Prolog

38 2 1
                                    

Desir anila menyertai hamparan tepi laut. Sejuknya dan indahnya mahakarya Tuhan mungkin tak berarti bagi sebagian orang. Namun tidak, bagi insan kecil tak berdosa yang termenung menatap lembayung senja. Binaran pada kedua mata pria kecil itu sudah cukup menafsirkan betapa terpesonanya ia akan kebesaran-Nya.

Sementara, gadis kecil di sebelahnya yang tengah sibuk menggorek-gorek pasir, teralihkan pada pandangan terpukau sang teman.

"Gal, indah ya?"

Satu kalimat yang terlontar dari bibir mungil si gadis dengan rambut ikal dikucir dua, ternyata belum mampu mengalihkan pandangan temannya terhadap mentari senja.

Gadis itu melanjutkan kegiatannya, membangun rumah-rumahan dari hamparan pasir di pinggir pantai tempat mereka bermain.

"Aku bangunin istana buat kamu,"
Ia tersenyum simpul. Lalu tangan kecilnya menunjuk pada objek yang membuat si lelaki kecil terpukau.

Gadis itu berdiri, menjelaskan maksudnya pada si lelaki, menghalangi objek yang ditatapnya.

"Benda jingga itu, aku bakal terus suruh dia di sini buat kamu, ngga akan tenggelam! Nanti pas kita gede, kita bisa tinggal di rumah ini, sambil liat matahari!"

Perhatian lelaki kecil itu pada akhirnya teralih pada presensi sang teman.

"Terimakasih, Cel. Terimakasih sudah bawa aku kesini. Ini pertama kalinya aku lihat matahari yang secantik itu. Aku senang bisa main sama kamu"

Ia tersenyum dengan manisnya. Gara kecil yang malang, selama ini kehidupannya terbatasi oleh pagar panti asuhan tempatnya tinggal. Kehadirannya disini tak lain karena teman barunya, Sheila, yang memaksa sang ayah mengizinkan dirinya untuk ikut mereka berlibur.

Pantai itu tidak dibuka bagi masyarakat umum. Hiruk pikuk suasana yang masih asri dan keheningan selalu mewarnai pantai ini.

Saat itu, hanya ada kedua bocah dan ayahanda si gadis kecil di sana. Oh, serta beberapa anak kost-an ayahnya yang ikut berpartisipasi.

"Cel, matahari di ufuk sana memang indah."

Sambil menatap lekat kedua netra sang gadis, pria kecil itu nampak hendak membual dengan kalimat yang dilontarkannya.

Gadis itu hanya mengangguk.

"Tapi jauh sebelum melihat ini, aku sudah lebih dulu menjumpai sesuatu yang lebih indah"

"Apa?!?!" Kali ini lawan bicaranya membalas dengan ria.

Desiran angin membelai helai demi helai rambut ikal Sheila yang luput dari ikatan. Gara kecil menyilakkan helai-helai tipis rambutnya ke belakang telinga si gadis.

"Kamu"

"Saat berdiri membelakangi jingganya mentari, aku sadar. Sesuatu yang jauh lebih indah dan cantik ternyata ada di sisiku selama ini, sangat dekat denganku, bukan seperti matahari yang jauh"

"GEMBELLL!" Pekik Sheila yang menerima bualan pria di sisinya.

"Kata ayah, kayak gitu ngga boleh" gadis itu melanjutkan kalimatnya lalu tertawa kecil dibuatnya.

Keduanya tengah berbahagia dengan dunia mereka yang sederhana. Kala itu, pantai dihiasi keheningan, hanya desiran ombak dan tawa mereka yang menemani.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 18, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Anantara SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang