1. Semuanya Terkuak

129 43 56
                                    

~Happy Reading~

Rinai gerimis semakin menderas tanpa menghiraukan seorang gadis yang berlari
di tepi jalan dengan isakan tangis. Rasa penyesalan, kemarahan dan kekecewaan menjadi satu di renungan hatinya yang kini hancur lebur bak butiran debu.

"Aarrrggghh!" ia berteriak frustasi, duduk
di bangku panjang pinggir jalan dengan kepala tertunduk, kedua tangan yang menopang dan bahunya berguncang akibat tangisannya yang semakin tumpah ruah.

"Maafkan Aliva, Bu ...." bibirnya bergetar saat mengucapkan gelar nama seorang yang telah melahirkan serta membesarkannya.

"Aarrrgggh!" teriaknya meremas-remas rambut. Bayang-bayang perilaku kasarnya terhadap ibunya sendiri kembali menyerbu pikiran gadis itu, menciptakan rasa penyesalan yang menjadi-jadi.

"Tolong bantu ibu, Aliva." permintaan itu kembali terucap dari seorang wanita yang duduk di kursi roda. Sementara Aliva tetap asik pada ponselnya, bukan tuli tapi tidak perduli. Ia males menuruti permintaan ibunya, mengantarkan ke toilet.

"Ibu!" hardik Aliva, selepas lirikan matanya melihat rok sang Ibu basah dan mencium bau tak sedap menguar.

"Jorok banget!"

"Bisa nggak? sabar dulu!" Aliva menggendong tubuh ringkih ibunya setengah hati menuju toilet diiringi mulut mengeluarkan kata-kata menyakitkan.

"Bau banget lagi!"

"Selalu aja bikin repot!"

"Kapan sih Ibu berhenti ngerepotin?!"

"Capek gini terus!"

Gadis itu lupa saat ia masih bayi, tangan siapa yang lembut menenangkan tangisannya?  Siapa yang telaten membersihkan tubuh mungilnya? Dan siapa yang dengan sabar menggendongnya hingga tertidur lelap?

Ya, seorang Ibulah yang melakukan semua itu, dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Terkadang seorang anak lupa pengorbanan seseorang ibu yang telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuknya. Mereka lupa bagaimana ibu rela berkorban waktu, tenaga, dan bahkan mimpinya demi kebahagiaan anak-anaknya. Mereka lupa bagaimana ibu selalu ada di samping mereka, menyayangi dan melindungi mereka. Kasih sayang ibu bagai aliran sungai yang tak pernah kering, mengalir deras tanpa henti.

"Ibu udah gak kuat," lirih wanita setengah baya itu sembari mengurut-urut perutnya yang terasa sakit.

"Ah! Gitu aja gak bisa. Ibu aja selalu bikin repottt!" nada Aliva selalu tinggi dan kasar.

Malam hari.

"Nak, kamu mau kemana?"

"Mau jalan-jalan!" ketus Aliva didepan cermin, mengoles make up yang sedikit menor.

"Jangan, Nak. Ibu takut sendirian di rumah."

"Ibu tinggal tidur aja, udah beres!"

"Ibu akhir-akhir ini susah tidur."

"Alah, alasan Ibu!"

"Tolong, Nak. Untuk malam ini jangan kemana-mana," mohon Annisa, Ibu Aliva.

"Huuuh, Ibu! Aliva juga pengen jalan-jalan!"

"Tapi ... setiap hari kamu—''

"Ah, terserah Aliva lah!"

" Mau jalan-jalan kek, mau shopping kek, mau apa aja kek! Ibu gak usah ngatur-ngatur, deh!"

"Ibu harap kamu jangan pergi, Aliva. Ini udah malam."

"Bodo amat!" Aliva membanting pintu kamar ibunya dengan kasar, bunyi hentakan pintu terdengar nyaring. Menyeruakkan rasa sakit
di hati sang ibu, air matanya menetes di pipi,  mencerminkan kepedihan yang mendalam melihat keras kepala anaknya yang tak kunjung padam, terutama melawan perintahnya.

Hijrah Aliva Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang