Hari itu berlalu seperti kemarin. Dinginnya sendu, rumah yang sepi diselimuti oleh gelap gulita. Sudut sudut ruangan yang biasanya selalu berisik sampai larut malam, saat itu hening tanpa ada suara apapun selain suara putaran kipas angin yang disetel pada angka 2. Bulan menyinari ruangan tertutup itu melalui jendela, memberi pencahayaan walaupun lemah. Ditemani oleh bising handphone-nya yang terus bergetar sedari tadi, Denji menaikkan selimutnya dan memalingkan tubuhnya untuk tidur.
Sia sia. Hatinya tetap berdegup kencang sebagai respon atas kesepian dan ketakutannya pada kegelapan. Ia merasa diperhatikan, walaupun ia tahu betul lebih dari siapapun bahwa tidak ada siapa siapa disini. Selain dirinya, dan Nyāko yang tertidur di meja ruang tamu.
Upayanya untuk menenggelamkan diri dan beristirahat menjadi hal yang sangat sulit untuk dilakukan akhir akhir ini. Entah itu adalah sunyi yang terasa terlalu bising baginya, gelap yang mendekapnya dengan rasa takut, bahkan sampai memori yang membekas sejak 2 bulan lalu. Kantuknya ditelan oleh rasa sepi yang selalu ia benci.
Sebelum kejadian itu, walaupun jam sudah melewati pukul 12 malam hari, masih dapat terdengar suara televisi yang menyala dari ruang tamu. Power akan tertidur lelap dengan pose amburadulnya, sampai selimut dari ranjangnya terjatuh dan menutupi wajah Denji yang kelewat lelah untuk merespon. Sedangkan Aki, sudah kegiatan sehari harinya untuk menonton televisi bersama Nyāko yang tertidur di pangkuannya.
Aki baru akan tertidur setelah memastikan lampu teras sudah menyala dan mengunci pintu rumah. Kemudian ia akan mengawasi Power dan Denji selama beberapa menit, memperbaiki selimut dan posisi mereka, lalu menyetel kipas angin pada angka 2 dan akhirnya ia akan tertidur disamping mereka.
Denji hapal betul kebiasaan kakaknya itu, karena sebenarnya ia bukanlah orang yang mudah terlelap. Suara kecil seperti jatuhnya gelas plastik dari dapur pun dapat membangunkannya dari tidur. Dan setiap kali kakaknya tertidur disampingnya, barulah ia bisa benar benar terlelap dengan rasa aman dan nyaman berkat keberadaan mereka.
Hal itu tidak dapat dirasakannya lagi sekarang.
Handphonenya yang sedari tadi terus bergetar, kini sudah mulai bungkam. Penasarannya membuat Denji mengecek notifikasi yang ia dapatkan. Suaranya begitu berisik, namun ternyata tidak banyak notifikasi yang ia dapatkan selain kata kata semangat dari teman sekelasnya dan pengingat waktu yang ia setel.
[Denji, besok harus sekolah ya! harus!]
[Broden jgn lupa pr ipa dikumpul besok. klo mau nyontek gua egk pp kok, tpi nilainy bisa diluar nalar 😢. besok masuk ya 😞😞👍]
[kita sekelompok tugas informatika denjii, kerkom dirumah aku ya sama yoru. kamu bisanya kapan? aku tunggu.]Sebenarnya, ia tidak terlalu dekat dengan teman sekelasnya. Terkecuali Beam, Reze, Asa dan kembarannya yang memang sudah mengenal Denji sejak Sekolah Dasar. Sikap mereka juga berubah sejak kejadian itu, bahkan teman sekelas yang tidak pernah bertukar sapa dengannya pun seketika menjadi lembut dan perhatian terhadapnya.
Tatapan setara yang mereka berikan dulunya berubah menjadi tatapan iba, tidak tega, dan kasihan. Denji tidak membenci hal tersebut, hanya saja semuanya terasa berbeda dan ia tidak dapat beradaptasi dengan dunia barunya secepat itu.
Pria dengan surai pirang itu terkekeh setelah membaca notifikasi pesan yang ia dapatkan dari teman temannya. Contohnya Reze, yang memaksanya untuk sekolah besok. Padahal gadis itu sendiri yang dulu selalu membolos dan tidak segan mengajak Denji untuk menemaninya membaca komik di atap sekolah. Beam, yang dulunya selalu menyontek tugas rumah dari dirinya. Dan yang terakhir, Asa dan Yoru. Biasanya mereka tidak pernah menawarkan untuk kerja kelompok dirumah mereka, khawatir rumah mereka menjadi amburadul dan acak acakan dibuatnya.
Perubahan signifikan itulah yang selalu mengingatkannya pada kejadian April lalu, tepatnya pada tanggal 14.
Denji menggelengkan kepalanya ketika pikirannya mulai beranjak kemana mana. Ia merasakan kulitnya mulai merinding dan nafasnya mulai tidak beraturan. Denji masih belum bisa melupakan apa yang terjadi hari itu, ia masih belum rela kehilangan satu satunya hal yang selalu ia jaga.
Malam berganti tanpa membiarkan surai pirang itu menutup matanya barang sedikitpun. Pagi disambutnya dengan lantunan berisik dari alarm yang ia setel, membuat Denji mau tidak mau beranjak dari ranjangnya untuk bersiap-siap.
Tungkainya berjalan lunglai tanpa semangat menuju kamar mandi. Karena walaupun sedih membuatnya sulit untuk kembali berkomunikasi dengan orang lain, ia masih memiliki teman di salah satu tempat yang dulu tidak ia sukai. setidaknya, ia tidak benar benar sendirian disana.
"Pow nyalain--- air.." Ujarnya sebagai refleks ketika keran air di kamar mandi tidak menyala. Ia menarik nafas kesal, karena harus keluar lagi dari kamar mandi untuk kebelakang, dan menyalakan mesin air.
Kali ini ia tidak perlu memulai pertengkaran di pagi hari hanya untuk meminta sang adik untuk menyalakan mesin air. Sudah beberapa lama ini ia lakukan sendiri, bahkan hal hal yang biasanya mereka lakukan bersama pun tidak ada lagi. Denji melakukan semuanya sendiri.
Guyuran air dingin yang menyusuri wajahnya membuat Denji semakin sadar akan hal itu.
.....
Setelah selesai mempersiapkan semuanya, Denji beralih ke pantry dapur untuk mengeluarkan bungkus makanan kering milik Nyāko, dan menuangkannya pada mangkuk. Ia juga menuangkan air putih di mangkuk yang berbeda, dan meletakkannya disamping meja Televisi, membiarkan Nyāko yang masih terlelap di atas meja menyadari bau makanannya sendiri.
Ia mengunci pintu rumanhya, lalu bergegas turun untuk pergi bersekolah.
"Nak Denji!"
Usai mendengar namanya sendiri, Denji menoleh kearah sumber suara. Ia membalas dengan kalimat, "Ada apa?" yang ditujukannya kepada seorang wanita paruh baya dengan sebuah kotak makan di tangannya.
"Ini... bude bikin sarapan kebanyakan... nak Denji udah sarapan?" Wanita itu kemudian menyodorkan tempat makan transparan yang isinya dapat terlihat jelas. Telur, sayur, sosis, dan nasi nori. Tentu saja 'kebanyakan' hanyalah alasan yang ia katakan. Sebenarnya wanita itu sengaja memasak lebih untuk diberikan kepada Denji, teman anaknya sejak masih kecil.
Denji sedikit melenguh, ia memang belum sarapan. Tapi jika ia bilang begitu, wanita yang akrab dipanggilnya Bude ini tidak akan membiarkannya pergi bersekolah sebelum menghabiskan makanan yang diberikan.
Denji mengangguk dengan seutas senyum, "Udah, bude. Pake sereal." Jawabnya.
Wanita itu mengacungkan jempol sebagai respon atas balasannya, kemudian menepuk pundak Denji dan berkata, "Yaudah, ini bawa aja buat makan disekolah ya. Besok Bude bikin lagi, kamu mau makan apa?"
Denji semakin bingung dibuatnya.
"Iya, bude. Makasih banyak, nanti aku cuci tempatnya ya. Bude masak apa aja aku makan kok, Hehe."
Jawaban itu sepertinya cukup memuaskan bagi sang wanita. Akhirnya, mereka pun berpisah setelah Denji pamit untuk pergi bersekolah.
Bahkan setelah sampai disekolah, kelas masih memeluknya dengan sepi. Katakanlah, mungkin Denji yang bangun terlalu pagi. Namun hari hari biasanya pun begitu. Denji dan Power selalu menjadi murid pertama yang hadir dikelas, kontras dengan ekspektasi orang orang terhadap mereka. Karena biasanya, Denji dan Power pergi kesekolah dengan mobil bersama Aki yang berangkat untuk bekerja. Maka dari itu, terpaksa mereka datang lebih pagi dari seharusnya.
Aki dan Power tidak lagi disini, namun kebiasaan Denji masih sama seperti saat mereka belum pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
end game ; yoshiden.
Fanfictionend game ; yoshiden. sebuah au oleh shin. Mengambil setting diluar universe Chainsaw Man. Denji terlanjur jatuh cinta terlalu dalam untuk kembali ditinggalkan oleh Yoshida, cinta pertama dan terakhirnya. -warning bxb, mengandung beberapa smut, dan k...