Lia tidak ingin mati. Dia mungkin punya banyak alasan untuk mengakhiri hidupnya, tapi dia belum ingin mati.
Meskipun sepertinya akan sangat menyenangkan melihat ayahnya yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk uang harus mengeluarkan uangnya yang berharga demi menggelar acara yang sama selama dua minggu berturut-turut.
Enam hari yang lalu ibu dari ayahnya—yang sayangnya adalah neneknya juga, baru saja meninggal dunia. Ayahnya mengadakan acara pemakaman selama tujuh hari tujuh malam dan meminta Lia—lebih tepatnya memaksanya—untuk pulang memberikan penghormatan terakhir sebelum tujuh hari itu selesai.
Selama lima hari Lia menimbang. Jika dia pulang, dia tidak tahu apa yang akan dia berikan pada neneknya nanti. Sudah tidak ada rasa hormat yang tersisa untuk wanita tua itu lagi.
Tapi jika Lia tidak pulang, dia tidak akan mendapatkan uang modal yang ayahnya janjikan untuk membuka toko souvenir impiannya.
Pada akhirnya, uang mengalahkannya.
Lia mengambil penerbangan nonstop agar bisa sampai sebelum acara pemakanan itu berakhir dan mendarat pukul tiga dini hari. Akan sangat keterlaluan jika dia membangunkan orang-orang ayahnya hanya untuk meminta mereka datang dan menjemputnya tengah malam begini—apalagi jarak dari bandara ke rumahnya membutuhkan dua jam perjalanan.
Akhirnya Lia memutuskan untuk mencari hotel terdekat dan berpikir untuk mengabari mereka esok pagi.
Supir taksi yang membawanya keluar dari bandara menurunkan Lia di penginapan pertama yang mereka lihat, di sebuah motel kecil di pinggir kota. Lia tidak masalah dengan tempat itu, dia bisa tidur di mana saja. Sayangnya, motel itu sudah tidak memiliki kamar kosong saat dia masuk.
Lia menarik kopernya keluar, mengencangkan mantel hangatnya dan menunggu taksi lain datang. Setelah menunggu hampir lima belas menit, tidak ada satu taksi pun yang melewatinya. Mau tak mau ia berjalan menuju jalanan yang lebih besar sambil mengamati peta online di ponselnya.
Lia terlalu fokus pada ponselnya, ia tak sadar jika seseorang sedang mengikutinya sampai orang itu menghentikan langkahnya dengan menyentuh pundaknya. Seorang pria mabuk yang berusia jauh lebih tua darinya sedang berdiri di belakangnya.
Lia mengencangkan pegangannya pada tas bahu dan memegang erat kopernya dengan tangan yang lain, tapi sepertinya pria itu tidak berniat untuk mencuri—melainkan menginginkan sesuatu yang lain.
Saat pria itu melangkah lebih dekat dan mencoba meletakan tangannya di dadanya, dengan gerakan refleks Lia mendorong bahu pria mabuk itu hingga membuatnya terhuyung dan jatuh terduduk.
Pria mabuk itu berteriak, "Kau ingin mati?"
Sekali lagi, dia belum ingin mati—apalagi di tangan pria menyedihkan seperti itu. Lia ingin melarikan diri, tapi sebelum ia sempat mengambil langkah, pria itu lebih dulu mencengkeram ujung mantelnya dan menariknya hingga jatuh ke aspal.
Kejadian berikutnya berlangsung dalam satu menit. Seorang lelaki berperawakan tinggi mengenakan pakaian olahraga lengkap—datang entah dari mana, menendang punggung si pria mabuk hingga membuatnya terguling dan mengerang. Si pria mabuk bangkit dan menodongkan pisau lipat ke arah lelaki itu. Perkelahian mereka berakhir setelah si lelaki meringkusnya dengan gerakan sangat cepat seperti yang dilakukan tukang berkelahi profesional.
"Kau baik-baik saja?" tanya si lelaki tinggi pada Lia. Dia menekankan lututnya di atas punggung si pria mabuk, menahannya di atas aspal agar tidak melarikan diri.
Tenggorokan Lia terlalu kering untuk mengatakan sesuatu, jadi dia hanya mengangguk.
Mata mereka bertemu, membuat Lia tiba-tiba lupa cara bernapas. Jantungnya berhenti sesaat, entah karena apa yang baru saja terjadi masih mengejutkannya atau karena tatapan lelaki itu begitu tajam dan membekukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
REAL || FAKE
FanfictionSeokmin, agen khusus yang sudah berpengalaman dengan banyak tugas lapangan berat tiba-tiba mendapatkan tugas baru yang sangat konyol. Dia harus menjaga Julia Choi, gadis kaya yang 'berbahaya'. Bahaya yang gadis itu berikan bukan jenis bahaya yang a...