Hujan berhenti pukul sembilan tadi, biar begitu kantin masih sama penuhnya seperti biasa. Meja-meja terisi, anak-anak dari kelas sepuluh sampai duabelas berkumpul disini. Bulu kuduk Anggana meremang, mereasa diawasi dari suatu tempat. Perasaan seakan dilihat dari belakang. Angana menoleh kiri dan kanan, tapi dia tidak begitu yakin sebab kantin terlalu penuh.
Sebetulnya bukan hanya kali ini saja, tapi sudah berminggu-minggu begitu. Awalnya Anggana menampik, mungkin hanya perasaannya saja. Tapi, entahlah. Memang siapa yang memperhatikannya dengan begitu intens. Anggana hanya murid biasa. Dirinya bukan Amanda Graceva yang luar biasa itu.
Kantin yang riuh membawanya kembali pada realita. Gia yang bertubuh mungil menyusup diantara murid-murid lain. Sudahkan Anggana bilang, selain punya kemampuan luar biasa dalam mengumpulkan informasi, Gia juga pandai mencari tempat duduk. Badannya yang kecil memberi kelebihan tersendiri dalam menyusup, dan dengan gesit mengamankan teritorinya.
“Na, cepet sini. Gue udah nemu kursi kosong nih!”
Nah kan!
Gia melambai heboh, mengabaikan tatapan sinis anak perempuan lain disampingnya. Salah satu korban kegesitan Gia. Anggana tertunduk malu, ia mendekati Gia.“Aku pesen dulu ya?”
Gia mengacungkan ibu jari, memberi gestur oke. “Batagor sama es teh ya.”
Anggana mengangguk. Ia mendekati penjual batagor. Kedai itu selalu penuh, dan untuk ukuran orang tinggi standar Indonesia, Anggana cukup iri dengan Gia. Gia bisa menyelinap diantara orang-orang, tak perlu berdesak-desakan begini, menyebutkan pesanan dan tak lama datang membawa makanan. Tapi Gia sudah mendapatkan meja, pikir Anggana muram.
Anak-anak lain berebut menyebutkan pesanan mereka. Kebanyakan dibungkus, sadar diri kantin tak cukup untuk menampung seluruh siswa sekolah mereka.
“Bu punya saya, batagor pake kuah, micinnya dikit, kuahnya banyakin, nggak pake seledri juga, sama pedesnya dua tetes aja.”
“Bu, saya dulu. Punya dia ribet. Batagor pake bumbu kacang yang pedes, Bu.”
“Enak aja! Saya dulu, Bu, kan saya yang ngantre duluan.”
“Sabar ya, Eneng gareulis, semuanya InsyaAllah kebagian.”
“Tapi punya saya dulu, kan, Bu?”
“Saya aja dulu!”
Orang-orang saling mendorong. Anggana yang baru sampai ikut menjadi korban. Entah siapa yang mendorong punggungnya hingga ia nyaris tersungkur ke depan, kalau bukan karena tangan yang memeluknya, menahannya jatuh mungkin ia akan jadi tontonan. Sedetik ia ingin berbalik mengucapkan terima kasih. Tapi tangan itu tak kunjung lepas. Aroma maskulin yang menguar membuat jantungnya berdebar tak karuan. Adrenalinnya naik, tersisa perasaan takut dan was-was, apalagi ketika Anggana merasakan sesuatu di pucuk kepalanya. Orang itu mencium rambutnya.
“Stroberi. Manis,” bisik orang di belakang Anggana.
Suaranya berat. Laki-laki. Ya Tuhan, orang ini pasti laki-laki. Tapi Anggana tak bisa bergerak, badannya kaku rasa takut terlalu menguasainya. Tak lama orang itu melepas pelukannya. Setelah menguasai diri Anggana berbalik. Sayangnya tidak ada siapa-siapa di belakangnya. Laki-laki misterius itu telah pergi meninggalkan segudang pertanyaan di kepala Anggana.
Bukankah yang tadi termasuk pelecehan? Perbuatan tidak menyenangkan? Atau apa benar yang tadi itu termasuk pelecehan?
Ia melihat sekeliling. Apakah ada yang menyadari kejadian barusan?
Sayangnya orang-orang terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Anggana terdiam rasa khawatir yang diabaikannya sejak berminggu-minggu yang lalu itu kini datang lagi menghantamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
the sweetest person
Teen FictionJuan Naraya dan Amanda Graceva putus! Pasangan paling romantis seantero sekolah mereka tiba-tiba mengumumkan putus. Lalu? Tidak, harusnya sih tidak jadi masalah. Toh dunia Anggana tak pernah bersinggungan dengan dunia mereka. Tapi masalahnya dimu...