2. Kecelakaan

81 37 30
                                    


Aliva berlari mengajar mobil mereka dengan mulut mengeluarkan berbagai nama binatang buas. Berlari hingga akhirnya sampai di jalan raya yang besar, di mana kendaraan bergerak dengan beragam kecepatan.

Aliva terus memaki-maki dan tidak segan-segan melempari batu, mengakibatkan dirinya tidak fokus pada sekitar. Tanpa sadar, ia sudah hampir ditengah jalan.

Tiba-tiba, terdengar suara klakson yang memekakkan telinga beradu nyaring dengan gemuruh hujan. Gadis itu terkejut dan tak bisa lagi menghindar, ia tertabrak. Tubuhnya terhempas ke udara, terjatuh dengan keras dan terguling-guling sejauh 5 meter sampai menghantam sebuah batu yang cukup besar.

Dalam sekejap, Aliva merasakan rasa sakit luar biasa yang menusuk tubuhnya. Luka-luka terbuka dan darah mulai mengalir. Hujan deras semakin membuat lukanya perih dan membasahi tubuhnya yang lemah.

"Ibu ...."

"Bapak ..."

Bayangan wajah kedua orangtuanya tiba-tiba muncul. Senyuman, tawa dan berbagai ekspresi meraka yang selalu menghiasi hidupnya berlahan berubah buram
kemudian gelap total.

Keadaan sekitar tidak ada para warga karena di tempat itu hanya ada ruko-ruko yang sudah tutup karena hari menjelang petang dan orang-orang lebih suka berdiam diri dalam rumah masing-masing di suasana hujan lebat.

Beruntung mobil yang telah menabrak Aliva berhenti dan keluar dua manusia yang berbeda jenis dan usia tampak sangat panik terutama seorang wanita yang mengenakan pakaian hitam panjang dan bercadar.

"Allah Akbar!" pekikan wanita itu saking paniknya melihat kondisi Aliva yang memprihatinkan. " Nak, bertahan ya!"

Dengan mata yang terpejam sempurna, Aliva tergeletak tak berdaya di tengah keadaan yang memilukan. Darah merah bercampur dengan genangan air hujan, mengenangi sekeliling Aliva, menciptakan pemandangan yang tragis dan menyayat hati.

"Tolong cepat angkat, Nak!"

Dalam keadaan mendesak, lelaki dengan baju gamis putih dan seketika berubah warna oleh darah Aliva. Ia mengendong gadis itu dan memasukkan ke dalam mobil mereka, membawa ke rumah sakit.

"Ya Allah ... Semoga kamu tidak apa-apa, Nak."
hati wanita itu teramat khawatir.

"Ini kesalahan Ummi, Nak. Andai Ummi tadi tidak memaksamu menambah kecepatan. Mungkin kita masih bisa mengerem mobil
dan gadis itu tidak terjadi apa-apa."

"Ummi tenang ya. Insyaallah ia baik-baik saja," kata lelaki yang sedang menyetir.

"Tapi lihatlah luka dan darahnya, Nak. Ummi takut ...."

"Ummi tenang, jangan berpikiran tidak-tidak nanti berpengaruh pada kesehatan Ummi." kembali pemuda itu menenangkan ibunya.

Mobil berhenti disebuah rumah sakit besar,

perawat dengan gercap membantu dan membawa Aliva ke sebuah ruangan UGD.

***

Seorang pemuda duduk di kursi penunggu rumah sakit, sudah berganti dengan stelan baju gamis biru. Sedangkan si wanita bercadar ada di kamar mandi, berganti pakaian luar karena bajunya cukup basah saat menolong Aliva. Kebetulan mereka baru saja datang dari toko baju mereka, sehingga membawa pakaian. Bisa untuk berganti.

Sementara di dalam ruangan UGD, dokter
dan perawat berjuang sebisa mungkin mereka menyelamatkan seorang gadis yang banyak luka parah di tubuhnya, di wajah, tangan dan kaki. Tangan-tangan mereka dengan cepat bergerak, menjalankan prosedur medis yang rumit, berharap dapat menghentikan pendarahan dan meringankan rasa sakit
yang menyiksa gadis itu. Suasana tegang menyelimuti ruangan, diiringi oleh bunyi monitor jantung yang berdetak cepat,  mencerminkan perjuangan mereka untuk mempertahankan nyawa pasien.

"Ya, Allah ya Tuhanku maha penyelamat hamba mohon selamatlah gadis itu," doa wanita itu ke tiga kalinya. Sembari mendudukkan diri di kursi, samping putranya.

Si pemuda mengucapkan amin tanpa suara. dan mengelus punggung Ibunya untuk menenangkan.

"Khalifa dan Khalid!" seru si wanita tiba-tiba. Baru menyadari, mereka harus menjemput anak-anak yang sudah pasti sekarang mengharap kedatangan mereka.

Alasan mereka melaju kecepatan mobil adalah karena ingin menjemput dua anak yang telah lama menunggu di perjalanan sebab mobil supir mereka tumpangi mogok selepas pergi ke TPA, tempat pengajian anak-anak.

Biasanya mereka yang mengantarkan anak-anak. Namun, karena ada keperluan mendesak, mereka terpaksa menitipkan anak-anak ke supir mereka.

"Biar Faiz saja, Ummi, yang jemput. Ummi
di sini saja. Nanti Faiz kembali." Pemuda berpostur tegap, tinggi lebih dari 185 sentimeter itu bergerak berdiri. Ia mencium punggung tangan wanita yang duduk di sampingnya.

"Assalamualaikum. Faiz pergi dulu Ummi," pamitnya.

"Wa'alaikumussalam. Hati-hati di jalan,
jangan cepat-cepat lagi,"  pesan Ummi Aisyah.

Faiz mengangguk. "Nggeh, Ummi."

Mata Ummi Aisyah mengikuti langkah Faiz hingga ia menghilang di balik pintu kaca rumah sakit. Wanita itu menunggu dengan sabar dan tak henti-hentinya melantunkan doa.


Pintu terbuka dan seorang dokter keluar.

Ummi Aisyah dengan cemas menanyakan keadaan Aliva. Dokter memberitahukan kondisi Aliva cukup serius dan parah. Gadis
itu mengalami pendarahan di kepala yang menyebabkan koma, serta mengalami kebutaan.

Hati Ummi Aisyah terasa bergetar mendengarnya, air mata menetes di pipinya,  menggambarkan kepedihan yang mendalam.  Ia tak menyangka bahwa kecelakaan yang baru saja terjadi akan berdampak seberat ini pada gadis itu.

***

Ummi Aisyah melangkah masuk ruangan
Aliva mendekat ke pembaringan si gadis dan menatapnya lekat. Hatinya sangat merasa bersalah. Andaikan ia tidak meminta anaknya menambah kecepatan mobil kemungkinan gadis itu tidak mengalami kecelakaan separah ini. Sampai kehilangan penglihatan dan koma. Harap-harap ia akan bangun nanti.

Gadis itu terbaring lemah di ranjang, tubuhnya tertutup selimut hingga dada.
Alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya, sementara sepasang netra indahnya tertutup kapas putih, menghalangi dunia yang selama ini ia lihat. Kepalanya
yang terluka dibalut perban.

Tangan kanannya terpasang selang infus yang menyalurkan cairan ke tubuhnya. Sebuah ventilator menutupi hidung dan mulutnya, membantu ia bernapas. Bau obat-obatan menyengat di udara, bercampur dengan aroma disinfektan yang khas ruangan
rumah sakit.

"Nak, maafkan Ummi ya? Ummi sangat merasa bersalah ... Ini semua salah Ummi." wanita itu terisak menangis pelan. Dia benar-benar merasa tidak tega dengan kondisi gadis yang kini terbaring sakit. Rasa bersalah  itu mengerat hatinya, menjadikan setiap  napasnya berat dan sesak.

Nama wanita itu adalah Ummi Aisyah, seorang ustadzah dan istri kiyai Kaif Al Ayyubi. Pendiri pesantren Al-fatah. Keluarga terpandang dan terkenal agamis. Memiliki 2 putra, yang pertama telah menikah. Al Ayyubi Ashraf
dan bungsu masih mengabadikan diri pada pondok Ayahnya, yaitu Al Ayyubi Faiz.

_______

Lanjut terus ya

Hijrah Aliva Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang