#01

103 0 0
                                    

Saat rindu menari di relung hati
Menjadi resah tak pasti
Dan kau datang dengan senyum yang menerobos jantung ini; tanpa tahu apa yang kualami

"Gila, ya, enggak nyangka banget kita bisa ketemu di sini," wanita berusia 26 tahun itu berujar sambil mengaduk secangkir coklat panas di sore itu. Matanya secara intens memerhatikan si pria yang sebelumnya telah tertabrak di pintu toko buku sebelum mereka memutuskan untuk minum bersama di kedai terdekat.

"Sebelas tahun ada kali, ya," sahut sang pria dengan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan lawan bicaranya.

Pria bernama Neo Ramadhan itu masih mengingat jelas sosok yang ada di depannya kini. Belasan tahun tak dijumpainya, tak pernah sedikit pun rasa itu hilang. Rasa yang telah tertanam sejak remaja; rasa yang membuatnya bahagia tatkala dulu saling beradu mata; rasa yang bisa membuatnya senyaman merebah diri di atas semesta.

Selama belasan tahun Neo tak pernah mendapat kabar dari sosok itu, selama itu pula ia menahan rindu. Namun setelah dipertemukan semesta, Neo tidak tahu harus berbuat apa selain bersikap--berusaha--wajar. Neo sadar betul, kelebihannya adalah bersandiwara bahkan pada alam.

Manik coklat jernih di wajah putih wanita berambut ekor kuda itu tak secuil pun berubah. Bibir merah jambu yang melengkung ke atas membuat Neo sadar bahwa sosok yang dihadapannya benar-benar Ferbriana Anatasya, sosok gadis SMA yang dulu ia tambatkan hatinya.

Ada hal yang benar-benar meyakinkan Neo bahwa dia, wanita itu, adalah Febri, ialah rasa yang dulu mengail keduanya, masih ada pada diri Neo.

"Gimana sekarang?" tanya Febri, "udah nikah belum?" sambungnya
dengan lirikan menggoda yang sama sejak dulu.

"Selama ini aku menunggumu, berusaha berontak pada rasa yang telah lama menggerogoti dada, menyulam rindu lewat potret lama semasa kita SMA, dan kau bertanya apakah aku sudah menikah?" Neo meracau dalam hati. "Belum ada yang mau sama aku kali ya," jawab Neo sambil tertawa canggung menjawab tanya Febri.

Febri tertawa menanggapi.

Neo kembali terdiam. Keduanya terdiam. Pawana sore itu perlahan mengusap lembut wajah mereka. Hingga memoar terputar di otak keduanya.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang