Banner by : @PutraRize_ ( penulis Malay )
Perlak lantai itu koyak moyak di sana-sini. Bahkan motif papan caturnya telah memudar. Nyaris tak ada barang berharga di sana selain ranjang tua dengan dengan kasur kapuknya yang telah mengeras. Dengan sprei bermotif spongebob yang telah uzur digerus waktu.
Aku tak tahu mengapa kami pindah ke emperan belakang rumah bulek Mariani. Saat itu aku masih kecil. Yang jelas aku tak suka bau pesing kencing sapi. Tak suka juga dengan bau kotorannya. Terlebih banyak nyamuknya. Kak Rida selalu mengolesi lenganku yang bentol-bentol dengan minyak kayu putih. Dan menghiburku saat aku ngambeg mengapa tak ada televisi hingga aku tak bisa menonton spongebob.
Aku juga tak tahu mengapa mama jadi aneh. Tertawa sendiri. Kadang menangis tak berhenti. Kadang memaki-maki.
"Kowe ra ngerti, Nis? Emakmu gendeng," itu kata Haris sepupuku. Katanya mamaku gil*. Tapi kak Rida bilang,
"Mama sakit, Nis. Dan kita harus menjaganya," Rida kakakku masih bisa mengucap itu dengan senyum. Dan menatapku lembut. Mengusap ingusku yang mbeler karena alergi dingin. Tempat tinggal baru kami dingin. Berdinding anyaman bambu yang angin bisa meluruk masuk. Berlantai tanah keras yang di tutup dengan perlak usang koyak-moyak. Haris bilang itu tegel palsu.
Oh mama sakit? Tapi mengapa tidak demam? Tidak batuk pilek? Atau mencret? Memang ada sakit yang cengar-cengir atau tiba-tiba nangis?
"Kenapa kita pindah ke sini, Kak? Ini kan bekas kandang kambing Haris?" Rida kakakku lagi-lagi tersenyum. Memegangi kedua pipi tembemku. Menatapku lekat-lekat dengan mata beloknya. Mata yang cantik seperti boneka berby milik Liona.
"Nisa pernah lihat orang yang bobok di bawah jembatan?" tanya kak Rida dengan senyum lembut. Aku mengangguk. Kata kak Rida mereka tidak punya rumah. Itulah sebabnya mereka tidur di sana.
"Nah, kita lebih beruntung dari mereka. Jadi harus bersyukur dan mengucap apa?" lirih aku bisikkan Alhamdulillah. Itu yang diajarkan ustadza. Tubuh mungilku ditarik dalam dekapan kak Rida. Aku tahu kak Rida menyembunyikan air matanya. Kak Rida tidak jago bohong. Aku melihat bayangan tangannya yang mengusap air mata sambil mengecupi rambutku. Jelas ada di balik cermin usang yang tergantung di dinding bambu.
Aku tak tahu apa yang terjadi dengan keluargaku. Yang jelas ayah tak hanya mengajar. Tapi juga nguli. Dan kak Rida tidak hanya sekolah. Tapi jualan gorengan yang di titipin warung mak Ijah.
Tubuh kak Rida yang biasanya harum dengan lotion aroma lavender berganti aroma gorengan. Rambutnya yang biasanya beroroma mint jadi aroma matahari.
Dan eyang? Semakin judes. Udah biasa dijudesi eyang. Tapi semenjak mama sakit eyang makin judes. Aku salah sedikit saja diamuk tidak karuan.
"Pecicilan ae! Dasar anak e wong ed*n!" semprot eyang saat aku tak sengaja mecahin mug keramik di meja. Menyemprot dengan kalimat pecicilan. Dasar anaknya orang gil*. Gara-gara menyusir si Bruno ayam jago tetangga. Yang kasmaran sama si betty ayam betina om Danes. Mereka bikin heboh di meja makan. Uber-uberan tidak karuan. Tentu saja aku usir.
"Bruno sama Betty yang salah eyang." Aku mengkambing hitamkan duo ayam yang kini kawin di dekat pohon pisang. Suaranya ribut tidak karuan. Susah payah aku bersihkan pecahan mug keramik. Tetap tidak bisa bersih karena kurang teliti . Sambil ngomel-ngomel eyang ambil alih.
Aku hanya garuk-garuk rambutku yang kusut. Memberanikan diri bertanya sesuatu yang tidak aku mengerti.
"Kenapa ayah pindah dari sini eyang? Dan kenapa aku tidak boleh bobok sini. Itu kan kamarku?" tunjukku polos ke arah pintu kamarku dan kak Rida. Aku rindu kasur empuknya. Aku rindu guling bee yang beraroma lily. Aku masih tidak mengerti kenapa aku tidak boleh membawa seluruh mainan yang di belikan eyang dan om-omku. Dan kenapa hanya membawa sedikit barang yang ayah beli sendiri?
"Ayahmu senang menderita kok. Siapa suruh tidak mau jadi ASN dengan jalan tol. Nunggu diangkat? Kapan? Keburu ubanan!" Eyang ngomel ngalor-ngidol. Hah? Memang ASN bisa lewat jalan tol Sumo? Itu jalan tol yang aku tahu karena kak Rida menyebutkannya jika kami ke Surabaya. ASN itu pakai seragam coklat kayak om Denis kan? Semua saudara ayah pakai seragam gitu semua. Apa mereka semua lewat jalan tol? Kenapa ayah tidak mau? Apakah karena lewat gerbang yang berbayar?
"Kenapa, Yah?" tanyaku saat malam harinya duduk dipangkuan ayah. Aku mendongak menatap wajah ayah. Kulitnya jadi gelap karena selalu keluyuran sehabis ngajar dengan motor bututnya. Tapi kata kak Rida ayah cari uang tambahan.
Ayah yang sibuk mengolesi perutku yang bunyi bung-bung dengan minyak kayu putih menjawab.
"Tidak berkah, Nduk?" jawab ayah sambil merapatkan jaketku. Hujan deras di luar sana dan bocor di sana sini membuat perutku bunyi bung-bung dan hidungku mbeler.
"Tidak berkah itu apa?" tanyaku sambil terbatuk-batuk. Kak Rida membawa secangkir teh hangat yang baru dibuat. Selalu kurang manis. Aku tak lagi minum susu sejak pindah ke tempat ini. Kata ayah uangnya buat berobat mama. Sambil menjawab bahwa tidak berkah itu Alloh tidak suka.
"Bisa masuk neraka trus dipanggang kayak sate?" tanyaku polos. Ayah mengangguk. Hiiyy ngeri. Tapi kenapa orang suka melakukan yang tidak berkah? Dan Alloh tidak suka? Kan bisa jadi sate neraka?
Aku minum teh hambar di antara ngik-ngik napasku. Ganti di pangku kak Rida dan dipeluk karena karena mama tiba-tiba mengamuk. Melempari kami dengan apa saja yang ada di dekatnya. Suara gaduh tidak karuan. Di antara suara ayah yang meminta kak Rida membawaku keluar.
Dengan terburu-buru kak Rida menggendongku berlari keluar. Punggungnya sempat kena timpuk panci. Sempat aku lihat mata mama memerah dan dengan tenaga luar biasa membalikkan meja hingga isinya tumpah ruah. Riuh. Gaduh.
Aku makin terbatuk-batuk karena di luar lebih dingin. Napasku kian berbunyi ngik-ngik. Hujan angin menampar kami. Dengan payung kak Rida membawaku berlari ke rumah Haris sepupuku.
Dan aku tidak mengerti saat itu. Kenapa kak Rida masih diomeli dan disalahkan? Mereka juga menyalahkan ayah. Katanya ayah keras kepala dan mama sakit karena ayah. Memang keras kepala bisa menyebabkan orang sakit?
"Mamamu itu harus diikat dan dirantai!" Cetus Haris membuatku langsung menimpuk kepalanya. Emang mamaku sapi?
Haris menjerit dan menangis karena timpukanku. Bulek Mariani memarahiku dengan pelolotan. Menyeret Haris jauh-jauh dariku. Melarang dekat-dekat dengan anak orang gil*.
Dan drama selanjutnya tertampang jelas di depan mataku. Di halaman. Di antara hujan deras mama di seret-seret banyak orang. Tenaga mama luar biasa hingga beberapa lelaki terpental. Ada bacaan ayat-ayat suci. Dan debat hebat orang-orang bahwa mama harus di rawat di rumah sakit jiwa.
Dan aku tidak tahu apa sebabnya air mataku meleleh saat melihat kak Rida berlari ke arah hujan. Ikut memeluk mama yang dipeluk ayah. Sebelum mama tersungkur dan digotong masuk rumah Haris.
"Mamaa ..." jeritku sambil menjamahi mama yang pucat dan dingin. Tangan kak Rida gemetaran dengan air mata berlelehan saat mengelap wajah pias mama yang kuyup dengan jaketnya. Aku ikut melepas jaketku. Mengelap rambut mama.
Aku masih tak mengerti mengapa orang-orang di sekitarku ribut ingin mengusir mama. Mereka kan keluarganya? Apakah jika ada yang sakit kayak mama harus tersingkir dan diusir?
***
Bersambung
***
Hehe ... Akhirnya aku beranikan diri up juga. Semoga sesuai ekspetasi. Berharap dapat apresiasi.
Boleh kritik dan saran yang membangun. Bukan menghujat.
Thanks yang udah berkenan baca.
***
Bumi Mojopahit, 30 Maret 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
🅽🅸🆂🅱🅸 ( HIATUS )
RomanceCover by : @putraRize_ ( penulis Malay ) Bukan cerita berat tentang mental health karena kurang menguasai ilmunya. Hanya cerita sederhana tentang potongan-potongan keseharian Nisaka. Yang absurd. Yang spontan. Yang berusaha fleksible dalam segala si...