Untuk Menuai

2 0 0
                                    

"Teganya Mama membiarkan aku kesakitan!" Kiara menjerit dari ambang pintu dengan kaki yang mengentak-entak. Gadis berusia lima belas tahun itu kesal pada sang mama.

Bu Kinar–mama Kiara–meninggalkan selang yang digunakan untuk menyiram tanaman dan langsung mendekati sang anak untuk mengecek tubuhnya. "Apa yang sakit, Nak?" tanyanya khawatir.

Kiara mengelak dari tangan sang mama, lalu memegangi dada dramatis. "Yang sakit hati aku, nyesek ... karena gagal menjalankan rencana."

"Astaghfirullah, Nak!" Bu Kinar menghela napas, lega karena fisik Kiara baik-baik saja, tetapi gemas dengan alasannya membuat keributan pagi-pagi.

"Ini semua salah Mama!" Tangan Kiara bergerak tak keruan. "Kenapa kemarin Mama nggak bangunin aku, sih? Jadinya aku kelewat latihan band dan bikin konten blog tadi malam."

Melihat mata sang anak berkaca-kaca, Bu Kinar langsung memeluknya. "Maaf, Mama nggak bangunin karena kamu tidurnya pulas banget. Pasti kamu kecapaian kan di perkemahan."

Kiara menggigit bibir bawah. Memang benar, dia baru mengikuti kegiatan ekskul di sekolah, menginap dan kemarin pulang cukup sore. Sebelum tidur, Kiara meminta mamanya membangunkan jam delapan malam, untuk melaksanakan beberapa jadwal. Namun, Kiara baru bangun setelah matahari menampakkan diri.

Bu Kinar mengusap pipi Kiara. "Lagian kamu lagi halangan, jadi Mama pikir nggak apa-apa bablas tidur juga karena lagi nggak salat."

"Tapi ...." Kiara tak melanjutkan penyangkalannya karena teguran sebuah suara parau.

"Ini kenapa buang-buang air?" Seorang pria berambut putih berdiri di dekat pagar rumah Kiara. Beliau adalah Abah Sahdi, kakek Kiara. Telunjuknya mengarah pada genangan yang diciptakan air dari selang yang Bu Kinar tinggalkan.

"Eh?" Bu Kinar gelagapan, melepaskan Kiara, lalu mematikan keran. "Maaf, Bah, saya lupa matiin karena Kiara mendrama."

"Eh, sudah selesai kempingnya, Neng?" Tatapan Abah mengarah pada Kiara yang berjalan mengikuti mamanya untuk mendekati pada Abah. Neng adalah panggilan sayangnya untuk sang cucu.

"Sudah, Bah." Kiara menyahut lirih, masih berusaha menetralkan ekspresinya setelah tantrum.

"Abah mau ke kebun?" tanya Bu Kinar kala melihat Abah mengenakan sepatu bot.

Abah mengangguk. "Iya, mumpung nggak hujan, sambil moyan."

"Diantar bapaknya Kiara, ya, Bah. Sebentar saya panggilkan." Bu Kinar siap membalik badan untuk menemui sang suami di dalam rumah.

Namun, Kiara menahan tangan sang mama. "Biar aku aja yang antar." Suaranya lebih ceria. Suasana hatinya membaik begitu membayangkan pemandangan kebun yang asri.

Setelah mendapat persetujuan, Kiara cekatan mengeluarkan motor metiknya dan membonceng sang kakek menyusuri jalanan desa yang menanjak.

"Wah ... sejuknya." Mata Kiara berbinar memandang hamparan hijau yang diterpa angin sepoi-sepoi.

"Kalau Neng mau langsung pulang, silakan. Nanti Abah pulangnya jalan aja." Abah langsung memberikan perintah begitu turun dari motor.

Kiara mengalihkan pandangan ke wajah Abah yang dihiasi kerutan di beberapa bagian. Di usianya yang sudah melewati kepala enam, tubuh Abah masih cukup tegak, tak bongkok seperti lansia lain. Namun, mengingat daerah mereka dataran tinggi, Kiara khawatir membayangkan Abah melangkah sendirian di jalanan yang curam, takutnya terpeleset.

"Aku mau menemani Abah. Boleh, kan? Sambil nyari angin." Sudah lama Kiara tak ke kebun. Terakhir saat masih SMP, dan itu sekitar satu tahun lalu. Sekarang, karena segala rancangan kegiatannya kadung buyar, Kiara putuskan untuk healing sejenak di sana.

"Boleh." Abah memimpin untuk masuk ke petakan lahannya.

"Ini ... tembakau?" Kiara menyentuh daun lebar dari tanaman yang memenuhi kebun. Jumah pohonnya sangat banyak, mungkin ratusan. Satu sama lain terpisah jarak sekitar dua langkah kaki Kiara. Itu merupakan tanaman yang baru Kiara lihat karena selama ini jika ke kebun yang dilihatnya hanyalah sayuran atau palawija.

"Iya, Neng. Ini Abah mau motong pucuknya." Abah menunjuk bagian atas tanaman, kemudian berjinjit dan meraihnya. Begitu saja Abah mematahkan bagian termuda dari tumbuhan itu.

"Aku mau bantu, ya!" Kiara berseru antusias, lalu mengikuti langkah-langkah Abah. Dia kegirangan. Suara-suara patahan menjadi hiburan yang unik untuknya.

Namun, setelah cukup lama, Kiara bosan juga hanya diam. Akhirnya dia membuka obrolan. "Nanam tembakau itu dari biji, kan, Bah?" Keningnya sedikit mengerut, mencoba mengingat materi biologi yang baru didalaminya di SMA.

"Iya." Abah yang cukup jauh di depan Kiara menoleh sambil menggoyangkan pucuk yang baru dipatahkannya. "Dari sini nanti tumbuh bunga, terus ada bijinya."

"Uhm ... terus kenapa dipotong, Bah?" Kiara menahan diri untuk tak menggaruk pipi karena tangannya yang belepotan dengan getah.

"Karena itu bukan fokus yang mau Abah tuai sekarang." Abah membuang pucuk, kemudian mendekati Kiara dan menuntunnya ke pinggir. "Kita istirahat dulu."

"Terus apa yang jadi fokus Abah?" Kiara duduk selonjoran di tanah.

"Daunnya." Abah menoel pohon terdekat dari tempat duduk mereka. "Untuk saat ini Abah ingin fokus membuat daun-daun ini lebar, biar cepat tua dan bisa dituai."

Kiara memiringkan kepala. "Emang kalau masih ada pucuk daunnya nggak akan bisa membesar?"

Abah tersenyum. "Bisa ... tapi lama. Selama ada pucuk, daun-daun baru akan terus muncul ke atas, maka yang bawah harus membagi nutrisinya, kalah pembagian yang bawah bisa layu, dan akhirnya bisa nggak ketuai."

Alis Kiara bertaut. Menyambungkan berbagai titik di kepalanya yang terasa mendapatkan cahaya. "Berarti untuk memetik daun yang besar, Abah mengorbankan pucuknya? Terus kalau mau ambil bijinya, Abah mengorbankan daunnya?"

"Benar, Neng. Kita nggak selalu bisa mendapatkan banyak hasil sekaligus. Maka, kita harus pandai memilih mana yang mau lebih diutamakan dan diambil hasilnya segera. Karena untuk bisa mendapatkan suatu hasil terkadang memang harus ada yang dikorbankan."

Kiara mendongak sambil meniupkan napasnya panjang. "Berarti aku juga harus mengorbankan yang disukai, ya, Bah?"

Giliran Abah yang mengernyit. "Memang Neng suka apa?"

"Aku suka menjelajah, bermain musik, dan membuat tulisan. Makanya aku gabung pramuka dan band, terus bikin blog. Tapi semalam gagal ngelakuin beberapa karena mama." Kiara agak manyun.

Abah membulatkan mulut. "Itu yang bikin kamu tadi ngedrama ke mamamu?"

Kiara manggut-manggut. "Tapi ... kayaknya aku nggak akan ngedrama lagi gara-gara ini, karena aku mau melepaskan satu."

"Apa?" Abah mencondongkan wajah.

Kiara terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, "Nge-band."

"Kenapa, Neng?"

"Karena nge-band itu nggak terlalu ngait sama apa yang mau aku raih. Aku kan mau jadi jurnalis alam, nah, pramuka dan ngurus blog bisa jadi latihan menjelajah dan membuat laporan. Sedangkan nge-band ... dadah, deh."

"Anak bijak." Tangan Abah refleks mengusap kepala Kiara yang tertutup kerudung instan. Beberapa saat kemudian, baru beliau sadar. "Eh, maaf jadi kotor, Neng."

Kiara terkekeh. "Nggak apa-apa, Bah." Lagi pula sejak tadi pakaiannya sudah terkena getah dan tanah. Jadi, tak masalah jika ditambah. Dia telanjur senang.

"Ayo lanjut motong pucuknya!" Abah bangkit.

Kiara mengekor, tetapi berhenti saat tersadar sesuatu. "Eh, ini nanti daunnya enggak semua Abah hisap, kan?" Tatapannya berubah horor. Dia tahu Abah adalah perokok tembakau alami, tetapi jika sebanyak ini ....

Abah menggeleng sambil terkekeh. "Abah jual ke tengkulak sebagian."

Kiara menjerit. "Pokoknya Abah jangan kebanyakan merokok biar bisa tetap hidup sampai aku jadi jurnalis!"

-Tamat-

Catatan:
Moyan (Bahasa Sunda): Berjemur

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bolehlah Kita CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang