2. Menuju Kehancuran

18 4 0
                                    

"Sekeras apapun kamu menjaga, sekuat apapun kamu pegang, se-erat apapun kamu memeluk, yang pergi akan tetap pergi. Jelas, harapan adalah akar dari semua rasa sakit"

***

Seminggu telah berlalu setelah Gulf dibenarkan pulang dari rumah sakit. Anak itu sudah kembali aktif namun tetap saja masih memberikan rasa khawatir dalam diri keluarganya. Sikapnya yang terkadang murum membuatkan yang lain dapat meneka bahawa Gulf seakan menyimpan satu rahsia.

Bila ditanya apa yang berlaku sehingga membuatkannya terlantar di rumah sakit, namun hanya di balas dengan gelengan. Atau dengar cepat ia menukar arah bual bicara — Anak itu benar-benar tidak boleh di interview!

"Gulf, Mewmu datang. Cepat turun dan sambut pacarmu itu". Beta menjerit sambil mengendur kuat pintu kamar adiknya setelah ia tidak berjaya membukanya.

Didalam, Gulf menarik nafas panjang sambil meremat kasar hujung bajunya.

"Dum dum dum!"

"Kakak!" Beta terkekeh kecil. Namun sempat sekali lagi dia mengetuk kuat pintu kamar berwarna putih itu sebelum cepat-cepat membolos diri ke arah dapur.

Menukar pakaian kepada yang lebih sesuai, Gulf mengatur langkah menuruni tangga dan berjalan ke arah tubuh kekar yang berada disebalik sofa.

"Mew"

Mendengar namanya dipanggil, Mew langsung berpaling ke arah suara tersebut. Sebuah senyuman dilemparkan. Namun Gulf dapat merasa ada yang kurang. Ya!—Senyuman itu tidak sehangat yang dulu.

"Ada yang ingin aku bicarakan". Gulf mengangguk faham.

"Sebentar". Setelah kalimah itu meluncur keluar dari bibir munggil Gulf, anak itu langsung bergerak ke arah dapur. Meninggalkan sebentar Mew bersama ayahnya.

.

.

.

"Bunda, aku keluar sebentar bersama Mew ya". Gulf meminta izin. Tangannya memeluk tubuh bundanya dari arah belakang manakala dagunya diletakkan di atas bahu kanan. Aksi itu telah menghentikan kegiatan Bunda Jihan dengan adunan tepungnya. Mungkin ingin membuat biskut lagi.

Dari sebelah meja yang lain, Beta menatap dengan wajah yang penuh dengan ekspresi ingin tahu. "Kakak heran, kenapa Mew baru muncul saat ini. Kenapa tidak saat kau dirawat di rumah sakit? Apa kalian ada masalah?" Beta memulakan aksi intogasinya.

"Mew sibuk kak"

"Kakak tidak percaya" Dibawa dirinya mengelilingi tubuh sang adik. Melihat dengan teliti jika Gulf sedang berbohong atau tidak. "Cepat katakan yang sejujurnya, atau kakak tidak izinkan kau keluar bersama Mew". Ancamnya.

"Bundaa, lihat kakak!" Pekik Gulf sambil menghentakkan kedua belah kakinya sehingga menarik perhatian sang ayah untuk berlari ke arah dapur.

"Ada apa?"

"Kakak ngelarang aku untuk keluar" Adu Gulf membuatkan Ayah Maxin dan Bunda Jihan menggeleng kepala.

"Pergilah, Mew sudah lama menunggu. Ingat jangan pulang malam dan jaga diri. Dan Beta, jangan menjahili adikmu seorang diri.  Tidak seru loh kalau Ayah tidak diajak". Ayah Maxin menambah membuatkan Gulf semakin memanjangkan acara merajuknya.

"Anak Ayah sudah besar rupanya"

.

.

.

Di sinilah mereka berdua saat ini. Dikerumuni dengan dedaun hijau yang ditata indah beserta beberapa fasilitas umum yang memang khusus disediakan di taman hiburan.

𝒯𝒽𝑒  𝓁𝑜𝓃𝑒𝓁𝓎  𝓉𝓇𝒶𝒸𝓀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang