"Wah, sepi sekali kota ini!" seru Duri. Kedua bola matanya bergulir menatap keadaan kota tempatnya tinggal dahulu.
Ice ukirkan senyum masam demi menjawab seruan Duri. Diam-diam berbisik dalam benaknya, memang siapa yang mau tinggal di sini lagi.
"Ice, Ice! Apa kita akan menemukan yang lainnya di sini?" tanya Duri. Dia menoleh, menatap Ice dengan kedua bola matanya yang membesar.
Ice menggeleng untuk menjawab itu. Beberapa detik berikutnya, bahunya naik sebentar.
"Ah ...."
Duri memutuskan untuk mengunci mulutnya setelah itu. Dia mulai melihat lebih dalam pada kota ini. Tempat masa lalunya, di mana dia dan saudaranya bertumbuh dari lahir hingga berumur 12 tahun. Duri menghela napas. Matanya basah oleh genangan air yang tertahan di kelopak.
Betapa buruknya keadaan kota ini. Tak ada lagi gumpalan kapas menghiasi langit biru. Hanya ada langit gelap yang menakutkan. Bangunan-bangunan yang dahulunya merupakan gedung pencakar langit, habis menjadi puing-puing tak berarti yang memenuhi jalanan. Lampu jalanan yang biasanya berpendar terang menggantikan bulan dan bintang, tak lagi terlihat wujudnya apalagi cahayanya. Semua gelap. Dan Duri juga Ice harus puas dengan sulitnya akses jalan menyusuri kota ini.
"Padahal, dahulu kota ini tak pernah sepi," gumam Duri. Menunduk untuk memilin hoodie-nya yang lusuh dan kotor. Mengingat betapa kota ini selalu sibuk, bahkan meski tengah malam telah menjelma sekalipun, mobil-mobil yang melaju di aspal, lampu berwarna-warni dari banyaknya gedung-gedung, tak pernah lepas dari manusia. Bahkan beberapa anak kecil yang belum mencapai usia 10 tahun, berkeliaran di tengah kota saat malam hari menyapa.
"Duri."
Duri menolehkan kepalanya pada Ice.
"Akh!"
Ice tak jadi bicara. Duri tersandung oleh puing bangunan, dan perlahan keseimbangannya menjadi hilang. Ice membantunya untuk duduk sebentar.
"Jalan jangan toleh kanan, toleh kiri!"
Duri menyengir lebar. "Maaf," ungkapnya seraya menggaruk pipi. "Tadi, Ice mau bilang apa?"
Ice tertegun sejenak. Dia menghindari kontak mata dengan Duri. "Nanti, apa pun yang kita temui di sini, kita harus bisa ikhlas. Oke?"
Beberapa detik Duri hanya menatap Ice dalam bisunya. Sebelum, dia mengangguk pelan. Tak bersuara menyahut perkataan Ice.
"Kau bisa berjalan?"
Duri meringis, tapi mengangguk sebagai jawaban.
"Mari kubantu."
Ice mengalungkan tangan Duri pada lehernya. Memapah Duri untuk melanjutkan perjalanan. Sesekali cahaya kilat muncul, memberi mereka sedikit penerangan untuk terus berjalan.
Tujuan mereka sebenarnya hanya satu dan itu sudah sangat jelas. Tapi, dengan keadaan kota yang telah luluh-lantak tak berbentuk seperti ini, mereka hanya bisa berjalan tanpa arah.
=••=
"Saat ini warga diharapkan untuk terus tetap berada di rumah dengan sehubungan munculnya fenomena tak terduga ini."
Seluruh saluran di televisi tergantikan dengan berita yang sama setiap harinya. Kota ini dengan cepat menjadi sepi akibat ditahannya seluruh warganya agar tetap berada di rumah. Dan itu telah terjadi selama lima bulan belakangan.
"Sampai kapan kita akan dikurung di rumah?"
Ice menggidikkan bahunya menjawab pertanyaan Duri. Dia menyedot susu kotak yang didapat mereka dari sembako pemberian pemerintah. Tak ada yang boleh keluar, sama dengan tidak bisa berbelanja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rimbun [Duri's short story]
FanficAlam menyimpan banyak misteri. Namun, perasaan masih menjadi pusat perhatian kebanyakan orang [Kumpulan cerpen, khusus untuk Duri] [Samping judul adalah genre]