Chapter 2- Ada Setan, Berwujud Manusia

24 2 2
                                    

Haiii, been a while ya! maaf sekali untuk waktu yang lama melanjutkan cerita ini, jujur awalnya aku masih skeptis sama diri sendiri untuk menulis cerita lebih panjang dari pada biasanya, kalau ini berezeki, semoga bisa panjang, dan kalian menikmati ceritanya. Cerita ini, sederhana, tidak menghidupkan pemeran yang kaya raya, cantik rupawan, dan segenap kesempurnaan hidup yang tersaji di angan-angan. aku coba untuk menulis realistis dan sedikit menggali sisi kocakku, mungkin bisa.. mungkin tidak, sih wkwkw, untuk yang satu itu. Semoga referensiku cukup ya, untuk ngelawak lewat tulisan. Dan, selamat membaca, teman-teman terkasih:)



"Baru pulang, Am?" sambut nenek di kursi teras, sambil menyulam kain untuk taplak meja. Itu kegiatan favoritnya. Dari kegiatan favoritnya itu, nenek malah jadi menyalurkan kain-kain sulamannya untuk diperjualbelikan, tidak menghasilkan banyak pundi-pundi, tapi terkadang cukup untuk menutup biaya dapur kami.

"Iya, Nek.. Capek banget! Mana tadi aku disuruh temenin Ibu si bos lagi." Aku tahu ngeluh kek gini pasti cuma disambut belaian dan senyuman. Tapi memang itu yang kutunggu dari Nenek. Rasanya, semua lelahku hilang kalau lihat senyum Nenek.

"Udah makan, belum? Nenek masak sayur asem, sama ikan gembung digoreng, kesukaanmu" kata nenek sembari mengusap kepalaku.

"Ah, aku nggak jadi capek deh, kalau gini", balasku manja, sambal kupeluk kecil badannya yang terlihat semakin ringkih, atau perasaanku saja? Ah aku sayang Nenek sedunia akhirat pokoknya.

"Ya udah, sana masuk. Bersih-bersih, habis itu makan, salat, terus istirahat."

"Iya, Nek.. aku bersih-bersih dulu ya".

Tapi, baru beberapa langkah masuk ke rumah, aku baru teringat satu hal, kenapa rumah rasanya sepi banget. Kayak ada yang kurang, hm anak itu..

"Nek.. kok rumah sepi, si Arman kemana, Nek?" Sebagai cucu yang baik aku gak teriak-teriak, aku mendatangi Nenek lagi, cuma buat anak satu itu. Kalian harus tahu, betapa mengesalkannya dia, tapi sebesar apapun kesalku, ujung-ujungnya aku luluh juga karena sayang. Armanta, Adikku yang masih berusia lima belas tahun, baru menginjak putih abu-abu dan sudah menjadi ababil, mau tidak mau siklus beranjak dewasanya dia, mengundang guratan keriput di wajahku. Sepanjang hari peranku jadi ibu tiri karena dia.

"Tadi, Arman ijin, katanya mau ngerjain tugas fisika bareng si Bagas. Mungkin pulangnya sehabis isya" jawab nenek.

"Beneran ngerjain tugas, Nek? Nanti dia bohong kek yang udah-udah, anak itu!"

"Am, jangan terlalu keras sama dia, Nak. Semakin kamu keras, semakin dia jadi membangkang".

"Nek, kita keras aja dia susah banget dibilangin, apa lagi kalau kita lunakin. Am capek ngehadapin dia dengan siklus puber yang selalu dia agung-agungkan itu, emang cuma dia aja yang pernah puber, Am juga kali!"

"Iya..iya, udah sana lekas bersih-bersih, nanti pasti Arman pulang tepat waktu".

Akhirnya aku hanya mencoba berpikir positif tentang anak itu, lagi pula hari ini sungguh melelahkan, aku perlu mandi dan menjernihkan pikiran, biar otot-otot di wajah dan tubuh ini rileks juga, lama-lama gini beneran keriput aku, mana umur lagi genting-gentingnya untuk perawatan anti-aging, lah, kita malah melatih diri untuk mempercepat penuaan.

****

Kekhawatiranku benar, Arman belum pulang dan ini sudah jam sepuluh malam. Siapa yang nggak jadi kakak cerewet, kalau punya adik kayak gini. Kalau sudah gini, mana bisa aku cepat tidur. Bahkan ditelepon pun, dia nggak angkat. Arman.. Arman, beneran pengen dilayangin sapu anak ini.

"Udah, sabar dulu Am.. siapa tahu dia lagi di jalan pulang."

"Sabar gimana, Nek.. ini tuh udah jam sepuluh, dia juga gak sampai-sampai dari tadi telepon gak diangkat." Kalau udah gini mondar-mandir emang kawanan dari gelisah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 08, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love The SameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang