Setelah membanting pintu hingga tertutup, rasa malu dan malu naik ke atas kepalaku. Aku menghela napas dan mengunci kenop pintu, dan aku bisa mendengar langkah kaki yang mendesak di kejauhan.
"Ei!"
Aku merasakan getaran ketukan di pintu, Dante memanggil namaku. Namun, aku tidak menjawab panggilan dan duduk di depan pintu.
Situasi sebelumnya terus berulang dalam pikiran ku. Aku membuang kartu itu dan melarikan diri, tetapi aku tidak tahu apa yang dipikirkan orang-orang yang ada di sana. Tidak, aku benar-benar tidak tahu apa yang akan mereka pikirkan. Berengsek.
Aku lebih suka entah bagaimana mengabaikan apa yang dikatakan Dante. Tentu saja, mengingat mata orang-orang terfokus pada saat itu, mengabaikannya tidak akan menyelesaikannya, tapi kupikir apapun akan lebih baik daripada melarikan diri.
Melarikan diri seperti memastikan kepada orang-orang apa yang dikatakan Dante...
Sekali lagi, aku membanting pintu yang tidak bersalah karena malu. Ketika aku melakukannya, aku tidak mendengar ketukan lagi, seolah-olah orang di sisi lain telah berhenti mengetuk.
Hanya sesaat lingkungan menjadi sunyi, dan kemudian terdengar suara yang sepertinya merangkak di lantai.
"Aku salah, Ei..."
"....."
... Aku ingin bertanya apa yang dia lakukan salah. Namun, apa pun jawaban Dante, jelas bahwa rasa malu ada di pihakku.
Aku tahu di kepalaku bahwa Dante pun akan merasa malu, tapi suasana hatiku tidak menerima itu. Aku mengambil napas dalam-dalam beberapa kali dan membuka mulutku.
"Bagaimana kamu bisa mengatakan itu di sana?"
"Kata-kata itu muncul tanpa melewati pikiranku."
Jadi, apakah masuk akal jika orang berbicara tanpa berpikir? Aku hampir marah saat itu, tapi aku menahan amarahku dengan mengepalkan tinjuku sekali.
Setelah bertukar kata dengan Dante, wajahku menjadi panas kembali. Saat demamku meningkat, rasanya pikiranku terus melayang ke arah itu, jadi aku buru-buru meletakkan tanganku di pipiku. Tanganku, yang pasti memiliki suhu yang sama seperti biasanya, entah kenapa terasa dingin.
Aku tidak tahu sudah berapa lama sejak aku merasa sangat malu. Saat aku sibuk menenangkan panas di wajahku dan tidak memberikan jawaban, Dante berbicara lagi.
"Aku minta maaf. Tidak bisakah kita berbicara langsung?
"....."
Tok, tok, aku mendengarnya lagi. Dante dengan gigih meminta agar pintu dibuka.
Mendengarkan suara yang sungguh-sungguh itu, sepertinya aku kembali sadar setelah rasa malu itu. Namun, meski begitu, aku tidak berani membuka pintu.
Tepatnya, aku tidak memiliki kepercayaan diri untuk berbicara langsung dengannya. Aku belum tenang, tapi jika aku melihat wajah Dante, rasanya aku akan kabur lagi seperti dulu.
Begitu kita di rumah, tidak ada tempat untuk lari lagi.
Aku bangkit dari tempat dudukku dan berpikir sejenak sebelum meraih kenop pintu.
Dan tanpa membuka pintu... aku menurunkan tanganku.
"Ya. Tapi tidak sekarang."
"'Sekarang'...?"
Dante mengulangi kata-kataku seolah dia bingung. Aku berbicara dengan suara yang sangat ramahㅡAku bahkan tidak tahu apakah itu terdengar seperti itu bahkan bagi Danteㅡdengan sedikit lebih santai dari sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suamiku adalah Penguasa Menara Sihir {Paksu Bucin} || Ongoing
Fantasía{Terjemahan Bahasa Indonesia} -My Husband Was the Master of the Magic Tower- Author(s) 정은빛 Suamiku bukan hanya seorang pesulap, tapi dia adalah Penguasa Menara Sihir dan Aku tidak tahu fakta itu. Aku bukan hanya pengubah dimensi belaka, tetapi seseo...