36

287 67 2
                                    

***

Mereka turun bersama setelah Lisa mandi dan mengeringkan rambutnya. Lisa melangkah lebih dulu, dan Jiyong menyusul di belakangnya setelah menutup pintu. Pria itu perlu memakai sepatunya lebih dulu, karenanya, Lisa yang memakai sandal bisa keluar lebih dulu. "Karenamu, aku harus mengganti kode pintuku, oppa," kata Lisa, ia melangkah menuruni tangga dan Jiyong ada dua langkah di belakangnya.

"Kau tahu caranya mengganti kode pintu? Tidak kan?" jawab pria itu, sembari meledek.

"Aku bisa- oh... Bibi Oh? Ada apa-"

Lisa dan Jiyong sama-sama terkejut, sebab pipi Lisa baru saja ditampar. Bibi Oh yang melakukannya. "Ibu macam apa yang-" Bibi Oh akan memarahi Lisa. Jelas ia akan mengatakan banyak hal buruk, jika Lisa tidak menyelanya.

"Whoa... Kau baru saja menamparku, Bibi?" potong Lisa, yang kemudian balas menampar wanita paruh baya tadi. "Aku bodoh dan tidak berpendidikan, karena itu aku bisa membalasmu," katanya kemudian. "Kenapa? Terkejut? Sakit? Aku juga terkejut dan pipiku juga sakit. Karena itu, bicara saja. Tidak perlu mengajakku bertengkar, kau yang akan kalah," susulnya, lantas mengulurkan tangannya, menarik tangan Jiyong yang masih terkejut dan membuka rolling door binatunya. Ia menarik Jiyong menjauhi Bibi Oh, karena khawatir wanita itu akan menampar Jiyong—seperti tengah melindungi putrinya dari seorang penjahat.

Begitu binatu di buka, Lisa persilahkan Bibi Oh untuk masuk. Ia persilahkan juga wanita itu untuk duduk lantas menyajikan sebotol air mineral dingin padanya. "Tempel botolnya ke pipimu, Bibi," suruhnya kemudian. Lantas menoleh pada Jiyong, meminta bantuannya untuk membuka binatu, agar mereka bisa segera menerima pelanggan.

Begitu Lisa duduk di depan Bibi Oh, wanita itu menunjukkan raut marahnya. Marah juga takut karena merasa lawannya kali ini adalah wanita gila yang bisa melakukan apapun. Bibi Oh merasa terintimidasi setelah Lisa menamparnya. Sampai gemetar, wanita paruh baya itu menahan emosinya. Menahan rasa kesalnya.

"Kenapa diam saja? Bukan kah ada yang ingin Bibi bicarakan?" tanya Lisa kemudian. "Kalau begitu, biar aku yang bicara lebih dulu," pintanya kemudian. "Aku tidak suka caramu ikut campur, Bibi. Yina tidak ingin pergi bimbel. Dia ingin menggambar dan setiap akhir pekan dia pergi belajar menggambar. Jadi tolong jangan menyuruhnya datang menemuimu diakhir pekan, hanya untuk memaksanya pergi bimbel." Mendengar Lisa bicara begitu, dada Jiyong berdebar. Membuatnya merasa luar biasa bangga, pada gadis yang selalu kecil, selalu manis di matanya. Dia sudah dewasa, gadis kecil yang aku itu sudah dewasa—nilai Jiyong, sembari sibuk menyalakan mesin cuci.

"Yina bisa menggambar setelah dia masuk kuliah!" suara Bibi Oh meninggi, ia naik pitam setiap kali Lisa menjadikan gambar sebagai alasan menolak mengirim Yina pergi bimbel. "Kau benar-benar keterlaluan, kalau kau mau mendorongnya sedikit saja, Yina bisa masuk fakultas kedokteran. Dia berhak mendapatkan pendidikan terbaik, apa yang sulit dipahami dari itu?" kesal Bibi Oh, lagi-lagi mengulang kalimat yang sama. Berulang-ulang.

"Yina tidak menginginkannya," tegas Lisa, juga mengulang jawaban yang sama. "Kalau dia tidak menginginkannya, lalu apa yang bisa aku lakukan? Whoa! Aku benar-benar tidak bisa memahaminya, siapa yang bilang Yina harus masuk fakultas kedokteran? Kenapa anak yang tidak ingin jadi dokter harus masuk ke fakultas kedokteran? Putramu yang masuk fakultas kedokteran itu, apa pekerjaannya sekarang? Apa dia dokter sekarang? Dia bukan dokter, kan? Aku bahkan ragu dia lulus," susul Lisa, yang selama ini menahan semua pertanyaan itu.

Sebelumnya Lisa khawatir Bibi Oh akan berhenti membayar uang sekolah Yina, kalau ia melukai perasaan wanita itu. Kalau ia terlalu kasar padanya. Karenanya Lisa selalu menahan diri, ia hanya mengatakan apa yang perlu dikatakannya. Ia tahan semua perasaannya. Namun entah dapat keberanian dari mana, hari ini ia keluarkan semua kerikil-kerikil itu.

Bibi Oh marah dan mereka bertengkar hebat di sana. Lisa pun ikut marah, terlebih ketika Bibi Oh menyebutnya tidak bertanggung jawab. "Kau anggap dirimu hebat? Kau anggap dirimu bertanggung jawab? Kau hanya memanfaatkan anak itu untuk dapat uang dariku! Kau gunakan untuk apa uang itu? Berkencan dengan kekasih pengangguranmu itu?!" marahnya, menunjuk-nunjuk Jiyong yang bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Jiyong sama sekali tidak terlibat dalam pembicaraan itu, ia justru tengah mencuci pakaian, bergerak dengan sangat pelan agar keberadaannya tidak mengganggu pertengkaran itu. Layaknya seorang anak tetangga yang diabaikan ketika orangtua temannya bertengkar.

"Bibi benar-benar keterlaluan sekarang. Aku tidak bisa menahannya lagi," kata Lisa, tenang namun tetap terlihat marah. Rahangnya mengeras, dengan tangan terkepal menahan amarah. "Kalau Bibi ingin membicarakan tentang tanggung jawab, siapa yang harusnya bertanggung jawab? Aku? Bukan putramu? Bukan Bibi? Bibi yang ingin Yina tetap disini, agar tidak mengganggu putramu dan keluarganya. Selama ini aku mengalah karena kasihan padamu-"

"Apa katamu?!"

"Aku kasihan padamu. Hanya putramu satu-satunya itu yang bisa kau banggakan, tapi dia mengecewakanmu. Menghamili kekasihnya, lalu dicampakan, putus kuliah dan hampir bunuh diri. Kau pasti sangat kesulitan karenanya. Tapi, bagaimana ini? Bibi sepertinya tidak pernah belajar dari pengalaman itu," sinis Lisa. "Tolong berhenti menemui Yina. Tidak perlu lagi membayar sekolahnya, tidak perlu memberinya uang saku, tidak perlu menghubunginya. Kalau kau merindukannya, aku akan mengirimimu fotonya, jadi jangan menemuinya lagi," kata Lisa, ingin memutus hubungan antara Yina dengan nenek kandungnya.

Sekali lagi Lisa dimaki, dianggap kurang ajar, tidak berpendidikan dan tidak tahu terima kasih. Bibi Oh mengungkit semua hal yang sudah ia berikan, namun Lisa hanya diam, berlaga mendengarkannya. Sampai wanita itu akhirnya bersumpah tidak akan membantu mereka lagi. "Lihat saja! Kau akan menghancurkan hidup Yina!" ancam Bibi Oh. "Meski nanti kau memohon, aku tidak akan memaafkanmu! Kau akan menyesalinya!" marahnya, sebelum kemudian ia membanting pintu binatu itu dan pergi dari sana.

Lisa tetap diam di kursinya. Duduk tanpa mengatakan apapun, bahkan menahan nafasnya. Ia tetap diam, sampai mobil Bibi Oh tidak lagi terlihat, sampai Jiyong menyentuh bahunya. "Kau baik-baik saja?" tanya Jiyong, membuat Lisa menoleh juga mendongak untuk menatapnya.

"Tidak," geleng Lisa. "Aku takut sekali," susulnya, disusul deru nafasnya yang cepat dan keras. Ia terengah-engah, merasa kalau paru-parunya terus kekurangan oksigen sebanyak apapun ia menarik nafas. "Bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan? Dia pasti sangat marah. Bagaimana kalau dia benar-benar berhenti membayar uang sekolah Yina? Augh! Aku harusnya berfikir dulu sebelum bicara!" rengeknya kemudian, lalu membentur-benturkan dahinya ke atas meja di depannya. "Bodoh! Kau bodoh, Lisa... Kenapa kau tidak berfikir dulu sebelum bicara?! Yina masih harus pergi kuliah! Kenapa kau tidak bisa bersabar sedikit saja?!" omelnya, pada dirinya sendiri. Penyesalan ternyata datang begitu cepat.

Jiyong mengulurkan tangannya, ke bawah dahi gadis itu. Menahan dahi Lisa agar berhenti memukul meja. Sebelah tangannya ia pakai untuk mengusap-usap bahunya, sembari berfikir—apa Lisa akan tersinggung kalau ia bilang, ia bisa membayar semua biaya itu? Namun sebelum pria itu membuat keputusan, untuk menawarkan diri atau tidak, Lisa sudah lebih dulu mengangkat kepalanya. Mengeluarkan handphonenya untuk membuka aplikasi perbankannya.

"Tiga juta di kali dua belas- ah tidak sebelas. Tiga puluh tiga, di tambah biaya kuliah sekitar lima puluh? Apa biaya kuliah sampai lima puluh juta? Sampai lulus?" tanyanya, pada Jiyong di sebelahnya.

"Mungkin?"

"Augh! Mahalnya-"

"Kau menabung sebanyak itu?" tanya Jiyong, tidak sengaja melihat delapan deret angka di rekening tabungan Lisa.

"Mana mungkin," gadis itu menggeleng. "Ini uang yang Bibi Oh tadi bicarakan. Kompensasi karena aku menjaga Yina, termasuk uang tutup mulut agar aku tidak memberitahu putranya tentang Yina," jawab Lisa.

Kali ini, Jiyong yang meninggikan suaranya. Benar-benar terkejut. "Dia hanya memberimu delapan puluh juta untuk belasan tahun waktumu menjaga cucunya?! Dan mulutnya masih bisa sekasar itu padamu?! Apa kau bodoh?! Kenapa mau ditindas olehnya?! Bahkan baby sitter dibayar lebih mahal darimu!" omel Jiyong, tiba-tiba meledak.

"Oppa..." suara Lisa melemah, hampir menangis karena kaget. "Kenapa aku yang dimarahi?" bingungnya, dengan suara yang bergetar.

***

Introducing Me (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang