Kiora - Tak Pernah Dilahirkan

5 0 0
                                    

Loctanus kini hanya debu yang berbisik. Langitnya kosong, tanahnya retak, nyanyian hidup berubah menjadi ratapan tanpa suara. Di atas altar, bayangan memudar, meninggalkan dingin dan jejak yang hanya membakar ingatan.

Namun, di celah antara waktu dan kematian, Kiora berdiri di depan pintu yang tak bernama. Simbol-simbol di atasnya berdenyut, bernapas dengan ritme yang tak manusiawi. Tangannya terulur mengusap ukiran kasar, sementara dari balik pintu terdengar suara rantai yang mengerang.

“Kau merasakannya, 'kan?” Kiora berbisik, suaranya seperti racun yang manis. “Kegelapan telah menang, namun terlalu sunyi tanpa dirimu. Dunia ini retak, dan retakan itu memanggilmu.”

Pintu itu gemetar, celah kecil terbuka, memancarkan cahaya putih menyilaukan. Dari dalam, suara muncul, rendah dan berlapis, seperti banyak jiwa yang berbicara sekaligus.

“Apa yang kau bawa untuk memanggilku dari penjara ini?”

Kiora tersenyum samar, matanya redup, penuh rahasia yang tak bernama. “Hanya penutup lubang ... dan janji akan sesuatu yang lebih.”

Celah itu tertutup, meninggalkan bisikan yang menggema di kekosongan. Di kejauhan, dalam gelap yang tak berujung, sebuah cahaya kecil mulai bergetar, hampir tak terlihat.

Apakah itu harapan, atau awal dari kehancuran yang baru? Hanya bisikan abadi yang tahu jawabnya.

***

Kiora berdiri di tepi danau Nythera. Airnya berkilau bagai permata dengan pantulan cahaya semu nan lembut. Udara di pulau Capgini yang melayang itu menguar segar, namun Kiora tak merasa tenang. Sebagai sosok penjaga rahasia ia membenamkan dirinya dalam air demi menekan rasa yang mengganjal itu.

Tak seberapa lama ia menatap air dari dalam sana suara denting mesin terdengar dari atas, melihat Dexlers sedang mengotak-atik suatu benda. Lalu tersenyum ketika salah satu tombol ditekan olehnya menyebabkan benda itu berfungsi sambil mengeluarkan dentingan yang indah.

"Kiora?! Bisakah kau ke sini? Tolong lihat apa yang akan terjadi pada ciptaanku yang satu ini!" katanya Antusias membuat Kiora tertarik. Gadis bertelinga aoa itu mengayun airnya dan dengan cepat melesat ke arah sana, melihat hal yang jauh lebih jelas dari mata suram yang berfungsi bagai sihir di udara.

"Ah, dia akan terbakar sama seperti taman Algaeaea nanti ...."

"Yah, sangat disayangkan. Tapi, bagaimana pun penebusan yang datang itu akan mengembalikan hilangnya bukan?" balas Lytrom datang dengan anggun yang diangguki oleh keduanya.

Kemudian mereka bertiga teralihkan ketika kepakan sayap megah di atas sana begitu ricuh. Pollum dan Synlus entah kenapa sedang bermain di udara, membuat yang lain menggeleng karena terbiasa dengan sikap mereka yang seperti itu.

Kiora pergi dari sana, menyusuri jejak tanah yang lain di Capgini. Melihat kegiatan penjaga cahaya lain–Xyergi duduk memerintah sambil mengamati di atas singgasananya, lalu Thamar mencoba mengendalikan laut lebih terampir.

Ranlum yang tengah menari bersama Pochre begitu indah di bawah pohon musim, Tergi menenun benang bersana Prostor serta Gamar yang sedang memeluk akar-akar tanaman.

Hingga akhirnya kaki Kiora berhenti di depan kuil suci. "Kiora, apa yang kau lihat hari ini?" tanya Foslux-Skobris pada Kiora, membuat sang gadis menunduk merenung.

"A-aku ingin bertanya pada Ruang dan Waktu, karena mata ini seakan menggerogoti kebebasanku."

Dewi kegelapan dan cahaya itu terdiam, lalu ia menyamakan dirinya setinggi Kiora. Memegang pundaknya sambil menatap mata itu lamat-lanat, "Tenanglah, kau akan baik-baik saja."

Hole of Universe || Awakening✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang