At First Sight -02

27 3 2
                                    


Setelah hampir lima belas menit menangis akhirnya Izek berhasil membujuknya untuk berganti pakaian, dengan pakaian yang kering dan nyaman.

"Kau sepertinya peduli padanya"

Izek menoleh ke belakang, terkejut melihat kakeknya sudah di ambang pintu.

"Aku hanya mengasihaninya"

Kakek lagi-lagi tertawa mendengarkan ucapan Izek.

"Kau tidak pernah tahu kapan perasaan itu berubah nak"

Izek tidak membalas, dia tak pernah paham dengan apa yang dilontarkan oleh kakeknya itu.

"Maaf saya melakukan tindakan yang tidak sopan pada anda"

Kakek tersenyum sambil menatap Izek, membuatnya hanya mengangguk pelan pada gadis yang membungkuk didepannya. April langsung meminta maaf setelah selesai berganti pakaian.

"Tidak masalah, itu bukan hal besar lagipula orang bodoh mana yang menangis di pemakaman saat hujan badai, itu bisa membahayakan nyawamu"

Mata gadis itu membulat sempurna, terkejut dengan jawaban laki-laki yang bahkan tak pernah dikenalnya. Sedikit menusuk.

"Saya juga minta maaf atas tindakan bodoh yang saya lakukan"

Gadis kembali membungkuk sambil sedikit meringis, menahan rasa sakit dari luka di bagian lutut dan siku miliknya.

Izek berdiri dari tempat duduknya, sambil membawa sesuatu ke arahnya.

"Lukamu bisa infeksi jika tidak diobati"

April terkejut ketika mendadak laki-laki di depannya berjongkok sambil menempelkan kasa di bagian yang terluka. Wajahnya memerah.

"Anda benar-benar merepotkan ya"

Seketika suasana berubah menjadi dingin, omongan laki-laki ini benar-benar menusuk ya. Batin April.

Kakek kembali terkekeh sambil menyeruput kopi hitam miliknya. Dua puluh menit kemudian hujan sudah mereda dan langitnya tanpak cerah. Akhirnya gadis itu pulang.

"Kau benar-benar mengasihaninya hah?"

"Saya benar-benar mengasihaninya"

"Bukankah tadi itu berlebihan?"

"Tidak, itu hanya rasa kasihan tidak lebih tidak kurang"

"Saya akan pulang"

"Besok datanglah lagi, jika kau ingin menemui gadis itu"

Izek tidak merespon apapun, hanya diam menatap datar. Untuk apa pula dia menemui gadis itu?, memastikan lukanya sembuh?, bertanya kabarnya?. Omong kosong.

Sepanjang perjalanan pulang ada perasaan resah, entahlah.

Sampai di rumah, seperti biasa. Sepi.

"Dimana kakakmu?"

Sampai suara itu mengusiknya, wanita paruh baya di depannya menatapnya kosong.

"Apa ibu sudah makan?"

Izek melihat makanan yang ia buat di meja hanya diaduk-aduk. Tak dimakan sama sekali.

"Ibu ingin saya suapi?"

Kata-kata yang dari tadi ia lontarkan, tak didengarkan sama sekali.

"Kamu siapa?"

Kata-kata ibu lagi-lagi menusuknya. Membuatnya menghela nafas panjang.

"Saya Izek"

Jawaban singkat itu membuat ibu berteriak-teriak marah. Bukan nama Izek yang ingin ia dengar.

"Dimana kakakmu?, dimana Ian?"

Ibu meraih vas bunga didekatnya kemudian melemparnya ke arah Izek. Membuatnya terdiam.

"Dimana kakakmu?"

Izek menunduk mengambil pecahan vas bunga itu satu-persatu, membuat tangannya terluka.

Seletah hampir setengah jam mengamuk, akhirnya ibu lebih tenang. Rumah penuh dengan pecahan barang, kaca, bahkan darah. Izek tidak mempedulikan tangan miliknya yang sejak tadi terluka memutuskan membersihkan semua pecahan barang-barang yang terjatuh, terlempar di lantai.

Hujan mendadak kembali turun, membuat perasaannya mendadak berubah, dia mengangis.

Terisak, membuat hatinya terasa perih, bukankah harusnya lebih baik dia yang mati malam itu?. Harusnya dia memilih mati.

Malam minggu, empat tahun yang lalu...

"Kakak mau ke mana malam ini?"

Aku menarik syal yang dikenakan kakak, sambil menatapnya sedih.

"Aku hanya akan ke supermarket karena ayah menitip sesuatu"

Malam ini hari minggu, kami sekeluarga berjanji untuk makan-makan bersama. Aku sangat senang karena akhirnya ayah datang ke rumah setelah beberapa bulan bercerai dengan ibu.

Kami bisa makan-makan seperti keluarga yang lengkap dan bahagia.

"Aku ingin ikut kakak"

Bujukku sambil memeluk kakak dengan manja. Tapi kakak tetap bersikeras untuk melarangku ikut dengannya. Setelah itu kakak tidak pernah kembali lagi.

Saat itu usiaku baru empat belas tahun, aku tidak diberi tahu apapun tentang kakak, bahkan setiap aku bertanya pada ibu, dia akan memarahiku dan meneriakiku. Membuatku enggan bertanya apa yang sebenarnya. Akhirnya setelah aku bisa mencari informasi tentang kakak, aku tahu apa yang sebernarnya terjadi.

Kakak bunuh diri dari lantai dua belas di sekolahnya malam itu, membuatku menangis sepanjang hari. Dan ibu selalu menyalahkan kematian kakak padaku,

"Harusnya kamu yang mati"

"Kau tahu kenapa kakakmu mati? itu semua karenamu"

"Dimana kakakmu?"

"Kamu gila hah? Kamu membunuhnya"

Kata-kata itu selalu meluncur dari ibu setiap aku muncul dihadapannya, aku tahu aku tidak akan pernah bisa menggantikan sosok kakak di hidup ibu. Aku hanya seorang pembunuh di matanya. Izek menyandarkan punggungnya di dinding ruangan, dia benar-benar menangis.

Boleh Aku Jadi Payungmu?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang