Aku mengerjap, menatap sekitar. Ini sudah pukul tujuh pagi, aku hanya bisa menangis semalaman di kamarku. Mataku bengkak. Kakiku melangkah perlahan, membuka jendela, kemudian keluar dari kamar dengan malas. Aku melirik jam menunjukkan pukul delapan, kupikir ini sudah jam dua belas siang. Ruang tamu terlihat tenang, berati ayah belum pulang ke rumah sejak kemarin. Batinku.
Mataku melirik ke bagian bawah, bagian lututku yang masih terbungkus rapi dengan perban itu kembali mengingatkanku kejadian kemarin. Wajahku mendadak menjadi merah padam, kemarin aku benar-benar terbawa emosi sampai melakukan hal-hal diluar kesadaranku. Bagaimana bisa kamu menangis di depan orang asing seperti kemarin, kau gila hah? Batinku sambil menutup wajahku dengan telapak tanganku.
Lima belas menit kuhabiskan untuk menenangkan diriku tentang tragedi kemarin, aku mengganti perban sambil meringis, kupikir hanya luka lecet biasa? Ternyata parah juga.
"Lukamu bisa infeksi jika tidak diobati"
Mataku membelak ketika mendadak teringat kata-kata sialan itu, tatapanku tertuju ke arah cermin, melihat telingaku sedikit memerah. Hampir setengah jam aku mengganti perban, gila, mengganti perban dan merawat luka itu sangat sulit untukku. Aku pernah ikut palang merah saat sekolah dasar tapi itu sudah lama sekali, aku hapir tak mengingat apapun?
DOK! Suara pintu digedor keras sekali membuat kaca di rumah bergetar, membuatku ikut terkejut.
"Cepat buka pintunya hey bocah!"
Suara berat itu seketika membuatku merinding sekujur tubuh, kakiku berlari kecil meuju ke arah pintu. Jemariku gemetar membuka pintu berwarna cokelat tua dengan engsel yang kendur.
"Membukakan pintu saja lelet sekali!"
Bola matanya melotot ke arahnya membuatku semakin gemetar, bau alkohol yang menusuk membuatku refeleks menutup hidung. Berapa banyak alkohol yang ayah minum semalam? Batinku.
"Minggir! Aku mau tidur!"
Nada suara semakin meninggi membuatku tak berani menatap matanya.
"KAU MEMBUATKU KESAL!"
Tanpa ba-bi-bu tangan besarnya melayangkan tamparan disana, sepersekian detik kemudian mendarat ke pipiku membuat suara yang nyaring, aku tersungkur di lantai dengan hidung bercucuran darah. Ekspresinya menatapku datar, mungkin ayah sudah merasa puas karena telah melampiaskan rasa kesalnya padaku? Sosok besar itu melangkah masuk ke dalam kamar, kemudian membanting pintunya keras-keras.
Jemariku menyeka darah dari hidungku yang tak kunjung berhenti, lagi-lagi ayah pasti kesal karena kalah bermain judi. Andai ibu disini apa semua berubah? Apa ayah tetap mabuk dan bermain judi setiap malam? Apa aku tetap menjadi anak yang paling menyedihkan? Katanya dunia itu kejam, yang baik hanya ibu, jika ibu sudah pergi bukankah yang tersisa hanya aku dan dunia yang kejam, huh?
"Kau pasti membuatnya dengan susah payah kan?"
Aku hanya tersenyum mendengarnya, sesuai janji yang kubuat untuk membalas kebaikan kakek penjaga makam. Meskipun aku baru sempat melakukannya seminggu kemudian.
"Kau tidak menanyakannya huh?"
Aku menoleh ke arah kakek kemudian menatapnya tidak mengerti, menanyakan siapa?
"Kau tidak melupakan anak laki-laki kemarin kan?"
Mendadak aku tersenyun canggung, sebenarnya aku ingin menanyakannya tapi aku masih malu soal kejadian kemarin. Jadi aku memutuskan tidak menanyakannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Boleh Aku Jadi Payungmu?
Romance"Kamu bukan payungku Iz" "Lantas?" "Kamu selalu lebih dari payungku" April, gadis penuh luka yang selalu ingin Izek lindungi. Meskipun pada akhirnya Izek hanya menjadi payung bagi April. Pada akhirnya mereka harus memutuskan untuk memulai kembali at...