Mereka Jatuh ke Jurang

14 1 0
                                    

PADA HARI HUJAN, MEREKA JATUH KE JURANG

*

Awalnya, akulah yang akan memakai jas hujan plastik berwarna biru langit.

Ketika Kak Samuel memanggilku dan memberitahukan bahwa yang selanjutnya akan mendaki bersamanya adalah aku dan Peter, aku ragu-ragu untuk mengangguk, tetapi tetap pergi menemui Peter. Ketika aku dan Peter sedang membahas banyak kemungkinan yang akan terjadi pada kami dalam pendakian, Kak Samuel datang lagi untuk berkata bahwa kami harus mengikutinya ke ruangan Ibu Panti. Aku menoleh kepada Peter untuk kemudian mendapati bahwa Peter melakukan hal yang sama kepadaku. Sejenak, kami saling pandang. Tak sampai sedetik setelahnya, kami mengangguk pelan.

Ruangan Ibu Panti Asuhan kosong ketika Kak Samuel mengunci pintu. Kak Samuel melangkah pelan-pelan-bunyinya mendadak terdengar seratus kali lipat lebih intens daripada biasanya. Setitik peluh tiba-tiba meluncur menuruni pelipisku, padahal ruangan Ibu tak panas sama sekali. Aku kira hanya aku yang merasakan sesak dramatis karena Kak Samuel, tapi ketika aku melirik Peter, anak itu mencengkeram leher dengan cara yang menurutku takkan membuat tenang, tetapi justru tercekik. Punggungku tegak secara otomatis ketika Kak Samuel duduk di depan kami, di kursi yang seharusnya diduduki oleh Ibu Panti Asuhan. Tanganku meremas celana. Aku dan Peter terpilih untuk mati.

"Kenapa harus kami?" Peter memulai. Tangannya sudah tidak mencekik leher lagi.

"Kenapa harus kami?" Aku menyuarakan pertanyaan Peter sekali lagi. Aku melakukan itu semata-mata untuk menegaskan keberanianku.

"Pilih dulu jas hujan mana yang ingin kalian pakai," kata Kak Samuel sambil mempersilakan kami memilih plastik berwarna hijau daun, biru langit, atau kuning-Kak Samuel mengambil plastik berisi jas hujan kuning.

"Tapi kenapa harus kami?" Peter mendesak, mengabaikan permintaan Kak Samuel. "Aku ingin tahu."

Kak Samuel tersenyum. "Kau baru saja mengatakan jawabannya. Kalian kan ingin tahu?"

Aku mengambil plastik berwarna biru langit; alpa menyadari bahwa Peter juga hendak mengambil plastik yang sama.

Beberapa hari sebelum kami mendaki, Peter mendatangiku dan berkata bahwa dia ingin menukar jas hujannya dengan jas hujan milikku. Aku tak mengerti alasan dibalik tindakannya, jadi aku menolak. Sehari sebelum keberangkatan kami, Peter datang lagi untuk mengatakan hal yang sama. Ketika aku menanyakan alasannya, Peter menjawab bahwa jas hujan hijau membuatnya saru dengan warna hutan. Dia ingin menukarkan jas hujan agar punya kemungkinan bertahan hidup lebih besar? Menurutku itu tidak adil, jadi aku tidak setuju. Namun, Peter memaksa. Dia berkata bahwa dia akan membiarkanku berjalan di tengah, di antara Kak Samuel dan dirinya. Dengan begitu, aku tidak akan pernah tertinggal dan tak akan pernah tak terdeteksi. Aku tidak punya alasan yang bisa meyakinkan Peter untuk menyerah, jadi aku menggunting jas hujanku dan berkata pada Peter bahwa apabila dia tidak masalah dengan jas hujan rusak, kami boleh bertukar. Dia berkata bahwa dia merasa tak masalah. Akhirnya, kami bertukar, dan aku terus dibiarkan berjalan di tengah.

Kak Samuel sempat menanyakan alasan kami bertukar jas hujan. Kami menjawab sejujurnya.

Perempuan itu menyeringai.

Tidak.

Kak Samuel menyeringai.

Maksudku, ketika kami mengatakan alasan kami bertukar jas hujan, aku merasa aku melihat seringai perempuan itu pada seringai Kak Samuel.

"Aw!" Betisku menggores sesuatu. Jalan setapak yang kami lintasi agak menanjak. Kami berjalan melewati semak-semak yang daun-daunnya tajam. Samar-samar, aku masih bisa mengingat bagaimana pondok pucat itu semakin mengecil sampai kemudian menghilang ketika kami sepenuhnya berbelok ke kiri. Selama berjalan, aku bertanya-tanya, apakah jalan yang kami lewati sudah benar? Kelihatannya kami seperti melintasi rute baru. Hutan hanya menyediakan sedikit bagian dari dirinya untuk kami lalui, tetapi Kak Samuel tak mau repot memotong ranting dan semak supaya kami bisa mendaki tanpa terluka.

Pada Hari HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang