Bab 3 : Anggota Baru

10 2 0
                                    

Aksa menatap langit-langit aula dengan perasaan bosan. Sudah satu jam dia duduk salah satu kursi aula tanpa melakukan apapun, kecuali menatap Bulan yang sibuk dengan ponselnya—entah sedang menghubungi siapa, Aksa tidak begitu peduli.

"Masih lama? Udah malem loh," ucap Aksa saat menengok jarum jam di pergelangan tangan kirinya.

Bulan sedikit berdecak lalu menggseser pandangannya kepada Aksa. "Kan sudah gue bilang, lo nggak usah ikut," kesal Bulan menanggapi ocehan Aksa. Dia yakin, bakal panjang buntutnya.

"Biasanya juga ngaret begini? Nunggu kuota 75%? Really?" Aksa sok berlaga kaget, padahal dia sudsh tahu betul bagaimana kebiasaan rapat organisasi mahasiswa yang suka ngaret karena menunggu kuota peserta rapat. Belum lagi bahasan yang bertele-tele membuat rapat semakin tidak efektif. "Enggak ada yang berusaha bikin sistem baru gitu?"

Bulan mengembuskan napas kasar. Capek, tapi sepertinya dia harus menahan Aksa supaya tidak banyak ulah di Organizing Committee. "Sa, please! Jangan bikin ulah dulu, ya. Gue pusing, divisi kita yang hadir baru kita berdua. Progres kerjaan juga belum nambah karena gue sempat opname."

"Lo takut?"

Bulan menggeleng. "Gue cuma nggak mau cari masalah. Biar aja mereka begini sesuai "tradisi", yang terpenting selesai acara ini, gue nggak akan masuk lagi," ucap Bulan dengan tatapan serius, tatapan yang jarang Aksa temui di hari-hari biasa kuliah. "Gue juga nggak mau lo punya masalah sama mereka," lanjutnya sebelum kembali sibuk dengan ponselnya.

Aksa menyandarkan punggung ke kursi dengan tatapan tak lepas dari Bulan. Pikirannya mengembara, mencari celah bagaimana mengubah sesuatu yang disebut tradisi itu, atau setidaknya dia bisa mengeluarkan Bulan dari lingkar setan ini.

"Kalau lo mau nyari tahu kebenaran yang terjadi dengan kakak lo, sebaiknya jangan dulu mengusik sistem mereka. Ikuti aturan main mereka dulu untuk mendapat bukti. Setelah selesai dengan aman, lo baru bisa bertindak. Sejak kejadian Kak Anita, mereka selalu tertutup dan hati-hati," terang Bulan secara tiba-tiba. "Gue bakal bantu lo."

***

Rapat berjalan seperti biasa. Lama dan tidak efektif membahas apapun. Verifikasi dari Steering Committee terasa sangat tidak perlu dan hanya membuang waktu karena pembahasan hanya seputar konsep. Padahal yang terpenting dari pelaksanaan acara adalah teknis yang mana butuh rencana cadangan jika ada kejadian tak terduga.

Aksa mulai mengerti kenapa Bulan masih bertahan sampai sekarang dengan sistem sampah seperti ini. Bulan peduli dengan teman-temannya di dalam satu kepanitiaan. Jika ada yang keluar otomatis beban anggota yang bertahan makin besar, belum lagi ditambah kena marah anggota Steering Committee.

Senioritas yang dihapuskan dalam ospek, ternyata beralih di sini. Itu yang Aksa pahami. Meskipun ketetapan baru dari rektor telah mengatakan bahwa tidak ada lagi senioritas dan perploncoan kepada mahasiswa baru, nyatanya tradisi itu hanya berpindah subjek. Memang benar sekarang ospek diisi dengan seminar dan kegiatan menyenangkan, tetapi jangan salah, kampus teknik selalu mempunyai celah untuk tetap melestarikan tradisi senioritas—seperti sistem kepanitiaan event ini.

"Mereka nggak balik? Rapat udah kelar kan?" Aksa bertanya kepada Bulan saat melihat Gio dan panitia inti masih mengobrol dengan anggota SC di teras aula.

"Biasalah, paling mereka ngobrol sampai pagi, terus ujungnya bolos kuliah," jawab Bulan enteng.

Aksa hanya manggut-manggut mendengarkan jawaban Bulan, seakan makin mengonfirmasi mengapa mayoritas aktivis mahasiswa mempunyai IPK jeblok. "Kenapa lo nggak kayak mereka? Kenapa masih rajin kuliah?"

Mendengar pertanyaan Aksa, Bulan langsung membalikkan badan dengan wajah masam. "Gue masih butuh membahagiakan orang tua gue dengan lulus bernilai bagus dan mendapat pekerjaan layak. Kalau mereka, tanpa berjuang pun udah dapet warisan, kayak lo," ketus Bulan kesal.

"Kalau gitu, kenapa masih mau ikut beginian? Sudah pasti ganggu kuliahmu." Rupanya Aksa belum puas mendapat semprotan kekesalan Bulan, mancing bara api terus.

"Gue pikir ini salah satu cara mendapatkan link di dunia kerja. Entahlah, jalani aja dulu. Ribet bener! Lagian kenapa lo ngekorin gue mulu sih?"

Aksa tersenyum jahil sembari berkata, "Kan mau antar pacar pulang."

Mendengar kata "pacar" di dalam kalimat Aksa membuat kedua mata Bulan melotot hampir lepas dari tempatnya. Memang sih, beberapa waktu belakangan setelah insiden pingsan, mereka jadi dekat dan digosipin jadian. Tetapi, kan, kenyataannya tidak seperti itu. Bulan hanya takut telanjur nyaman dengan keberadaan Aksa, padahal Aksa tidak pernah benar-benar serius dengan semuanya—mengingat kelakuan Aksa yang cenderung slengekan.

***

Kamar dengan nuansa monokrom menyambut lelah Aksa. Sebuah bingkai foto yang terpajang di atas meja belajar menjadi benda pertama yang disentuh Aksa. Potret seorang gadis berbaju tosca menggandeng seorang anak laki-laki memegang robot transformer. Itu adalah foto terakhir Aksa bersama Anita—kakak satu-satunya yang mengembuskan napas terakhir di acara makrab angkatan lima tahun yang lalu.

Jika mengingat hari di mana jenazah Anita diantar pulang oleh ambulans, hati Aksa masih terasa pilu. Bagaimana tidak, jika kakaknya berpamitan untuk acara senang-senang tetapi pulang tinggal kenangan. Semua terlalu tiba-tiba bahkan tidak wajar. Namun pihak kampus seolah menutupi kejadian sebenarnya dengan memberi keterangan bahwa penyebab kematian Anita adalah hipotermia akut. Orang tua Aksa pun mau tidak mau pasrah dan ikhlas dengan keadaan supaya arwah Anita tenang di alam sana. Tetapi tidak dengan Aksa. Alasan utamanya masuk jurusan dan universitas yang sama dengan kakaknya untuk mencari keadilan.

"Gue denger dari Bulan, beberapa orang di angkatan lo bahkan atasnya masih berkeliaran di kampus, Kak. Gue bakal cari orang yang bertanggung jawab atas semua yang terjadi," gumam Aksa sembari meraba potret kakaknya yang tengah tersenyum.

Ponsel Aksa berbunyi. Sebuah notifikasi WhatsApp masuk beberapa kali sekaligus. Tak selang lama, sebuah panggilan masuk dari Bulan diterima oleh Aksa. "Halo, Lan?"

"Gue kirim dokumen daftar peserta makrab lima tahun yang lalu beserta seluruh panitia yang bertanggung jawab. Ada foto-foto dan biodata juga. Entar lo pelajari dulu, sambil gue cariin informasi tambahan. Kayaknya ada penyintas lain tapi di-keep kating," jelas Bulan to the point.

Aksa tertawa kecil, menyadari Bulan begitu serius membantunya. "Lan, gue aja baru sampai rumah, lo udah dapet info sebanyak ini. Terharu gue."

"Dih, gue nggak bantuin lo, ya. Gue bantu nyari keadilan buat Kak Anita."

"Dia pasti bangga di alam sana punya adik ipar macem lo," canda Aksa yang sudah pasti disanggah Bulan.

"Sa, kalau gue baper lo tanggung jawab loh!"

"Beres! Gas ke KUA!"

"Aksara!!!"

Aksa terbahak melihat reaksi Bulan. Ya, sebenarnya Aksa serius sama Bulan, tetapi jika benar diseriusin takut Bulan kabur. Jadi, ya, sudahlah. Let it flow saja.

***

[RWM] Detak : Kayu KenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang