Between; Abang?

22 5 0
                                    

"Aku juga adik Abang, kan?

🎬

"Jean." Panggil si remaja berhodie hitam mengintip dari pintu kamar sang adik yang sengaja ia buka.

"Iya Bang, masuk aja."

Pintu yang belum lama ditutup si bungsu itu kembali di buka si kakak tertua. Jovan.

"Belum tidur?"

Tanya pengantar yang tak berguna. Dengan mata telanjang pun bisa dilihat. Mata lelahnya masih tetap terjaga. Ralat, ia berusaha terjaga.

"Belum Bang. Ada apa?"

Tubuh jakung si sulung sudah berbaring persis seperti si bungsu tadi mengajaknya berbincang.

Menatap langit-langit kamar. Mencoba berteman dengan suasana. Disini terlalu sepi dan dingin. Jovan tak mampu.

"Handphone kamu gimana?"

Topik dimulai. Jean malas memperpanjangnya.

"Besok beli baru pakek tabungan Jean."

"Oh."

Jengah. Jean sudah lelah, tapi saudaranya berkunjung silih berganti penuh basa basi. Apa mereka tak punya pekerjaan lain untuk dilakukan? Atau ada tujua-

"Tabungan kamu banyak ya Je?"

Kening Jean berkerut dalam. Ia paham alur dari percakapan kakak tertuanya setelah ini. Itu dia tujuannya.

"Abang lagi butuh uang?" Tembak Jean langsung tanpa tedeng aling-aling.

Tubuh si sulung berjengkit bangun. Jean memang manusia super peka yang pernah ia kenal.

"Dua hari lagi ulang tahun adek, kamu pasti ingat kan?"

Diam. Jean tak ada niatan menjawab. Ulang tahun si bungsu menjadi sebuah keharusan untuk ia ingat? Iya, ia ingat. Tertempel jelas di relung otaknya yang paling penting.

Terlupa adalah dosa, itu juga aturan Gutama.

"Jean?"

"Jean lupa, Bang."

Jovan reflek berdiri. Tubuhnya sempoyongan akibat kakinya yang belum siap menumpu si beban tubuh. Terkejut.

"Kok bisa? Kamu ini kakaknya, Jean!" Tekan Jovan tak percaya akan apa yang ia dengar.

"Ngga tau." Datar Jean menatap sang kakak yang masih memandangnya bingung. "Kalau Jean tanya hari ini hari apa, Abang inget engga?"  Serobot Jean memecah fokus Jovan.

Raut bingung itu bertambah keruh. Memerah karena terlalu keras berfikir mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan Jean.

Jovan menyerah. Menggeleng-gelengkan kepalanya kaku tanda tak tahu.

"Kok bisa? Abang itu juga kakaknya." Tenang Jean meniru persis kalimat todongan sang kakak tadi. Tapi kalimatnya tak konsisten, melirih di ujung.

Jovan membeku. Otaknya benar-benar tak memberinya clue sedikitpun tentang makna hari ini.

Jean tersenyum kecil. Seperti biasanya, ia sendiri. Sungguh sendirian.

Menarik amplop di laci belajarnya, Jean dengan mantap mendekati Jovan yang berdiri memandangnya bingung.

Oh, ia masih berfikir rupanya.

"Ini uang iuran Jean, aku ngikut aja Abang mau beli kado apa buat Jenar." Tangan putih pucatnya tanpa ragu merogoh masuk ke kantong hodie sang kakak. Meletakannya disana.

Sudah. Jean rasa tujuan kakaknya kemari sudah tercapai.

Jean memundurkan tubuhnya pelan. Menunggu kalimat pamit dari Jovan agar ia bisa segera mengistirahatkan tubuh dan jiwanya. Ia terlampau cape-

"Hari ini hari apa?" Kekuh Jovan yang sepertinya bernafas dengan segala kebingungan yang tak kunjung terjawab.

Bungkam. Tak semua orang harus mengingatnya. Cukup ia sendiri.

"Jean! Jawab Abang!" Teriak Jovan memaksa akan jawaban.

Terlalu keras, Jean tak suka mendengarkannya. Bentakan sungguh mimpi buruk bagi telinganya. Mengusik.

"Sabtu."

"Jean!"

Lagi. Sekali lagi, agaknya ia tak sanggup menahan air matanya yang siap membludak keluar.

"Hari Sabtu Abang, jadwal les pianonya Jenar. Abang ngga mau nemenin?"

Jean mengalihkan pandangannya. Menahan suara sengau nya agar tak sampai terdengar. Pertahanannya sudah di ambang batas.

Benar saja, cara ini ampuh.

Si sulung itu lantas berlari keluar dan berteriak pamit tanpa menutup pintu.

Pergi meninggalkan segenggam luka baru yang ia buat dengan cara yang sama setiap temunya. Menumpuk.

Jovan dan raungannya. Adalah luka dan lara untuk Jean. Ia sudah hafal rasa sakitnya, tapi masih tersesat untuk obat penawarnya.

Tak apa, Jean masih mampu menahannya. Ia mampu.

Pintu kamar itu akhirnya Jean tutup sendiri. Membiarkannya kembali menjadi pencitraan batas yang bisa dilanggar siapapun dan kapan pun mereka mau. Iya, benar-benar sepotong kayu yang berdiri memenuhi fungsinya sebagai pintu secara harfiah. Papan penutup.

"Selamat 18 tahun Jean, selamat."

Tepat kalimat itu terlontar, isakan lirih terdengar pilu dengan tubuh merosot di depan pintu yang baru saja ia tutup. Ia kembali kalah hari ini.

Doanya bahkan terlampau sederhana untuk hari sepesial yang datang satu tahun sekali ini.

"Jean mau kunci pintunya sebentar, jangan di dobrak dulu."

Selamat Jean, lekaslah kembali.

[31/04/23]

see u; Jovan Gutama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

see u; Jovan Gutama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 31, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Between Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang