―enjoy with this story!
Happy reading 🤟―Jadi anak pertama itu sulit. Banyak yang belum dimengerti, tapi dipaksa untuk pasti. Si sulung juga anak adam, hanya saja ia lebih dulu dilahirkan. Menopang banyak hal, dan berharap tidak berulang untuk manusia yang lahir setelahnya.
Menjalin hubungan dengan anak pertama itu bukanlah hal yang mudah. Terkadang raut mukanya selalu tertekuk seperti khawatir, banyak diam seperti banyak berfikir. Tapi terkadang mereka bisa memberi kebahagiaan yang tak terukir.
Anak sulung itu cepat sekali berubah pendirian, karena mereka tidak punya pilihan lain selain mengalah. Marah ia lampiaskan, kesal ia luapkan, sedih ia keluarkan, tapi tidak di hadapan orang-orang. Mereka harus cepat mengatur perasaan agar cepat kembali membaik. Sendirian.
Begitulah anak sulung.
Ego dan gengsi mereka tinggi. Sering kali tidak mau mengakui kesalahan dan bisa saja terus mencari pembelaan serta menyalahkan. Padahal sebenarnya, mereka hanya butuh waktu untuk bisa berkompromi dan mencoba menenangkan suasana dengan cara meminta maaf.
Anak sulung yang katanya kuat, tetap bisa menangis saat yang tersayangnya terluka. Mereka yang selalu terlihat kuat, ternyata memendam ketakutan yang hebat. Itu karena, amanat yang diemban di pundak, sungguhlah berat. Mereka terbiasa memikul segala hal dan membuatnya menjadi sempurna. Jadi wajar, jika mereka gagal, mereka akan sangat kecewa.
Anak sulung sedikit keras dalam memberi nasehat, tapi bukan berati mereka jahat. Sering kali pula bersikap acuh tak acuh dan seperlunya, itu karena mereka dipaksa untuk tegap saat ada beban yang tercatat. Bahasa cintanya kurang terlihat, sebab mereka tidak punya banyak kesempatan untuk belajar bagaimana menunjukkan penjabaran rasa yang hebat. Dan terakhir anak pertama itu mudah murka. Sebab mereka tidak mau lagi merasa kecewa.
Karena anak sulung banyak menelan rasa kecewa atas patahnya harapan orang-orang terhadap dirinya. Dan juga mereka enggan orang yang lahir setelahnya merasakan hal yang sama.
Abang udah gede, ngalah, ya?
Kamu, tuh, udah gede, Bang. Harus lebih ngerti.
Jadi peringkat satu buat Ibu, bisa?
Ibu, Abang, SPP Adek masih nunggak ...
Bang, handphone Ibu sudah rusak. Nggak bisa komunikasian sama pelanggan.
Mas, kapan datang melamar?
Arkan, deadline projek kemarin jam tiga harus beres.
Kamu tulang punggung keluarga, Bang. Nggak ada lagi yang bisa Ibu harapin. Adek masih terlalu kecil.
***
"Abang! Lihat nilai Adek sempurna!" Serunya dari kejauhan dengan girang sembari menghampiri sang kakak yang tengah menunggunya untuk pulang bersama.
Sang kakak tersenyum, kemudian mengusap puncak kepala adiknya dengan bangga. "Pinter, pertahankan, ya? Ibu pasti bangga kalau Adek nilainya sempurna."
Gadis ini tersenyum, "Abang harus kasih reward buat Adek," celetuknya bergurau.
"Waduh mentang-mentang dapat nilai sempurna langsung minta reward. Ya sudah, Abang traktir kamu aja, ya? Kamu boleh minta apa aja, asal jangan yang mahal-mahal, belum gajian soalnya hahaha." Balas sang kakak yang menganggap serius pada gurauan adiknya.
"Ih, Adek bercanda, Bang. Nggak usah, kita pulang aja."
"Gakpapa, jarang-jarang, kan Abang kasih jajan sama kamu. Lagi pula sekarang alasannya jelas karena kamu dapat nilai sempurna. Mau apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sulung || Mark Lee
Short Story―Cerita ini didedikasikan kepada seluruh anak pertama di dunia.― Arkan Abimahesa. Sebuah nama yang dititipkan oleh sang ayah yang telah lama meninggal. Kerap disapa Arkan, adalah sosok anak pertama dari dua bersaudara di sebuah keluarga kecil. Sebu...