Musim semi itu, aku mengembalikan tasbihnya yang jatuh.
Tiongkok, Shanghai, Huangpu, musim semi.
Di tengah musim semi, matahari terbenam.
Embusan angin membawa sejumlah kelopak bunga sakura dan mendarat dengan lembut di bawah telapak tanganku. Kendati kemudian, bibirku menarik senyuman. Aku duduk di bangku taman; melepas tas dan mengambil buku diary.
Ketika pena menyentuh kertas, aku menulis frasa dan mengabadikannya di buku ini.
3-21
"Bunga tidak mekar ratusan hari, hidup manusia tak selamanya mulus."
Bunga tidak akan mekar, wangi dan indah selamanya. Suatu hari nanti ia akan layu, rusak dan mati. Seperti layaknya manusia tidak akan sehat, muda, cantik, ganteng selamanya. Suatu saat pasti akan menjadi tua, keriput, sakit dan akhirnya meninggal. Begitu juga dengan makhluk hidup lainnya. Pada dasarnya, hidup itu indah adanya, hanya saja semua tergantung bagaimana cara kita menafsir dan menyikapinya.
Akan tetapi, banyak manusia memanfaatkan keindahan mereka untuk hal yang tercela hingga terjerumus asusila, bahkan hal yang tidak manusiawi. Meski begitu ada beberapa manusia yang menjaga keindahan mereka, teman, keluarga, dan orang terkasih. Bagaikan bunga musim semi yang indah dan langka, menjaga dengan kelembutan akan sarat melindungi.
-Ma Huan-
Aku berhenti menulis dan memasukkan buku diary ke dalam tas. Berdiri dan melangkah meninggalkan bangku taman itu. Pagi ini adalah hari yang begitu cerah dan nyaman bersamaan kelopak bunga terus-menerus melayang di udara dengan lembut hingga menutupi jalan. Aku melihat sekelilingku, tak jarang banyak pekerja dan pelajar berlalu lalang dan kendaraan bising di tengah jalan.
Begitu juga aku, mahasiswa semester akhir, jurusan Sosial dan Humaniora dari Ningxia, Yinchuan. Sudah genap sepekan aku berada di Shanghai dalam rangka membuat skripsi kehidupan sosial muslim di Shanghai.
Oleh sebab itu, aku sedang dalam perjalanan menemui seorang narasumber yang diperkenalkan oleh dosen Mo Xun ahli Agama Islam.
***
Pukul 10:32 AM.
Aku telah sampai di tempat pertemuan; Restaurant Jia Jia Tang Bao.Tring-
Aku melihat ponselku, notifikasi nama 'Narasumber Indonesia' chat dikirim dalam bahasa inggris: 'I'll be there in a minute, send us the table numbers we're seated in later.'
'Okay.'
Aku mengambil tempat di bagian barat, paling tengah, dari kebanyakan tempat yang sudah diisi. Hanya tempat ini yang nyaman untuk berdiskusi.
15 menit.
Dia belum sampai.
Aku sedikit gelisah dengan pikiran pesimis yang berkecamuk.
Apakah dia akan membatalkan pertemuan?
Dan...
Apakah dia adalah penipu yang berbohong bawah dia narasumber dari Indonesia?
Atau-
Aku menggeleng kepala berusaha menepis semua prasangka.
Ah tidak, demi Allah aku tidak harus berprasangka.
Mungkin dia sedang terjebak macet.
Aku mengangguk dengan senyuman teduh dan bergumam, "Yah, kemungkinan begitu."
Prang!
Aku tersentak, sontak menoleh ke arah suara barang pecah terjadi.
Dua orang wanita, yang satu wanita muslim bercadar dan bersyar'i dan yang lain pekerja restoran ini, dengan nampan dan pecahan keramik di lantai, dan...
Ada sebuah tasbih di antara pecahan dan kuah berserakan.
Tampaknya wanita muslim itu yang bersalah.
Wanita muslim itu meminta maaf dan membantu membersihkan pecahan di lantai, tetapi wanita pekerja itu menepis tangan wanita muslim yang mengambil pecahan hingga jari telunjuknya tergores. Dia memegang jarinya. Sedangkan wanita pekerja mencaci maki dalam bahasa mandarin yang kurang mengenakkan. Wanita muslim menundukkan kepalanya tanpa melawan.
Sepertinya, dia tidak mengerti apa yang wanita itu katakan.
Aku merasa sesuatu yang biasa.
Padahal ini masalah sepele, bukankah hanya dengan memberinya uang ganti rugi sudah cukup?
Mengapa harus membuat drama seperti ini?
Dan orang-orang ini tidak membantunya bahkan ada beberapa yang menuli, ikut mencacinya, dan sebagian sebagai penonton.
Ini menbosankan dan jengkel.
Aku merasa tidak tahan, meski aku bukanlah seseorang yang ingin ikut campur urusan orang lain dan bukanlah pahlawan kesiangan.
Akan tetapi, sesuatu menggerakkan hatiku untuk membantunya.
Aku menghampiri mereka, saat aku berada di hadapan mereka, wanita itu berhenti menatap dengan tatapan marah. Aku menatap wanita muslim itu, tetapi dia menunduk.
Aku mengambil tasbih di lantai dan mengembalikannya ke wanita muslim. Dia menatapku sejenak dengan mata legamnya yang indah, aku melihat punggung tangannya berhias henna bergerak mengambil tasbih di telapak tanganku.
Sejenak dia menatapku, dan matanya menunduk lagi.
"Thank you."
Dia memiliki suara yang indah.
Aku berbalik menatap wanita pekerja itu.
Kemudian aku berkata, "Sudahlah, jangan memarahinya lagi."
Wanita itu berkata dengan marah, "Wanita muslim ini, memecahkan mangkuk keramik mahal!"
Lalu aku bertanya pada wanita itu, "Berapa harganya?"
Dia kemudian menjawab, "4 ribu Yuan."
"Aku akan membayarnya ke bosmu."
Wanita itu menjawab, "Baiklah ikut aku."
***
Hawa Al Fatih Khairiyah
Asal Indonesia.
Seorang Ning, anak pemilik pondok pesantren.
Wanita yang salehah, pintar dalam ilmu material maupun non-material, dia bisa berbahasa Inggris, Arab, Prancis, Spanyol, baik, lemah lembut, tutur kata yang baik, dan pemalu.Ma Huan
Seorang mahasiswa semester akhir, jurusan Sosial dan Humaniora
Dia bukan orang yang suka ikut campur dalam masalah apapun, orang yang baik, penyanyang, kalem, logis, saleh, pintar, dan pandai berkomunikasi.
Dia beragama muslim seorang pria China keturunan suku Hui yang etnisnya kebanyakan muslim.
Memiliki tunangan.
YOU ARE READING
Hawa Ciptaan Allah.
RomanceHawa wanita penuh dilema bertemu dengan Ma Huan Atas Kehendak Allah.