Pagar Hati

9 0 0
                                    

“Mingkem, heh!”

Aku mendelik. Menatap sebal pemuda berambut jambul yang baru saja menyenggol lenganku. “Berisik, Damar!”

Bukannya takut, Damar malah kian menajamkan tatapannya. Bola matanya yang sehitam jelaga terasa menembus wajahku. Tubuhnya yang lebih tinggi hampir lima belas sentimeter dariku terasa begitu mengintimidasi. “Malu,” ucapnya rendah.

Aku mendengkus dan membuang muka. Kembali memandang laki-laki berambut cepak yang berdiam di teras ruangan yang berada beberapa meter di depanku. Dia adalah Dean, kakak kelas sekaligus orang yang aku sukai selama beberapa bulan ini.

“Hey, tunggu!”

Mengabaikan seruan Damar, aku malah semakin mempercepat ayunan kaki. Sampai berhasil memangkas jarak dengan tujuan, da kini aku telah berdiri tepat di dekat Kak Dean yang kebetulan baru bangkit dari duduknya.

“Eh, halo, Dhira!” sapa Kak Dean diiringi senyuman yang cukup lebar hingga menampilkan lesung di kedua pipinya. Membuat wajah ovalnya semakin terlihat manis.

“Halo, Kak,” balasku canggung. Sungguh, aku tak tahan dengan ini. Tubuh tegap dan auranya yang begitu karismatik membuat aku mau meleleh saja.

“Yuk, masuk!” Lagi-lagi suara berat Kak Dean terdengar, diiringi dengan gerakan kepala yang mengisyaratkan ajakan.

“Ay—” Aku menggeleng. Barusan hampir menyetujui Kak Dean, sebelum menyadari masih ada hal yang harus diselesaikan. “Duluan saja, Kak,” pungkasku pada akhirnya dengan setengah hati.

Kak Dean mengangguk, lantas memutar badan dan berlalu meninggalkanku yang begitu terpaku memandangnya.

“Awas loncat tuh mata.”

Sampai suara si menyebalkan membuyarkan kesenanganku. Sebenarnya aku sangat muak dengannya. Andaikan bisa, ingin sekali membuangnya pergi jauh dariku. Akan tetapi, tidak bisa. Sedikit banyak aku masih membutuhkannya, terutama saat bepergian, jika tidak ada dia aku kurang bisa ke mana-mana.

“Udah kupagari!” Jemari tangan kananku naik untuk membenahi letak frame kacamata di hidung. “Kamu tunggu di sini. Jangan ke mana-mana!”

“Dih, nitah!”

Aku mengepalkan tangan, cepat membenahi ekspresi semelas mungkin. “Please ..., ya.”

Damar akhirnya merendahkan bahu. “Udah sana.”

Aku bersorak. Itu tanda persetujuan darinya. Maka, segera saja aku masuk, lalu mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Kak Dean. Tak lama, kulihat sosoknya terduduk di kursi pojokan sedang memerhatikan lembaran-lembaran di tangan. Aku pun cepat menghampirinya.

Seolah menyadari kehadiranku, Kak Dean mengangkat kepalanya. “Sudah yakin dengan materinya?” tanyanya tiba-tiba.

Paham apa yang dimaksud, aku mengangguk ragu. Hari ini aku akan menjalani tes terakhir untuk pemilihan tim utama debat yang akan mengikuti lomba tingkat kabupaten. Sejak satu bulan yang lalu semua anggota berlatih dan bersaing satu sama lain untuk memperebutkan tiga kesempatan yang ada.

Setelah melewati sekian tahap dengan susah payah, karena sebenarnya aku tidak terlalu suka bicara di ruang umum, akhirnya aku sampai di titik terakhir. Kini tinggal satu langkah lagi untuk aku bisa lolos dan semakin dekat dengan Kak Dean yang sudah dipastikan lolos karena dia berpengalaman menjadi juara tahun lalu.

“Ya udah, biar rileks kita alihkan bahas yang lain saja.”

Alisku terangkat sebelah. “Gimana, Kak?”

“Kamu 'kan suka baca, ya?”

“I-iya.” Seketika aku diserang gugup. Sudah hampir tiga bulan kami kenal dan berada di klub yang sama ini. Namun, baru kali ini Kak Dean mempertanyakan hal yang terkesan pribadi seperti itu. Selama ini, ketika bersama bahasan kami tidak pernah jauh dari urusan debat dengan segala unsur pendukungnya.

Bolehlah Kita CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang