1

94 5 0
                                    

"Gak, Yoshida." Denji menolaknya tegas. Tidak adalah tidak, ia tidak ingin kalimatnya diganggu gugat. Ia memalingkan wajahnya, tidak kuasa menatap Yoshida yang terbaring lebih lemah daripadanya.

Orang yang sama, yang telah menyakiti hatinya, dan menggempur perasaannya dengan beribu pertanyaan. Yoshida yang egois, yang terlalu takut untuk jatuh dan sakit hati. Denji tahu hal apa yang telah ia lalui hanya untuk menggapai Yoshida. Dan ketika semua itu telah terwujud, mengapa bumi harus menenggelamkan harapannya, membuatnya kembali bernapas dalam sepi?

Kali ini, dia benar benar tidak ingin melepaskan siapapun lagi.

Yoshida menggenggam tangan sang kekasih. Terdiam sebentar usai menyadari gemetar yang terasa di sentuhannya. Denji takut, dan Yoshida tahu betul. Ia hanya tidak bisa mengatakan apapun untuk membuat Denji merasa sedikit lebih aman dalam dekapannya. Yoshida memang orang yang sangat egois, namun dulunya tidak pernah seperti itu.

Yoshida menjadi egois hanya setelah bertemu dengan Denji.

"Denji, tolong ya?" Pintanya sekali lagi. Ia mengharapkan perubahan pikiran dari lawan bicaranya, namun tetap saja hal itu masih tidak mungkin untuk sekarang. Denji kembali menggelengkan kepalanya, maniknya menatap lekat milik Yoshida. Mereka sama sama terbeku walau waktu terus berjalan. Mereka saling mengerti satu sama lain, namun enggan untuk membantah pendirian masing masing.

Tatapannya sendu, kemudian marah dan kini terlihat lelah. Denji tidak melepaskan tatapannya dari Yoshida. Denji juga tidak melonggarkan pegangan erat tangannya terhadap jemari sang kekasih. Ia pernah ditinggalkan, dan ia mengerti bagaimana rasanya.

Yoshida tidak boleh meninggalkannya lagi.

Akhirnya si surai pirang menjatuhkan tatapannya. Tanpa sadar, mengembuskan nafas berat, "Gue gatau lagi Yosh." Runtuhnya.

"Susah ya kalo bareng sama gue? Gapapa lo sama yang lain juga. Gapapa, gak harus sama gue." Lanjutnya. Yoshida yang mendengar kalimat itu langsung menatap Denji khawatir. Tangannya melayang dan membelai sudut mata Denji yang mulai basah.

"Den, ngomongnya jangan gitu." Tegur Yoshida. Namun Denji semakin sesak dibuatnya.

"Yoshida, lo selalu kesulitan kalo sama gue. Sama kayak kak Aki dan adek gue yang udah gak ada. Kayaknya gue beneran bawa sial, ya gak sih?" Pirang itu tertawa kecil, dengan pipi yang basah dan bibir yang merah karena digigit untuk menahan tangis yang akhirnya tumpah juga. Denji sudah menyadarinya sedari lama.

Ia sadar akan hal ini. Namun sejatinya yang lebih egois daripada Yoshida, tidak bisa menyiapkan hatinya untuk berpisah. Lagi, dan lagi. Di dunia yang asing ini, Denji hanya memiliki Yoshida. Alasannya untuk terus berjuang, direnggut tanpa memberikannya sedikitpun waktu untuk menyembuhkan luka yang semakin memburuk.

"Denji."
"Aki kecelakaan, Power juga pergi."
"Diam, Denji."
"Kalo lo begini juga, terus gue punya siapa?"

Pertanyaan itu terdengar, menggema di kepala mereka. Jawaban atas pertanyaan tersebut sudah sangat jelas, dan mereka mengetahui hal itu. Lantaran mengapa tidak ada satupun dari mereka yang kembali membuka mulut?

Denji menjatuhkan kepalanya, menenggelamkan sendu terhadap dada bidang Yoshida yang tertidur. Pria itu tidak berkata apapun, selain mengelus surai pirang yang selalu, dan dia cintai selamanya. Dunia bisa menjadi sekejam ini dalam hitungan detik. Rasanya baru saja kemarin mereka membolos kelas untuk bermain arcade bersama. Rasanya baru saja kemarin mereka menghabiskan waktu bersama, bermain game online, bahkan sampai berlari ditengah malam kala hujan deras hanya karena jajaran bintang di sudut yang lain terlihat indah saat malam hari.

Seperti baru saja mereka melangkah, tertidur di hamparan rumput hijau untuk memandangi birunya langit. Semua itu terjadi beberapa tahun yang lalu, namun rasanya baru saja mereka melewati itu.

end game ; yoshiden.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang