Prolog

22 8 0
                                    

Secarik kertas akan kemasygulan itu menumpuk padat menyesakkan ruangan sempit. Tiada napas panjang yang dapat dihirupnya. Kala itu Sakoya bersenandung lara didepan tulisan penanya. Detik demi detik Sakoya habiskan dengan cerita singkat yang tak berakhir, selalu begitu.

"Purnama memekik ketakukan menatap surya yang tiba-tiba muncul, terbakarlah ia dengan sinar benderangnya!" Kata Sakoya membaca kembali tulisan ajaibnya.

"Mentari yang bersinar paling terang itu hanya ingin membagikan cahayanya untuk sang Lunar yang gelap gulita, perlu kamu tahu bahwa lunar tidak menginginkan itu Surya."

"Kehidupan gelap lebih menenangkan Surya, terangmu membuatku ketakutan, memang aku tercipta untuk terus redup, memang aku tercipta untuk tidak mengenal sinar. Dan aku menyukai itu." Selesai dengan secarik kertas yang tak ada lagi tulisannya, Sakoya turun dari kursi belajar miliknya yang berwana kelabu.

Gadis berumur dua belas tahun itu berjalan keluar kamar menemui kucing jingga yang berlumuran pasir.

"Pioneer, don't leave me alone."

"Meow!"

"I said don't leave me alone b*tch! You so f*cking dumb!"

"Meow..."

"I hate you so much! I feel like no one understands me."

"Meow."

Brakkkk!

Di rumah ini hanya Sakoya yang hidup sendiri ditengah pedesaan yang jarang orang berlalu lalang. Namun hal barusan membuat gadis kecil itu bergidik ngeri, ia langsung mengeluarkan pisau kecil yang sering ia bawa kemana-mana. Seorang pria berpawakan tinggi sepertinya masih remaja, dengan baju berburu kini berdiri tegang menatap kaca yang tembus pandang kearah Sakoya.

"Kamu orang? Apa aku boleh minta air?" Katanya yang Sakoya dapat dengar dengan jelas.

Sakoya menggeleng, ia tak mau membiarkan orang asing itu mengganggunya. Ia takut kalau saja mati ditangan pria itu.

Pria itu melepas semua benda-benda tajam yang ia miliki melihat kekhawatiran Sakoya. Busur panah dan tombak telah terjatuh ditanah kering akibat kemarau panjang.

"Aku tidak akan menyakitimu, sungguh. Aku hanya mau minta air." Masih diluar sana, pria itu memelas meminta pertolongan untuk air minum.

Sakoya mencoba tak acuh.

"Meow!"

"Meow!"

Sakoya menarik napas cukup dalam sebelum mengangguk dan membukakan pintu lapuk itu untuk pria tersebut.

"Diam disini dan tunggu sebentar!" Tunjuknya pada lantai yang mereka pijak.

Sekembalinya Sakoya kearah pria itu, dilihatnya Pioneer duduk diatas pangkuan pria itu. Jiwanya membuncah marah, dikeluarkannya kembali pisau yang siap menerkam siapapun itu, lantas hal itu membuat orang didepannya menoleh kearah Sakoya.

"Terimakasih." Kata pria itu menerima air digelas yang dibawa oleh Sakoya.

Ditodongnya pisau tersebut hampir mengenai leher yang sedang meneguk air. Untung saja reflek pria tersebut baik, membuatnya selamat beberapa saat.

"Apa yang kamu lakukan?" Pria berumur tujuh belas tahun itu terkejut bukan main, hampir saja ia mati ditangan gadis kecil.

"Kembalikan Pioneer! Dasar keparat!" Pekik Sakoya masih menodongkan pisau miliknya.

"I-ini... Letakkan pisaumu, tenanglah." Pria itu menyodorkan kucing yang berada dipangkuannya.

Sakoya segera mengambil kucingnya lantas meninggalkan pria itu sendirian, ia tak takut barang-barang miliknya dicuri oleh pria itu, toh lagian tidak ada yang berharga.

Namun tiba-tiba pintu kamarnya terbuka lebar, menampilkan sosok pria mengerikan tadi.

"Mana orang tuamu?"

Sakoya tidak menjawab pertanyaan yang terlontar hanya karena penasaran, menurutnya hal itu tidak mengubah apapun yang ada di hidupnya.

"Oh kamu tinggal sendirian. Belajar bicara kasar dari siapa? Tetangga sekitar atau..."

"Membaca. Kalau tidak ada pertanyaan lagi ku mohon pergi dari tempat ini." Sakoya kali ini terlihat lebih tenang, nyawanya hidup apabila berada dikawasan sempit tertumpuk banyaknya debu dan kertas-kertas berserakan yang ia namai dengan sebutan kamar.

"Kalau aku masih punya banyak pertanyaan? Contohnya, siapa namamu? Aku Jeckula."

"Sakoya."

"Boleh aku masuk?"

"Tidak."

"Apa kamu mau membaca lebih banyak lagi buku? Pamanku koleksi banyak sekali buku."

"Aku tidak tertarik dengan pembohong."

"Hey, umurmu berapa?"

"Dua belas, kamu?"

Jeckula menyunggingkan senyum diagonal, kali ini sepertinya bocah itu tertarik dengan obrolan mereka.

"Tujuh belas tahun, karena kamu jauh lebih muda, anggap saja aku kakakmu."

Lagi, Sakoya acuh tak acuh pada Jeckula.

"Tapi aku beneran waktu bilang pamanku koleksi banyak buku, suatu saat kalau aku balik kesini lagi akan kubawakan."

Memang benar seperti yang ia katakan, setiap bulan pasti kembali dan membawakan buku yang berbeda, namun ketika beberapa bulan Sakoya mulai menunggu kedatangannya. Jeckula menghilang tanpa kabar.

Bersambung.

Sakoya's HouseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang