Chapter 1: Diantara duka

25 1 0
                                    


ATMA: we're still dreaming, started.

Kala itu hawa dingin menyergap tubuh kecilnya yang berdiri diantara puluhan orang, jauh di sana sinar rembulan begitu elok menerpa danau yang membentang luas. Namun, entah bagaimana malam itu warna sinarnya terlihat berbeda, memancing rasa gelisah serta ketakutan dari dalam lubuk hatinya. Saat ini sedang berlangsung acara kecil-kecilan di sekitar komplek perumahan, menyambut tetangga baru yang diketahui seorang pengusaha sukses, tentu saja itulah alasan acara yang cukup meriah ini dilaksanakan.

Lampu temaram yang sengaja dipasang disekitar danau untuk memberi kesan menenangkan dan romantis justru terlihat suram di tiap sudutnya. Tawa atau obrolan di sekelilingnya terdengar membosankan.

Kumpulan anak kecil berlari riang mengejar balon yang sesekali terbang menjangkau batasnya. Adegan ini benar persis seperti saat itu. Matanya lantas melirik tergesa pada danau.

Bayangan bulan yang mulai tertutup awan gelap terlihat dari bawah jembatan, terasa mengguncang keberaniannya sedikit demi sedikit, ia meremat tangan seseorang tanpa sengaja sembari memandang was-was keadaan sekitar. Apakah kejadian itu akan benar terjadi?

“Aduh! Kamu kenapa pegang tangan saya kencang begini sih?!”tanya seseorang, lontaran pertanyaan bernada bingung itu diabaikan. Untung saja si pemilik tangan tidak membentak dan langsung menyudutkannya, kalau tidak pasti orang di sekitar akan langsung menatapnya selidik.

“Maaf,” dilepaskannya pegangan itu.

Bola mata jernihnya bergetar tak karuan bersamaan detak jantungnya yang memompa tidak normal. Keringat mulai membasahi pelipisnya hingga beberapa orang mulai berteriak panik menimbulkan kericuhan yang perlahan menekan pendengarannya karena terdengar ledakan kencang di bagian barat rumah mewah itu.

DUAR!

Sekali lagi ledakan terasa mengguncang tanah.

Angin malam berhembus dingin membuai raga rapuhnya yang berupaya menjauh dari sana, situasi ini sungguh tidak nyaman membuat perutnya mual ingin memuntahkan isinya. Jalannya yang mulai sempoyongan membawanya pada tanah kering.

Dugh!

Raga kecilnya jatuh terlentang pasrah akan keadaan. Sakit dan menyesakkan.

“M-mas Uwi to-tolong...,”riuh suara gaduh seolah ditelan rasa cemasnya.

Tubuhnya bergetar saat merasakan sesuatu mengenai dan mengotori wajah mulusnya ditambah bau anyir yang tidak asing, matanya bergerak acak mencari apa yang terjadi sesungguhnya hingga ia menyadari bahwa ia terjatuh tepat di samping sebuah mobil. Cairan pekat itu menetes semakin cepat, itu adalah darah.

Ya, darah.

Mencari darimana tetesan darah itu. Kalau ia tahu begini, lebih baik ia ikut kakaknya kemanapun walau harus bosan melihat kakaknya bercengkrama bersama teman-teman satu kompleknya.

“Iko!”

Teriakan panik mengembalikan pikiran kosongnya. Dari jauh ia dapat melihat sayup-sayup tubuh tegap kakak satu-satunya. William Ranjaya, pria yang sangat menyayanginya.

“M-mas Iko I-iko dapat–”

William atau Mas Uwi segera memeluk adiknya untuk menenangkan, wajah Iko sepenuhnya berada di depan dadanya sehingga pemuda yang masih bergetar tubuhnya itu mengambil nafas perlahan menetralkan rasa takutnya yang berlebihan. Bola mata William melotot sebelum akhirnya memalingkan wajah saat melihat rupanya ada beberapa korban jiwa akibat ledakan kencang dari sebuah mobil yang berada tepat di depan rumah mewah baru ini. Tampak mengerikan dengan darah yang berceceran dimana-mana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 29, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang