Belasan kambing bunting itu perutnya seperti mau meledak, seolah ada dua bola basket yang dijejalkan di perut bagian kanan dan kirinya. Pastilah dalam beberapa hari ke depan lahir paling tidak tiga ekor cempe dari masing-masing kambing bunting itu, seringnya empat ekor.
Seorang penggembala kambing terlihat sumringah sambil mengusap-usap perut salah satu kambingnya. "Sehat-sehat terus ya, Mbing. Lahirkan juga cempe-cempe sehat untuk menggantikan simbah-simbahmu yang baru saja mati," kata si penggembala yang sempat bersedih hati karena kemarin kehilangan beberapa kambing tua miliknya. Tapi, tak apa kehilangan beberapa ekor kambing demi diganti dua kali lipatnya.
"Mbek... mbek... mbek." Kambing bunting itu berlalu meninggalkan penggembalanya sambil mengembik.
***
"Le," panggil seorang wanita bertubuh renta yang sedang berbaring di atas dipannya, lirih.
Namanya Tole. Lelaki yang berada di usia akhir belasan tahun, namun tak tamat sekolah menengah. Kulitnya gosong oleh akumulasi sengatan matahari selama bertahun-tahun menggembala kambing. Padahal, dulu kata Mak Siti kulitnya putih dan bersih. Ah, ia lupa, juga tak peduli. Ia sangat menyukai warna kulitnya saat ini.
Tole yang baru saja masuk rumah segera menghampiri wanita itu. "Iya, Mak?" tanya Tole.
Wanita renta itu, Mak Siti, ialah yang mengasuhnya sejak kecil. Tak ada hubungan darah, namun Tole cukup menghormatinya. Mak Siti yang menumbuhkan kecintaannya pada kambing-kambing itu.
"Bentar lagi aku mau mati," ujar Mak Siti.
"Hus! Ngomong apa to, Mak? Makan malam aja sini, aku suapin. Aku dapat nasi liwet."
"Dapat dari mana?" tanya Mak Siti.
Tole membuka kotak berisi nasi liwet dan sebuah sendok plastik. Ia geser kursi plastik ke sebelah dipan Mak Siti dan duduk di sana. "Kampung sebelah ada yang punya gawe. Tadi waktu lewat dikasih satu kotak," jawab Tole.
Namanya Tole. Dinamai demikian oleh Mak Siti karena ia bocah lelaki. Pun karena Mak Siti tidak tau nama asli bocah lelaki itu.
Satu suapan masuk ke mulut Mak Siti. Wanita tujuh puluhan tahun itu mendengus. "Nasi liwet yang harusnya harum jadi bau wedhus di tanganmu," gerutu Mak Siti, tapi tetap menerima suapan-suapan selanjutnya.
Tole terkekeh sambil mengambil beberapa suap untuk dirinya sendiri.
Sudah sejak lama Tole diadopsi oleh Mak Siti. Sejak ia masih terlalu kecil untuk tau namanya dan memiliki ingatan. Kata Mak Siti, waktu itu dia ditemukan di kandang kambing, penuh bau dan kotoran kambing. Saat diceritakan kisah itu, Tole tertawa dengan begitu puas dan bangga.
"Mungkin sebenernya aku ini titisan kambing, Mak," kata Tole tiba-tiba, terkikik geli mengingat cerita Mak Siti.
Mak Siti terkekeh. "Kayaknya iya. Makanya kambing-kambingnya jadi pada subur dan beranak terus sejak diurus kamu," ujarnya.
"Itu mah gara-gara terkontaminasi pergaulan bebas anak-anak jaman sekarang, Mak."
"Hus! Dijaga omongannya. Dijaga juga pergaulanmu," nasihat Mak Siti. Matanya melotot memperingatkan Tole.
"Lho, temenku kan ya kambing-kambing itu, Mak. Masak aku harus jaga jarak sama mereka?"
Mak Siti mendengus kesal. "Jangan, dong. Siapa nanti yang angon kambing kalau kamu jaga jarak sama mereka?"
"Tetangga," kata Tole bercanda.
"Malah habis disate nanti kambing-kambingmu," kekeh Mak Siti.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Kambing, Kambing, Kambing
Short StorySeorang Penggembala Kambing yang hampir sebatang kara, tidak diketahui siapa keluarganya, tidak bersekolah dan tidak memiliki pekerjaan. Kambingnya banyak dan selalu bertambah banyak. Suatu saat, dia mendapat surat dari Walikota untuk berhenti mengg...