Happy reading, guys!
***
Seorang gadis berjalan mengendap-endap menuju pintu besar rumahnya.
Celana jeans dengan banyak robek-robek di bagian lutut, kaos putih polos dan jaket kulit menjadi pelengkap tampilannya saat ini. Rambut yang diikat sembarangan memperjelas betapa tomboinya dia.
Gadis itu membuka pintu perlahan, lalu menutupnya dengan gerakan paling halus—menurutnya. Hanya karena tidak ingin ketahuan bahwa dia baru tiba di rumah di jam sedini ini.
Namun, begitu tubuhnya berbalik setelah menutup pintu, mata cantiknya berserobok dengan sepasang mata yang menatap tajam ke arahnya.
“Papa, he he.” Gadis itu—Livia menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Hilang sudah usahanya menyembunyikan diri.
Dengan langkah kaku, dia menghampiri ayahnya yang masih belum bicara.
“Papa belum tidur?” Livia mencoba bertanya dengan santai.
“Kamu tahu jam berapa ini?” tanya sang papa dingin.
“Ayolah Papa, ini masih jam satu malam. Biasanya juga pulang jam dua atau jam tiga.”
“Papa tahu ini jam satu malam! Tapi kamu habis dari mana?”
“Main lah, Pa. Nongkrong sama teman-teman.”
“Siapa?”
“Papa kan udah tau siapa temen aku. Adi, Aldo, Reva—”
“Stop!”
Pak Lukman, papa dari Livia memijit pelipisnya. Kepalanya serasa pening karena terus memikirkan putrinya yang tidak bisa dinasihati.
“Mulai siang nanti, kamu berangkat ke pesantren. Tak ada tapi-tapian!”
Pak Lukman segera beranjak pergi melihat putrinya yang hendak protes. Sakit di kepalanya semakin menjadi saat mengingat istrinya yang sering sakit akibat mengkhawatirkan Livia yang terlalu liar.
Pria baya itu menghampiri istrinya yang terlelap, mengecup kening dan berbaring di sisinya seraya memeluknya.
.
.
.Pagi hari yang tenang harus hancur karena teriakan Livia. Dia pikir ucapan sang papa tadi hanya sebuah canda demi menakutinya.
Namun, pagi-pagi sekali dirinya disuguhkan dengan jejeran koper yang menanti. Semua orang telah bersiap mengantarnya pergi.
“Cepat mandi, kita berangkat sekarang ke pesantren.”
“Aku tak ingin ke pesantren, Pa. Ma, aku mohon.” Mata Livia berkaca-kaca menatap mamanya yang hanya menatapnya dengan sendu dan menggeleng. Wajah Bu Ayu kelihatan pucat pagi ini.
“Kamu harus belajar tentang arti hidup di sana. Mungkin itu yang terbaik. Ayo, mandi dan bersiaplah.”
Mengentakkan kaki, Livia beranjak dengan kesal. Pintu yang dibanting menandakan bagaimana suasana hatinya yang tidak baik.
Setelah beberapa saat, Livia keluar kamar dengan celana jeans dan kemeja berwarna maroon. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan indah.
Pak Lukman yang melihat itu melotot dan menunjuk putrinya bersiap memarahi. Namun, usapan di lengannya membuat dia sedikit tenang.
Bu Ayu pergi ke kamarnya mengambil sebuah kerudung pashmina. “Ini, pakailah.”
Melihat pashmina yang disodorkan mamanya, Livia mendengkus walau begitu tetap memakainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny of Love☑️
Short StorySeorang gadis tomboy tiba-tiba harus pergi ke pesantren karena perintah sang ayah. Apakah itu untuk belajar? Mungkin dia akan menerima jika hanya harus belajar. Pada kenyataannya, diam-diam dia telah dijodohkan dengan anak pemilik pesantren. Bagaima...