Sindrom Pra-nikah

1.1K 90 11
                                    

Aku mengeluh bosan, meski tanpa suara, harusnya dia cukup peka hanya dengan melihat helaan napasku berkali-kali yang kubuat seberat mungkin. Tapi aku nggak tahu sejak kapan Senja berubah jadi manusia berkulit badak yang nggak peka sama sekitar.

Sudah lima jam kita menghabiskan waktu di sini, tapi pria itu masih belum puas juga dengan apa yang bisa didapatkannya. Dia masih sibuk menambahkan beberapa detil yang dia inginkan pada tiap baju pengantin yang bakal aku pakai dari acara akad sampai resepsi nanti.

Padahal baju-baju itu sudah sangat pas menurutku. Sesuai dengan seleraku. Apalagi kebaya putih yang bakal kupakai pas acara akad nanti. Tadinya sih aku kepengen pakek kebaya warna hitam yang jadi most favoritku. Tapi ide itu langsung ditolak Senja mentah-mentah. Dia bilang, kita mau nikah dan itu adalah momen bahagia bukan momen berduka.

Dia kan cuma nggak tahu, itu memang momen berduka buatku. Emangnya lucu nikah dua kali dengan orang yang sama?

Alhasil, setelah tarik urat yang mengundang tanda tanya besar pada pelayan butik, karena kami lebih suka melakukan aksi saling gontok daripada berdiskusi dengan tenang, aku menyetujui keputusan Senja kalau kebaya hitam itu bakal dimasukin ke dalam bagian baju resepsi. Yah, seenggaknya aku nggak akan bikin Mama jantungan, karena anaknya pakek kebaya hitam pas akad. Juga, Bang Edo nggak akan menjewer kupingku karena aku berulah terlalu jauh.

"Masih lama, ya?" Tanyaku pada akhirnya, nggak bisa bersabar lebih lama lagi. Senja yang masih sibuk memberikan instruksi, menoleh padaku. Dan perlu ditambahkan, dia tampak nggak suka dengan aksi interupsi yang kulakukan.

"Apa?" Ketusnya, sama sekali nggak ramah. Aku mendengus melihat itu. Dan pada akhirnya, kami lebih mirip musuh yang akan saling bunuh daripada pasangan yang akan menikah.

"Aku lapar," kataku, nggak lupa memasang wajah termelas yang kupunya. Melihat hal ini, tatapan Senja yang judes minta ampun barusan itu lenyap sudah. Dia menghela napas sekali sebelum kembali berbicara dengan desainer pemilik butik.

"Oke, saya harap sisa waktunya cukup, nggak masalah kalo saya harus bayar lebih mahal. Lagipula, cuma penambahan beberapa detil," kata Senja sebelum berdiri dan menyalami si desainer. Aku juga ikutan menyalaminya dan tersenyum sok manis.

Senja nggak menungguku, dia malah berjalan lebih dulu dan jelas banget kalau manusia berjenis kelamin laki-laki itu sedang marah padaku. Tapi layaknya dia yang mempunyai kulit setebal badak, aku juga punya muka tembok yang bakalan kupakai untuk mengacuhkan amarahnya.

Berbeda dengan pagi ini saat dia menjemputku di rumah, dia yang tadi pagi pasang senyum sumringah menyilaukan mata saat membukakan pintu mobil untukku, kini dia cuma ngeloyor tanpa atensi apapun ke pintu bagian kemudi. Aku yang melihat hal ini cuma bisa memutar bola mata selagi menarik pintu mobil hingga terbuka.

Khas Senja banget kalau lagi marah.

Sepanjang perjalananpun kami cuma saling diam. Dan atmosfer di mobil ini drastis berubah sangat menegangkan. Bukan nggak mungkin kalau salah satu dari kita membuka mulut dan salah ucap, salah satu dari kita akan terkapar dengan telinga berdarah-darah di kursi mobil.

See, kita benar-benar mirip musuh dengan keinginan saling membunuh daripada pasangan yang dimabuk asmara dan akan menikah.

Dalam keadaan lapar begini, tentu aku memilih jalan aman dengan nggak mengkonfrontasi Senja lebih jauh. Keseriusannya memelototi jalan dan keningnya yang berkerut-kerut itu peringatan nyata buatku nggak cari gara-gara. Bukan nggak mungkin dia bakalan nurunin aku di jalanan kayak gini.

Sekitar dua puluh menit kemudian, akhirnya kita berdua sampai di sebuah rumah makan yang cukup terkenal di daerah ini. Setelah sukses memarkirkan mobil, Senja buru-buru keluar tanpa mau menungguku. Aku cuma bisa mendesah, setidaknya kami berhasil keluar mobil tanpa adu mulut.

MenggapaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang