. Aku minta maaf, ya."

Suara penyiar radio favoritku malam itu kontan  membuatku melebarkan daun telinga. Al? Apakah maksudnya itu aku, Alisha?

Aku memang lagi bete banget sama Delland. Bisa-bisanya ia menyebutku bodoh hanya karena nggak bisa membedakan kabel data dan USB. Malu banget sebenarnya. Makanya, untuk menutupinya, aku pura-pura marah dan mendiamkannya. Ia juga nggak ada inisiatif untuk meminta maaf.

Untuk menghilangkan kekesalanku, aku memutar radio. Kebiasaanku setiap malam. Biasanya aku juga akan kirim SMS untuk sekadar request lagu atau kirim-kirim salam. Tapi, malam ini tidak kulakukan. Aku hanya tiduran sambil menahan kesal.

Alunan musik dari salah satu band Indonesia diputar. Inti liriknya kurang lebih tentang seseorang yang mencintai dalam diam. Cinta bertepuk sebelah tangan.

"Sudah dengar lagunya? Minta maafnya sudah dibacakan Mbak Penyiar, ya. Jadi aku nggak perlu mengulang lagi. Hehe."

Sebuah SMS dari Delland kuterima. Ingin kesal, tapi, apa yang baru saja ia lakukan itu manis banget. Tapi, sejak kapan dia juga suka mendengarkan radio? Ah, sudahlah, yang penting aku tidak bete lagi.

***

"Sampai sekarang radio ini bahkan masih ada. Kemarin pas aku beres-beres kamar, aku nemu ini. Langsung keinget sama kamu. Untung sempat aku foto," jelas Delland masih dengan senyumnya yang mengembang. Sepertinya ingatan masa lalunya tentang radio itu menghinggapinya.

Mataku kian saja basah oleh rasa haru dan bersalah. Mengapa aku tak pernah sadar kalau rasa Delland sebesar itu? Terbuat dari apa hatiku ini hingga tak sedikitpun menyadarinya?

"Dell, aku minta maaf, ya. Maaf untuk ketidakpekaanku, dan maaf karena terlambat menyadari perasaanku sendiri." Terbata kalimat itu keluar bersamaan dengan isak tangisku.

Delland mengulurkan tangannya dan menyeka air mataku.

"Sudah, dong. Masak sudah jadi Ibu Guru masih nangisan, sih," candanya. Duh, makin nggak kuat saja rasanya lama-lama berdekatan dengannya. Memandang wajah yang nyaris sempurna itu dari dekat, rasanya benar-benar ingin membuatku khilaf.

"Semua itu sudah berlalu, Al. Kamu nggak perlu merasa bersalah, karena masing-masing dari kita punya andil salah. Aku juga salah karena pergi begitu saja tanpa memberimu penjelasan. Tapi, di usiaku sekarang ini aku baru bisa menarik simpulan bahwa mau sekeras apapun kita berusaha, kita nggak akan pernah bisa bersama."

Aku mengernyitkan dahi.

"Kok gitu?"

"Ya, karena kita telah sejak awal berdiri di garis waktu yang salah. Kita bukan dua titik yang bergerak maju untuk saling menemukan. Tapi, kita dua titik yang berjalan berjauhan.

Dari SMP hingga SMA aku sudah menyukaimu lebih dulu. Sedangkan kamu, baru memiliki perasaan itu ketika beranjak mahasiswa. Dan, saat itu, perasaanku sudah tidak lagi untukmu. Bagaimana mungkin yang seperti itu bisa bersama, Al?"

"Kamu bilang tadi perasaanmu masih sama, baik dulu maupun sekarang?" protesku memintakan mengklarifikasi.

"Iya, memang benar. Cinta pertamaku itu kamu. Itu nggak akan berubah meski aku menemukan cinta kedua dan cinta kesekian. Tapi, ibarat cetakan foto, lama-lama gambarnya akan pudar juga. Meskipun kenangan di foto itu masih tetap ada.

Namamu masihlah punya tempat di hatiku, Al, walau sempit. Tapi, untuk mengulang lagi, tentu rasanya tak akan lagi sama. Masing-masing dari kita sekarang tentu sudah memiliki cerita masing-masing."

"Delland! Ternyata kamu di sini. Kucari-cari di dalam nggak ada."

Seorang gadis cantik dengan blazer pastel dan rambut terurai menghampiri Delland. Lelaki itu tersenyum menyambutnya.

"Iya. Nggak sengaja ketemu temen di sini. Oh iya, kenalkan, ini Alisha, sahabat masa kecilku dulu."

Aku mengulurkan tangan setelah diperkenalkan Delland. Perempuan cantik itu menyambut uluran tanganku. Meski mengulas senyum, tapi matanya tak bisa bohong kalau ia kurang menyukaiku.

"Oh, jadi ini orang yang sering kamu ceritakan itu? Kenalkan, aku Raya. Kekasih Delland. Dan, kita juga baru saja bertunangan."

Raya terlihat memamerkan cincin yang melingkari jari manisnya. Kecut hati ini melihatnya. Kuusahkan sebiasa mungkin agar mereka tak menyadari betapa nestapanya aku.

Sebuah senyum terpaksa kuberikan.

"Selamat ya, Dell. Aku turut bahagia."

Delland hanya mengangguk. Raya yang kini lebih aktif menimpali.

"Jangan lupa datang ya nanti di nikahan kita, karena kamu adalah orang yang sangat penting banget bagi pacarku. Sampai-sampai aku ikut hafal namamu bahkan sebelum kita ketemu hari ini."

Terlihat raut kekesalan di wajah Raya. Aku tidak mengerti apa yang ia katakan. Mungkinkan Delland banyak bercerita tentangku kepada kekasihnya sendiri? Untuk apa?

Delland dan Raya pamit dari hadapanku. Aku menolak ajakan mereka untuk jalan bareng kembali ke ruang pelatihan. Tak mau lebih makan hati berada di antara dua sejoli itu.

Apalagi, melihat Delland melingkarkan tangannya ke pinggang Raya. Ingin sekali aku menceburkan diri ke laut. Sayangnya, di kampus ini semuanya daratan.

Dering ponselku akhirnya menyadarkanku untuk segera kembali. Waktu ishoma telah usai. Aku bergegas karena ini waktunya penutupan. Tak lupa, aku bercermin dulu dan merapikan diri. Mataku terlihat sembab dan memerah. Ah, sudahlah.

Malam ini aku kembali pulang menggunakan kereta malam. Kupejamkan mata seraya mendengarkan musik dari earphone. Rasanya lelah jiwa raga. Apalagi, setelah adegan pertemuan dengan Delland juga kekasihnya tadi.

Ya, semoga saja itu bisa membuatku kembali sadar dan membunuh perasaanku ini. Kenyataan bahwa Delland sudah sangat jauh move on dan aku masih begini-begini saja, sungguh menyedihkan.

I MISS YOU, DELL (Cinta Pertama) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang