Jadi, begini akhirnya? Siapa yang harus disalahkan dari semua kejadian yang menimpa keluarga ini? Hal itu tidak mau hilang dari kepalaku, mempertanyakan harus apa, harus bagaimana kedepannya. Ditinggal Ayah selamanya, ternyata tetap beda rasanya, ketika dia juga sudah pernah memilih pergi dari atap yang sama. Lalu Bunda, nanti apa lagi?
"Kak, ayo, mobilnya udah mau jalan." Arman menyadarkanku dari lamunan. Kami sekarang sebatang kara. Menebak nasib kami akan seperti apa, adalah hal yang sama sekali gak pengen aku pikirkan, sejujurnya. Tapi, akhirnya memang harus ditentukan, kami akan bagaimana kedepannya. Mengingat Ayah adalah anak semata wayang, dan masih memiliki Ibu yang tidak lain adalah Nenek kami berdua, aku dan Arman, pilihan terbesar adalah tinggal Bersama Nenek. Sementara keluarga Bunda? sudahlah, mereka menganggap aku masih hidup saja sudah syukur. Bunda punya satu kakak perempuan, juga satu adik laki-laki. Bunda, Kakak tertua di keluarganya. Tapi, kenapa mereka tidak mau mengasuh kami selepas kepergian Kakak mereka? kurasa memang sebaiknya tidak dengan mereka.
"Kak, mau berapa lama lagi Kakak diam ngelamun gitu?", tegur arman lagi.
"Iya, ayo pergi, kasihan Nenek udah nungguin dari tadi."
"Ya aku juga dari tadi udah ngajakin, tapi ada terus, tuh, melamun," anak itu lagi-lagi mencoba melucu dengan membuat muka konyol seperti memonyongkan bibirnya, lumayan mirip karakter Donal Bebek.
"Untuk ukuran anak sd, kamu lucu sih, Ar," aku setengah terkekeh mencoba menertawakan tingkah konyol anak itu.
Tiba-tiba kami sudah di mobil, menuju Bandara. Kami, aku dan Ar, akan menetap Bersama Nenek. Meninggalkan kota Medan, dengan hati yang campur aduk. Semuanya gak terbilang tiba-tiba. Hanya saja, segala yang menyakitkan itu datang beruntun. Bayangkan, kamu harus dipaksa dewasa oleh keadaan? Jauh hari, kamu hanya anak remaja yang mengikuti alur hidup, yang pastinya hidupmu dipenuhi dengan peranan orangtua, seperti hidup kebanyakan anak lain.
"Nanti di sana, kita bisa mulai semuanya, dari awal, Am", kata Nenek sayup-sayup membawaku lagi tersadar .
"Emang kenapa harus pindah, sih, Nek? Ayah dan Bunda memang udah gak ada, tapi, kan rumah Ar sama Kakak masih di situ, aneh deh orang dewasa. Bahkan semalam, kenapa Kakak sampai nangis-nangis sesenggukan gitu sama Tante Rima, Om Hendra juga galak gitu, lihat Ar, padahal Ar, gak ada salah apa-apa ya, aneh."
Reaksi kami berdua mendengar bocah itu cuma bisa tersenyum lemah dan saling pandang. Ada banyak pertanyaan pasti di kepalanya saat ini, tapi, mungkin memang harus begini dulu, sebaiknya.
Banyak yang harus tertinggal di kota ini, rumah yang selama ini kami tempati, tempat sejuta kenanganku dengan Ayah, Bunda, juga Armanta. Rania dan Fita, sahabatku sejak masa taman kanak-kanak sampai saat ini. Bu Iyam, yang bekerja di rumah sedari aku kecil. Satu lagi, yang ini sangat spesial untuk anak remaja kayak aku. Siapa lagi, kalau bukan pacar. Tapi ternyata, meninggalkan dia untuk pindah dari kota ini, bukan hanya perihal jarak yang terpisah. Rupanya, pergi dari kota ini, adalah kata pisah juga untuk hubungan kami, berjalan selama tiga tahun nyatanya gak cukup lama buat kami saling paham dan tahu satu sama lainnya. Ternyata Raka, hanya bisa dikenang sebagai masa lalu, bukan masa depan.
Greetings from author
Halo, salam hangat semua! semoga kalian semua saat ini dalam keadaan sehat dan bahagia, ya. Cerita ini, aku senang banget akhirnya bisa mulai nulisnya. Selamat mengikuti kisah Amanda si anak baik dan sedikit lucu(mungkin) dan Raka si masa lalu yang seharusnya bisa diusahakan sebagai masa depan(?). Semoga kalian mendapatkan hal baik dan menyenangkan dari cerita ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love The Same
RandomPunya keluarga yang utuh dan hidup sederhana saja cukup bagi Amanda, segalanya terasa mudah pada awalnya. Ada Ayah dan Bunda, dan Armanta adik satu-satunya. Jangan lupakan, perjalanan cinta di masa putih abu-abu yang dia miliki. Semua tampak mulus...