4. Kabar Buruk

60 22 40
                                    


"Ummi?" Aliva bersuara, menoleh kearah
ke pintu yang berderit, menandakan ada kedatangan seseorang.

"Assalamualaikum, Nak Aliva," sapa Ummi Aisyah melangkah mendekat dan duduk
di sisi ranjang Aliva.

"Wa'alaikumussalam, Ummi. Ummi, orang tua Aliva mana? Kok nggak ada? Nggak dikabarin ya? Eh, Ummi apa belum tahu?" tanya Aliva, ia merasa sejak kemarin dan hari ini, tak adapun mendengar suara kedua orangtuanya. Di lubuk hati gadis itu sangat merindukan mereka. Sembari berusaha bangun, Ummi Asiyah tak tinggal diam, turut membantu Aliva menegakkan punggungnya. Duduk.

Hari ini, hari kedua Aliva sadarkan diri
dari komanya. Kondisi fisiknya menunjukkan kemajuan, namun psikisnya masih belum pulih sepenuhnya. Ia mudah murung dan sering menangis

"Nak ..." Ummi Aisyah menatap Aliva dengan sendu, tangannya meraih dan menggenggam tangan gadis itu. Sepertinya kini waktunya untuk membahas hal itu. Perkara yang sama, yang ingin ia bicarakan sejak Aliva pertama kali terbangun dari koma.

"Ummi, Aliva ingin bertemu Ibu dan Bapak. Ingin memohon ampunan mereka lagi ...." gadis itu menunduk. Air matanya tak kuasa membendung, selalu merembes deras ketika mengingat kedua orangtuanya. "Walaupun sudah telat ... Aliva harap mereka masih mau menerima Aliva," sambungnya lirih dan penuh penyesalan.

Ummi Aisyah tersentuh mendengar, hatinya kian merasa iba. "Nak Aliva, yang kuat
dan sabar ya Nak, menghadapi musibah ini. " wanita itu mengelus lembut pundak Aliva.

"Iya, Ummi. Terima kasih atas segala bantuan
dan perawatan yang telah Ummi diberikan.
Bolehkah Aliva pulang ke rumah hari ini juga? Aliva ingin bertemu dengan Ibu dan Bapak," pinta gadis itu penuh harapan sembari menggenggam tangan wanita bercadar dihadapannya dengan kedua tangan.

Ummi Aisyah menghembuskan napas panjang. "Nak Aliva, harus sabar dulu ya? Tunggu sampai kondisimu pulih. Nanti, kita ...." kalimat Ummi Aisyah menggantung, merasa tak tega melanjutkan.

Aliva mengerutkan kening. "Apa, Ummi?
Kok, tiba-tiba diam? Nanti kita apa?" tanyanya mendesak dan penasaran.

Kembali Ummi Aisyah menghela nafas, Wajahnya menunjukkan rasa iba dan simpati terhadap gadis di hadapannya, mengingatkan bahwa pembicaraan ini menyakitkan untuknya. "Nak, kamu harus kuat dan bisa menerima kenyataan bahwa orang-orang yang Nak Aliva cintai telah pergi lebih dahulu. Ingatlah, hidup di dunia ini hanyalah sementara, begitu juga dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Setiap makhluk akan menghadapi saatnya untuk pergi. Entah itu cepat atau lambat, setiap manusia akan mendapatkan gilirannya."

Kematian adalah bagian dari kehidupan yang tidak dapat dihindari. Setiap makhluk hidup, tanpa terkecuali, akan menghadapi akhir hidupnya pada suatu saat. Selain makhluk hidup, dunia dan segala isinya juga tidak abadi. Segala sesuatu yang dilihat dan
nikmati saat ini pada akhirnya akan
berakhir. Maka, jangan terlalu terlena
dalam kenikmatan dunia hingga
melupakan kehidupan setelah
kematian.

Kerutan kening Aliva semakin bertambah.
"Maaf, Aliva nggak ngerti maksud Ummi," jelasnya dengan raut tegang dan hati mengombak. Benaknya menebak-nebak
apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya?Berapa lama ia sudah tidak sadarkan diri?
Dan mengapa Ummi Aisyah berbicara
seperti itu?

"Apa, Ummi?" desak Aliva.

"Orang tuamu meninggal dunia, Nak." hanya beberapa kata itu yang mampu Ummi Aisyah ucapkan. Namun suara halus wanita itu bagaikan petir yang menyambar, seketika mengguncang jiwa Aliva.

"Orang tuanya sudah meninggal Karena kecelakaan motor saat mereka hendak berangkat keluar kota." Suara itu kembali mengalun di gendang telinga Ummi Aisyah.

Tubuh Aliva limbung, hampir terjatuh dari ranjang. Dunianya seolah runtuh dalam sekejap setelah mendengar kabar itu, beruntung Ummi Aisyah dengan sigap menangkapnya dan menariknya ke dalam pelukan. "Sabar, Nak.'

Aliva menggeleng. "Ng-nggak, mungkin! Orang tua Aliva masih hi-dup, Ummi!" serunya dengan tangisan. "Mungkin Ummi salah orang! Gak mungkin mereka ninggalin Aliva! Mereka pasti masih hidup, Ummi. Gak ada yang meninggal ... Iya kan, Ummi? Orang tua Aliva masih ada? Ummi cuma becanda aja, kan?"

Butiran bening keluar dari mata Ummi Aisyah saat melihat Aliva, yang meskipun matanya tertutup perban, seolah bisa menatapnya dengan penuh harap. Mencari kepastian atas apa yang baru didengar gadis itu dan meminta jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari bibirnya.

Ummi Aisyah hanya bisa menggeleng sebagai jawaban pertanyaan Aliva. Membuat gadis di hadapannya semakin terisak histeris karena tidak mendengar adanya jawaban atas pertanyaannya. Diam yang berarti tidak mengubah kenyataan pahit yang ia dengar.

Raungan tangisan gadis itu semakin menjadi
dan menghayati hati, kenang-kenangan akhir bersama kedua orangtuanya berputar di kepalanya. Menciptakan rasa penyesalan
yang tak terkira. Ummi Aisyah kembali memeluk Aliva. "Tenang, Nak... Tenang, sabar ... Sudah jangan menangis," ucapan wanita itu terulang-ulang. Berusaha menenangkan Aliva. Tangisan gadis itu terdengar sampai ke luar ruangan, membuat Ummi Aisyah khawatir akan mengganggu ketenangan pasien lain.

"Tenang, Nak ... Sabar ... Allah tidak memberikan ujian melebihi kemampuan hamba-Nya," ucap ummi Aisyah menepuk-nepuk lembut bahu Aliva. " Kamu pasti mampu dan kuat menghadapi musibah ini. Allah percaya pada mu, Nak. Bahwa kamu bisa menghadapinya. "

Aliva menggeleng lemah. Tangisannya meninggi-merendah."Kenapa mereka meninggalkan Aliva? Secepat ini, Ummi?"

"Mereka sudah ditakdirkan untuk pulang lebih cepat, Nak. ini sudah takdir Allah. Kita tidak bisa apa-apa jika ia sudah berkehendak. Kita hanya bisa menerima dengan sabar dan tabah walaupun terkadang terasa sangat berat. "

"Tapi kenapa harus sekarang? Aliva masih butuh mereka," Aliva menangis kian tergugu.

"Aliva belum sempat membahagiakan mereka, belum pernah membalas kebaikan mereka, Ummi. Bahkan belum meminta maaf atas kesalahan Aliva. Tapi kenapa mereka sudah pergi? Kenapa nggak Aliva aja yang mati!" ratap gadis itu, suaranya pecah bercampur tangis pilu dan tubuhnya
sampai bergetar.

"Ya. Allah ambil nyawa Aliva. Jangan mereka!'' lagi-lagi gadis itu memukul-mukul dadanya sendiri. Ummi Aisyah melepaskan pelukannya lalu mengusap air mata di pipi Aliva kemudian memegang kedua bahu gadis itu.

"Nak. Berprasangka baiklah kepada Allah. Mungkin Allah sangat menyayangi mereka dan menjemput mereka lebih cepat dari ujian dunia ini, sedangkan untuk Nak Aliva, Allah masih berikan Nak Aliva kesempatan untuk menjadi lebih baik lagi." ucapan Ummi Aisyah sedikit meredakan raungan gadis itu, yang hanya terdengar Isakan tangisannya yang tidak bisa langsung berhenti.

____

Akhirnya bisa up juga 😄😄
Maaf ye mau seabad up Nye😁
Silahkan kasih Krisan 🥰

Dan tinggalkan jejak ya

Berupa komen atau vote aja❤️
Kata orang bikin seneng orang itu dapat pahala jadi kalau kalian mau dapet pahala tinggal klik aja bintang atau komen pasti bikin author ini seneng kali🥰🫶

TBC.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hijrah Aliva Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang