Bab 4 : Komite Angkatan

5 1 0
                                    

Bulan belum menjawab pertanyaan Aksa tentang sesuatu yang terjadi di makrab angkatan setiap tahunnya. Diamnya Bulan membuat Aksa makin yakin bahwa pada waktu itu terjadi "tradisi" itu. Entah tradisi apa, yang jelas pasti bukan hal yang baik—menurut Aksa.

"Lo bisa sabar dulu, enggak, Sa? Soalnya apa yang dikata "tradisi" ini punya berbagai perspektif. Jadi, gue belum bisa bilang selagi gue belum yakin kepala lo adem nanggepinnya," jelas Bulan pada akhirnya setelah beberapa saat memilih diam.

Aksa berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan menuju dinding kaca yang membatasi area perpustakaan kampus dengan taman. Matanya menerawang lurus ke depan dengan pikiran berkecamuk. Bisa dibilang Aksa memang tak sabaran untuk mengusut kembali kasus kakaknya.  Terlebih ada kejadian dengan Bulan juga tempo hari.

"Lo nggak percaya sama gue?" celetuk Aksa tanpa menoleh ke arah Bulan yang masih duduk di bangku sudut perpustakaan.

Gadis berambut sebahu itu pun berdiri kemudian menyusul Aksa. Ditatapnya lekat-lekat pemuda yang tengah dekat dengannya beberapa hari terakhir itu. Bulan tahu bagaimana rasa Aksa menahan rasa sakit selama ini, tapi Bulan juga tidak mau gegabah. Dia tidak mau usaha mereka hancur hanya karena emosi Aksa.

"Justru karena gue sangat percaya sama lo, bahkan pengen kasus Kak Anita terungkap, makanya gue perlu hati-hati. Gue takut kalau ternyata kasus Kak Anita bukan karena "tradisi" tetapi juga ada faktor X yang mempengaruhi." Bulan berjalan menipiskan jarak dengan Aksa. Diraihnya jemari Aksa dalam genggaman. "Gue emang nggak kenal langsung dengan Kak Anita. Gue cuma tahu dari cerita kakak tingkat. Tapi, gue tahu betul gimana sayang lo ke dia. Jadi, gue mohon lo yang harus percaya sama gue. Apapun yang berarti buat lo, juga berarti buat gue," ucap Bulan diiringi senyum tulus.

Sesaat Aksa terpana. Ini kali pertama Aksa menemui sosok Bulan yang hangat penuh kasih dan sangat perhatian. Berbeda dengan Bulan yang biasanya—selalu berhawa musuh karena sikap jahil Aksa kepadanya. Luka lima tahun lalu yang kembali basah pun tidak terlalu perih karena keberadaan Bulan bisa menjadikan obat baginya.

"Oke." Aksa membalas genggaman tangan itu lebih erat. "Terima kasih, ya."

Bulan mengangguk. "Gue juga berterima kasih sama lo. Berkat lo narik gue dari hadapan Gio waktu itu bikin gue sadar bahwa ada sesuatu yang salah di sistem organisasi kampus yang perlu dibenahi dengan kerja keras."

Aksa tersenyum—bukan senyum jahil seperti biasanya. Sepertinya Aksa telah menemukan titik nyaman bersama Bulan—gadis yang dulu selalu menganggapnya musuh. Ya, memang benci dan sayang hanya berbatas dinding setipis tisu. Jadi, terkadang orang bingung tengah mengekspresikan rasa sayang atau bencinya. Dulu, bagi Aksa marahnya Bulan karena kejahilannya merupakan sebuah kepuasan tersendiri. Namun saat dia tidak bisa melihat Bulan menangis atau terluka, Aksa menyadari bahwa segala kejahilannya selama ini adalah cara dia mencari perhatian Bulan.

"Lan—"

"Ya?"

Aksa tak lagi meneruskan kalimatnya. Dia tidak ingin merusak kebersamaannya dengan terlalu dini mengucap cinta atau mengubah status. Tekad Aksa yang menjadi prioritas kali ini hanya dua, yaitu mencari keadilan untuk Anita dan melindungi Bulan. "Makan, yuk!"

"Di mana?"

"Lo mau makan apa?"

"Siomay boleh?"

"Boleh, dong!"

Aksa tersenyum melihat reaksi Bulan. Buru-buru pemuda itu menarik lengan Bulan keluar perpustakaan menuju kedai siomay kesukaan Bulan. Entah Bulan sadar atau tidak, kini gadis itu tak lagi menganggap Aksa sebagai musuh, bahkan sikapnya begitu manis di depan Aksa. Mungkinkah—sebenarnya Bulan juga telah menemukan titik nyaman di dalam diri Aksa? Hanya Bulanlah yang bisa menjawab.

***

Aksa menatap layar laptopnya sejak satu jan yang lalu. Dia kembali mempelajari dokumen kiriman Bulan terkait kegiatan organisasi. Sejauh ini memang belum ada sesuatu yang bisa dijadikan bukti karena semua dokumen bersih. Di dalam Laporan Pertanggungjawaban pun tidak ada indikasi kegiatan yang menyeleweng atau tidak wajar. Semua berpedoman pada tata tertib yang ada. Lantas, bagaimana cara para senior menyelipkan apa yang dikata Bulan sebagai tradisi tersebut?

Sedikit jenuh dengan apa yang Aksa kerjakan, tidak ada titik terang apapun. Bulan pun belum buka suara. "Sial!" seru Aksa yang mulai frustasi dengan mengacak rambutnya. Seharusnya waktu ada makrab angkatan dulu, dia tidak perlu ikut keluar kota orang tuanya menghadiri pernihakan sepupu, jadi dia bisa menjadi saksi langsung bagaimana jalannya acara makrab itu sebenarnya.

Tak berapa lama, Aksa mengingat sesuatu pada salah satu subjek file kiriman Bulan, yaitu Komite Angkatan. Aksa baru menyadari satu hal bahwa dalam setiap angkatan ada perwakilan yang disebut dengan Komite Angkatan. Jumlah mereka per angkatan hanya tujuh orang yang mana selalu mendapat undangan di acara makrab. Jika benar "tradisi" yang dimaksud adalah sebuah senioritas terselubung otomatis melibatkan angkatan-angkatan senior yang mana mereka para anggota Komite Angkatan merupakan para senior. Berarti kunci dari permasalahannya bukan pada Steering Committee tapi bisa jadi di kubu Komite Angkatan yang terlepas dari struktur organisasi resmi kampus.

Aksa mengamati satu per satu foto para anggota Komite Angkatan dan benar saja, Aksa merasa familier dengan salah satu di anggota Komite Angkatan dalam daftar. Ingatan Aksa dipaksa untuk mencari sosok itu. Ternyata Aksa menemui orang yang tertulis dalam daftar bernama Finan itu pada malam rapat. Finanlah yang dia lihat duduk bersama Gio dan beberapa anggota Steering Committee di teras malam itu. Di dalam dokumen tertulis Finan merupakan anggota Komite Angkatan tujuh tingkat di atasnya. Artinya saat kejadian kasus Anita, Finan sudah menjadi senior. Mungkinkah Finan tahu terlibat? Aksa tidak mau menyimpulkan sedini ini, yang jelas dia akan mengorek informasi terkait kegiatan yang dibawahi oleh Komite Angkatan.

Diambilnya ponsel yang tergeletak di sebelah laptop kemudian menekan tombol dial setelah menemukan nama Bulan pada daftar kontak.

"Hallo!" sambut Bulan dari seberang telepon.

"Lo bisa jelasin ke gue apa itu Komite Angkatan juga kegiatan yang dibawahi mereka?" tanya Aksa to the point.

"Bisa. Emang gue nunggu lo menyadari keberadaan mereka dulu dari dokumen yang gue kirim, baru gue bisa mulai bercerita tentang "tradisi"."

Aksa terkekeh mendengar pernyataan Bulan barusan. Ternyata Bulan masih Bulan yang suka memberi PR kepada Aksa. Jika sebelumnya dia tak mau serta merta menjelaskan tugas kuliah kepada Aksa dan minta Aksa memahami materi dari dosen terlebih dahulu, kini dalam kasus pun Bulan masih bermain dengan cara yang sama.

"Emang susah berurusan sama anak emas dosen strukbang, ngasih PR mulu. Enggak mau langsung kasih jawaban," gerutu Aksa yang ditanggapi tawa Bulan.

"Biar Aksa pinter," jawab Bulan dengan entengnya.

"Iya, Ibu Bulan. Siap-siap sana, lima belas menit lagi gue jemput lo, sekalian temenin gue makan, ya."

"Dih, lama-lama gue temenan sama lo bisa naik BB gue."

"Enggak apa-apa, gue tetep sayang, kok."

"BASI AKSARA!"

Kapan lagi Aksa bisa menggombal jika tidak waktu bercanda seperti ini, bukan? Ya, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.

***

[RWM] Detak : Kayu KenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang