Dipeluk Rinai

3 1 0
                                    

“Eh, ayo udahan! Biarkan couple kita foto berdua.”

Entah siapa yang berujar. Namun, tiba-tiba saja di tengah foto bersama warga kelas 12 IPA 3 hampir semua siswa menyingkir dari depan mading yang dijadikan latar, menyisakan sepasang muda-mudi yang berdiri tepat di paling tengah.

“Eh, pada mau ke mana?” Ara berlari mengejar, berusaha mencekal Alin yang berada paling belakang. “Ini 'kan kita sewa kamera buat apresiasi keberhasilan pentas seni kelas kita, kenapa malah jadi cuman aku sama Adi?“

Alin berusaha melepaskan diri. “Justru itu, karena kalian berdua adalah pasangan yang paling berjasa untuk kesuksesan acara kita, maka kita mau ngasih kalian apresiasi lebih. Jadi, sisa waktu kameranya habisin aja buat prewed kalian,” tuturnya dengan senyum lebar.

Ara melotot dengan sebelah tangan ingin menggeplak. “Heh! Sembarangan!”

Santuy dong.” Alin mengangkat kedua tangan. “Kita 'kan udah kelas 12, wajar ngobrolin gituan. Soalnya setelah kelulusan nanti pilihannya tiga; KKN; kuliah kerja atau nikah, hehe,” imbuhnya sambil terkekeh.

“Dih!” Ara mendengkus.

“Ya udah, kita duluan ke kedai, ya. Kalian jangan lupa nyusul!” seru Alin sambil melambaikan tangan dan mengayunkan kaki mengejar teman yang lain.

Embusan napas lemah lolos dari bibir Ara. Dengan gontai dia memutar tubuh, menghadap ke arah sang pacar yang tampak bercakap-cakap dengan Alya yang merupakan teman sebangku Ara.

Seketika Ara mengangkat kedua sudut bibirnya dan beranjak mendekati mereka dengan semangat. “Kamu masih di sini buat nemenin aku 'kan, Ya?” ucapnya penuh harap dengan mata berbinar.

Alya malah gelagapan. “I-itu ... aku sebenarnya mau mengembalikan sabuk sama Adi,” balasnya kikuk.

Ara mengangkat sebelah alis. “Sabuk?”

Alya mengangguk lalu mengangkat tangan kanannya yang memegang sabuk berlogo SMA mereka. “Ini, tadi karena terburu-buru berangkatnya, aku lupa enggak pakai sabuk. Akhirnya Adi ngasih pinjam karena 'kan dia sama kamu posisinya di belakang layar sebagai sutradara, sedangkan aku sebagai pemain yang tampil jadi harus lengkap atributnya.”

Ara beralih menatap Adi. Tak terduga senyum gadis bermata sipit itu malah kian mengembang. “Aaah baiknya pacar aku,” serunya manja.

“Ya udah, ini.” Alya menyodorkan sabuk yang langsung diterima Adi. “Makasih. Aku langsung pergi, ya.”

“Eh, tunggu!” seru Ara. “Foto bareng dulu 'lah.”

“Enggak usah. Anak-anak 'kan ngasihnya ke kalian.”

Ara malah memelas. “Plis, satu jepret aja. Biar ada kenang-kenangan bertiga.”

“Tapi—”

“Udah sini, Ya.” Akhirnya Adi bersuara.

Ara bersorak. Dengan gembira dia langsung berdiri di sebelah kanan Adi dan menggandeng tangannya. Sedangkan Alya yang tak punya pilihan lain akhirnya berdiri di sebelah kiri Adi.

Lalu cahaya kilat menerpa ketiganya diiringi bunyi khas kamera.

Setelahnya tanpa dapat menahan lagi, Ara pun mengiringi kepergian Alya dengan lambaian tangan. Sekian detik kemudian dia beralih mengedipkan mata genit pada Adi.

“Ayo prewed!” teriaknya riang, kemudian memberi perintah pada sang fotografer untuk mengambil gambarnya yang berpose sedemikian rupa menggelayuti tubuh kekar Adi.

Potret mereka teramat romantis. Bertahun-tahun menjalin hubungan, membuat keduanya sama sekali sudah tidak canggung. Meski tanpa banyak kata, tetapi Adi begitu mengimbangi kemanisan sang kekasih mungil.

Bolehlah Kita CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang