1

2 0 0
                                    

Ada yang berbeda hari ini. Mungkin hujan yang turun sejak subuh. Mungkin juga dengung riuh gosip yang mengudara sejak pagi. Atau juga pelajaran Kimia di jam pertama, apalagi minggu kemarin Ibu Mega, guru Kimia tercinta (re: galak) sebelas empat, mengatakan akan mengadakan ulangan harian. Semua orang begitu sibuk, membaca bab yang dibahas minggu kemarin. Juga sesekali terselip gosip yang sudah beredar di akun sosial media milik sekolah. Akun yang diikuti murid-murid dan tanpa guru ini menjadi sarana berbagi informasi paling panas. Informasi dari yang paling receh sampai maha penting.

Hujan belum juga berhenti. Di teras kelas, payung-payung warna warni berjejer membentuk barisan tidak teratur. Begitu pun jas hujan yang menggantung, membiarkan tetes demi tetes air terjatuh. Hawa dingin yang menyusup lewat ventilasi membuat Anggana mengeratkan jaket biru dongkernya. Anggana tidak menyukai hujan sebetulnya, selain jalanan yang basah, kendaraan yang merayap, juga rasa dingin tak terhankan yang selalu terasa membawanya terbang melintasi masa. Pethricor, orang bilang.

Dengung riuh itu masih saja terdengar. Bahkan bila Gia, teman sebangkunya, yang terkenal dengan kemampuan mengumpulkan informasi paling cepat belum datang pun Anggana samar-samar dapat mendengar berita yang mengudara itu. Apalagi kalau bukan mengenai pasangan paling romantis di sekolah mereka. Juan Naraya dan Amanda Graceva. Satu tahun di atas Anggana. Keduanya rupawan, berasal dari kalangan borjuis, dan cukup terkenal di media sosial (setidaknya itu yang Anggana dengar dari Gia).

“Nggak nyangka banget, kok bisa sih mereka putus? Padahal kalau lihat postingan mereka, mereka itu so sweet banget. Iya nggak?”

Itu Syifa, anak yang duduk persis di sampingnya. Dua orang lainnya mengamini.

“Kemarin lusa Kak Manda masih posting foto bareng Kak Juan loh, pegangan tangan gitu, kayak baik-baik aja. Eh, tiba-tiba hapus foto-foto Kak Juan. Lo lihat kan story punya Kak Manda?” Andrea menimpali, yang lain mengangguk.

“Jangan bilang siapa-siapa ya,” kalimat pembuka yang biasanya menyebar selayaknya mata rantai, “gue dengar-dengar sih karena orang ketiga.”

Asumsi semakin liar. Gosip selayaknya bola panas yang tanpa disadari membesar tak terkendali.

“Yang benar lo?!”

“Iya. Gue kan punya teman yang temanan sama teman teman-temannya Kak Manda. Informasinya valid tapi belum dikonfirmasi aja,” Nabila mengangguk yakin.

Anggana mengernyitkan dahi. Ada berapa kata teman dalam perkataan Nabila. Tidak meyakinkan.

“Nggak yakin deh gue. Masa cewek dengan spek sebagus Kak Manda diselingkuhin.”

Diam-diam Anggana mengangguk, menyetujui pendapat Syifa.

Di sekolah mereka siapa sih yang tidak mengenal Amanda Graceva. Anak kelas duabelas satu yang cantik, ramah, dan disukai banyak orang. Bahkan Kak Manda juga merupakan Wakil Ketua Osis.

Anggana menggeleng. Ya Tuhan, ia jadi mengikuti obrolan Syifa, Andrea, dan Nabila sih. Padahal sebentar lagi akan ada ulangan. Setidaknya ia harus membaca biar sedikit. Di rumah mana sempat belajar.

Apa Anggana murid pemalas? Tidak juga, hanya tidak ada waktu saja. Dan beruntungnya orang tua Anggana tidak pernah menuntut ranking. Pas KKM saja sudah bagus. Alhamdulillah, kata Ibu.

“Yaudah kalau nggak percaya. Tanya Gia deh, teman yang gue bilang tadi temannya Gia juga, pasti Gia juga tau.”

“Na!” Andrea memanggil Anggana, “Gia mana?”

“Belum datang.”

Syifa mendesah kecewa. “Kemana sih dia? Kebiasaan banget telat, dari kelas sepuluh loh. Tapi kalau masalah ghibah, Gia biasanya yang paling cepet. Koneksinya banyak.”

the sweetest personTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang