1. Permulaan

36 4 4
                                    

"Andai saja ia tahu, ada yang remuk tak terkira ketika kita yang sudah sedekat ini tiba-tiba menjadi asing di kemudian hari"

...

Ketukan yang dilontarkan ke atas lapisan papan kayu bersalut plastik yang menjadi penghalang antara kedudukannya saat ini dengan bahagian luar toilet semakin lemas terdengar. Sisa baki tenaga telah dipancu habis. Memar di jari semakin terlihat jelas.

"T—tolong.."

Suara kian memelan. Mungkin pita suaranya telah lekat bersamaan kerongkongnya yang kian merasa perit. Badannya menggigil ketakutan saat dirinya dikunci seorang diri dari luar.

Lampu yang ditutup habis menambah gelojak resah dihatinya. Hanya kegelapan yang mampu ditangkap oleh netranya. Rasa sesak membuatkan perutnya menolak habis sisa didalamnya. — Ia lemas.

Diluar masih kuat terdengar tawaan yang dilontarkan dari beberapa kawalan lelaki. Mungkin bangga atau puas dengan aksi mereka sebelum perlahan-lahan kaki mereka dibawa pergi meninggalkan kawasan tersebut.

"Ku—mmohon, keluarkan aku.."

Namun tiada, hanya hening! Dan saat itu perlahan-lahan kesadarannya diambil paksa.

.

.

.

"Mew-mew"

"Hm?"

"Ayuh pusing taman"

Dua sahabat rapat itu terlihat tidak ada yang mahu mengalah. Jika langkah yang muda sedikit kedepan, maka yang tua akan cepat memintas membuatkan yang muda semakin memuncungkan bibirnya kedepan. Tanda tidak berpuas hati!

"Ah, aku lelah" itu adalah kata keseratus kalinya yang sempat ditangkap oleh telinga Mew setelah melakukan larian yang tidak sampai 15 minit.

Melihat yang muda sudah mendudukkan bontotnya di atas hamparan rumput hijau membuatkan Mew langsung menggedong tubuh kecil itu bagai karung beras sebelum diletakkan di atas bangku tersedia.

"Lihat, celanamu habis kotor" Ujar Mew manakala tangannya bergerak lincah menepis habis rumput kering yang melekat.

"Hehe, kan ada kamu buat tolong cuci" — Mew merengus.

Keringat yang menempel di dahi dan pipi memberikan nikmat dingin kala udara sejuk ditiup kearah mereka.

Mew tersenyum hangat saat melihat Gulf yang senang dengan aktivitas mereka petang ini.

"Mew mew, aku mahu lihat tasiknya"

"Ayuh"

Bertemankan matahari yang semakin ingin menghilangkan diri itu, Gulf menghempaskan satu helaian nafas kasar sebelum menggengam erat telapak tangan Mew.

"Mew mew, berjanjilah untuk sentiasa denganku"

Dan bersaksikan langit yang semakin menunjukkan warna kekuningan serta deruan angin yang sesekali membelai rambut mereka berdua, Mew mengangguk mantap.

"Aku janji"

.

.

.

Mata bening itu perlahan-lahan terbuka dan memberikan celah kepada cahaya untuk masuk kedalamya. Tangannya yang terasa digenggam dengan kuat mengalihkan kesedaran untuk berpusat pada wanita separuh usia yang kini terus menunduk.

"Bun"

Intensiti wanita itu terus berubah. Menatap lekat ke arah wajah anaknya itu.

"Anakku, anak kesayangan bunda sudah sadar" ujar wanita itu. Suara yang bergetar menandakan saat ini ia sedang berperang dengan dirinya agar tidak langsung memeluk anaknya. Tubuh itu masih memerlukan rehat.

Dari pintu ruang rawat sudah terdengar suara nyaring dari Beta.

"Gulf!"

Dan setelah itu tubuh kecilnya itu langsung menjadi mangsa pelukan sang kakak. Membuatkan bunda mereka menatap dengan penuh risau.

"Kakak, jangan ganggu adik kamu" lantas tubuh itu ditarik paksa oleh sang ibu menjauh dari adiknya.

"Iya" Beta mengangguk pelan. Netranya masih menatap ke arah adikknya.

"Adiknya kakak, cepat sembuh ya. Kakak sedih lihatnya" Kemudian Beta melabuhkan satu kecupan di pipi halus adiknya.

Bunda Jihan tersenyum.

"Ayah..hikss"

Saat perhatiannya tertumpu pada ayahnya yang berada disebalik bundanya, tangannya langsung terkapai di udara meminta peluk. Seakan mengerti, ayahnya langsung menawarkan tubuhnya. — Anak manja ayah Maxin

Bunda Jihan serta Beta menatap penuh kasih melihat keakrabatan pertalian darah antara keduanya.



...Bersambung...

𝒯𝒽𝑒  𝓁𝑜𝓃𝑒𝓁𝓎  𝓉𝓇𝒶𝒸𝓀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang