Memaafkan

970 89 20
                                    

Kegalauanku kemarin berujung pada diriku yang menyibukan diri dengan merapikan dan membereskan rumah. Nggak lupa juga buat menengok tanaman-tanaman yang kurawat. Aku kira, Senja bakal mencariku ke rumah, mengingat aksi kabur kekanakan yang sudah kulakukan. Tapi sampai malam datang dan aku jatuh terlelap karena terlalu lelah, Senja nggak menampakkan diri.

Lalu pagi ini aku bangun kesiangan. Entah mana penyebab pastinya, kegalauanku atau efek lelah merapikan rumah yang membuatku terlambat bangun. Tapi hal itu sukses membuatku kelabakan sampai-sampai lupa kalau ponsel yang sudah kupretelin baterainya itu masih tertinggal di dalam tas yang kupakai kemarin saat fitting baju bersama Senja.

Aku pergi mengajar dengan terburu-buru, namun merasa bodoh saat sampai di meja kerjaku di kantor sekolah. Otakku yang tadinya sibuk memikirkan cara cepat sampai ke sekolah, kini mulai mempertanyakan rutinitas biasa yang anehnya terasa nggak normal untukku. Benakku bertanya-tanya, kenapa aku nggak memiliki ciri apapun sebagai pengantin yang akan menikah?

Well, akhirnya pagi ini, selama jam mengajar, aku membiaskan aura galauku kemana-mana. Aku yang terbiasanya cerah ceria menghadapi murid-muridku, pagi ini terlihat seperti orang bosan hidup. Wajah mereka yang menggemaskan nggak cukup untuk mengusir kegalauanku yang disebabkan dengan satu wajah tampan milik pria bernama Senja brengsek Adinaraya.

Menyedihkan.

Sekarang, aku termangu di tempatku duduk dengan ponsel di tangan, masih dalam keadaan terpisah-pisah. Dengan bodohnya menimang-nimang keputusanku untuk menyalakan ponselku lagi atau nggak. Pilihan yang seharusnya nggak perlu kubuat.

Benda itu memiliki fungsi vital dalam kehidupan jaman sekarang. Tapi untuk pertama kalinya aku takut untuk menggunakan benda itu. Kenapa?

Alasan pertama, aku takut kalau setelah kuhidupkan aku akan menerima pesan dari nomor Senja yang berisi pembatalan pernikahan kami.

Alasan kedua, aku takut sakit hati kalau ternyata pria brengsek itu malah nggak menghubungiku sama sekali. Mengingat dia juga nggak datang mencariku ke rumah, bukan berarti dia juga nggak berusaha menghubungiku, kan?

Well, yeah, maki saja perempuan jalang satu ini. Ternyata permasalahan hidupku nggak pernah jauh-jauh dari Senja.

Dobel menyedihkan.

Dilandasi rasa penasaranku, akhirnya aku kembali memasangkan baterai ponselku. Menunggunya beroperasi secara normal dengan jantung berdentum gila-gilaan. Perasaan yang bercampur jadi satu itu membuatku mulas sendiri.

Layaknya hidup dan matiku bergantung pada benda berbentuk persegi itu, aku menggenggamnya dengan mata terpejam. Konyol memang, tapi hidupku memang selalu konyol jika sudah menyerempet nama Senja.

Apa sih hebatnya pria satu itu selain kesuksesannya membuatku menyedihkan di lima tahun terakhir hidupku?

Oh yeah, Senja tampan sekalipun dia sudah nggak muda lagi. Senja masih punya badan yang bagus sekalipun—aku berani bertaruh—dia sudah nggak sengotot itu buat keluar masuk gym cuma buat membentuk tubuhnya. Dia juga punya aura menyebalkan yang membuatku tetap nyaman di dekatnya sekalipun keadaan di sekelilingku nggak bisa dibilang baik.

Kalau memang aku merasa sebergantung itu pada Senja, kenapa tiap kali dia di sisiku aku selalu saja bertingkah sok jual mahal dan selalu bersikap memusuhinya seakan-akan dia anak buah Hitler yang masih tersisa di muka bumi?

Kenapa—Ya Tuhan!

Aku terlonjak saat mendengar dering ponselku berbunyi secara tiba-tiba. Aku mengintipnya takut-takut—sedikit berharap juga kalau itu Senja. Tapi yang kudapati adalah nama Bang Edo yang berkedip genit di layar ponselku.

MenggapaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang