"kepercayaan diriku, ada padamu, Bu"
.
.
.Genangan air di jalanan pagi ini benar-benar membuat seorang gadis kecil dengan kuncir dua dan tas gendong warna pink itu kesal. Kakinya dengan semangat melangkah dan berusaha menghindari genangan air yang membuat sepatunya basah.
Di samping gadis kecil itu, ada seorang wanita muda dan bayi digendongnya. Tangan wanita muda itu bertautan dengan tangan mungil gadis kecil disampingnya, seraya menatap awas ke jalanan yang penuh dengan genangan air.
Tangannya erat dan cekatan ketika gadis kecil yang berada disampingnya hampir terpeleset di jalanan yang penuh dengan genangan air sejauh mata memandang.
"Hati-hati, Nak," tegur wanita muda yang merupakan ibu dari gadis kecil kuncir dua yang semangat menuju ke sekolah untuk pertama kalinya.
Gadis kecil itu hanya tersenyum sampai matanya tidak terlihat dan mulai semangat melangkahkan kakinya kembali. Dia tidak terlalu memperdulikan kenyataan bahwa ia hampir saja terpeleset di jalanan penuh genangan air itu.
Langkah demi langkah sudah mereka lewati, akhirnya gerbang sekolah dengan warna coklat sudah terlihat di mata mereka. Mata gadis kecil itu berbinar melihat gerbang sekolahnya dan senyum yang merekah di bibirnya membuat siapapun gemas melihat tingkah gadis kecil itu.
Wanita muda disampingnya tersenyum kecil melihat wajah gadis kecilnya yang bersemangat ketika melangkahkan kaki memasuki gerbang berwarna coklat dengan senyum yang tak henti-hentinya mengembang bak adonan kue.
Langkah kaki mereka langsung mengarah ke kelas 1A untuk mencari kursi yang akan diduduki oleh gadis kecil yang kerap disapa Hafshah oleh orang-orang yang mengenalnya.
Mata ibu dari gadis kecil itu fokus melihat setiap kelas yang mereka lewati, takut terlewat. Langkah demi langkah mereka lalui di koridor sekolah dan sampailah mereka diujung koridor dekat dengan kantor guru. Ibu dari gadis itu kemudian memeriksa kembali kelas tersebut dan ternyata benar bertuliskan kelas 1A.
Di dalam kelas itu telah ramai siswa-siswi baru yang diantar oleh orangtua mereka masing-masing. Ada siswa yang menangis ketika ibunya ingin melangkah pergi meninggalkan kelas. Ada yang tersenyum riang sembari mencium tangan ibunya. Ada yang terlihat biasa saja, dan tidak memperdulikan lingkungan sekitar. Bahkan, sudah ada siswa yang saling mengenal dan memperkenalkan diri, "wah sangat ramah sekali," ujar ibu Hafshah dalam diam.
Jika ditanya bagaimana dengan Hafshah? Ya, gadis kecil itu diam seraya menatap seisi kelasnya yang telah penuh dengan teman sebayanya. Mata hitamnya beralih menatap wanita muda yang sedang memandang dengan tatapan tulus seraya berkata, "ibu ke luar kelas, ya."
Ekspresi semangat yang dipancarkan gadis itu sepanjang jalan menuju sekolah kini berubah menjadi ekspresi seperti ingin menangis. Matanya memandang mengikuti langkah ibunya yang berjalan ke luar kelas.
Wajah gadis kecil itu lalu menunduk dan tanpa terasa mengeluarkan bulir-bulir air dari mata dengan bola mata hitam itu. Jari-jari tangannya kini memilin rok seragam sekolahnya, ia takut.
Ibunya yang kini telah berada di ambang pintu kelas berbalik untuk menatap gadis kecilnya itu. Wajahnya terkejut dan heran melihat gadis kecilnya itu menunduk sambil menangis di bangku kelasnya. Lalu, ibunya berjalan masuk kembali untuk menanyakan keadaan putri kecilnya yang tertunduk menangis itu, "kenapa, Nak?"
Jangankan berhenti, setelah ditanya seperti itu oleh ibunya tangisnya malah semakin menjadi-jadi. Ibu dari gadis kecil itu mencoba menghibur dan mengalihkan perhatiannya agar berhenti menangis.
Setelah tangisannya agak reda, guru wali kelasnya pun masuk ke dalam kelas yang telah dipenuhi siswa-siswi yang masih ditemani oleh orangtua mereka.
"Assalamualaikum, selamat pagi anak-anak. Perkenalkan nama ibu, Ibu Evi. Disini ibu selaku wali kelas kalian yang akan menemani kalian selama satu tahun ini," ucap guru tersebut yang kerap disapa Ibu Evi kemudian tersenyum lembut kepada siswa-siswinya.
"Diharapkan orangtua murid keluar dari kelas dulu ya, biar anak-anaknya berani di kelas," pinta ibu Evi seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas yang masih dipenuhi oleh orangtua siswanya.
Terdengar berbagai macam suara di dalam kelas itu, ada yang merengek tidak mau ditinggal orangtuanya, ada yang bisa tersenyum manis dihadapan orangtuanya, bahkan sampai ada anak yang menangis tidak mau ditinggalkan oleh orangtuanya. Dan kalian tahu Hafshah termasuk dimana? Ya, Hafshah termasuk pada golongan terakhir, yaitu siswa yang menangis.
Ibunya berusaha keras agar tangisan Hafshah berhenti. Ia mengusap pucuk kepala gadis kecilnya itu. Ia harap bisa menyalurkan rasa tenang kepada Hafshah seraya berbisik di telinga anaknya, "ibu keluar dulu ya, ga jauh kok. Di depan pintu ya ibu tunggu."
Hafshah mengangguk pasrah dengan air mata yang masih membasahi kelopak mata dan pipinya. Matanya tertuju kepada ibunya yang melenggang ke pintu untuk segera keluar kelas sesuai perintah dari wali kelas anaknya.
Acungan jempol dan senyum tulus yang dilayangkan ibunya kepada Hafshah itu cukup membuat hati Hafshah sedikit tenang. Rasa tidak nyaman dan rasa tidak aman yang ia rasakan perlahan berkurang karena mata hitamnya masih menangkap sosok itu di depan pintu kelas.
Interaksi guru dan siswa di dalam kelas 1A pun mulai terlaksana. Ibu Evi yang memperkenalkan diri lagi, kemudian dilanjutkan siswanya yang memperkenalkan diri. Kemudian perintah saling berkenalan dengan teman-teman sekelasnya.
"Ada yang dari TK?" tanya Ibu Evi dengan menatap seluruh penghuni kelas 1A.
Semua tangan teracung kecuali tangan Hafshah dan salah seorang teman perempuan yang duduk dibelakangnya. Ibu Hafshah yang melihat itupun memberikan senyum semangat kepada puterinya. Besok-besok hal ini akan menjadi hal yang dibanggakan oleh Ibu Hafshah.
Pertemuan pertama yang dihabiskan dengan perkenalan itupun berakhir. Ibu Evi mengakhiri kelas dengan salam dan senyum tulus kepada setiap anak yang berada di kelasnya.
Seluruh siswa kelas 1A berhamburan keluar kelas untuk mencari orangtuanya. Hanya ada satu orang wanita muda yang dikenal sebagai ibu Hafshah masih setia berada di depan pintu kelas dan menatap langkah perlahan dari gadis kecilnya.
Tangan ibunya meraih tangan Hafshah dan mengajaknya untuk keluar dari sekolah untuk pulang ke rumah. Kemudian ibu dari gadis kecil itu melirik bayi cantik yang ada di dekapannya seraya bergumam, "untung tidak rewel adikmu ini."
Di jalanan pulang menuju ke rumah, gadis kecil itu kembali tersenyum riang karena cukup menyukai keadaan kelasnya yang menurut pandangannya begitu seru.
"Kenapa tadi Hafshah takut di kelas?" tanya ibunya dengan tidak memperlambat langkah kakinya.
"Hafshah tadi takut, Bu. Hafshah takut ketemu banyak orang di sekolah tadi. Hafshah hanya takut saja, Bu," jelas Hasfah dengan panjang lebar, intinya dia takut.
"Tidak apa-apa nanti Hafshah kan punya teman yang tidak akan membiarkan Hafshah kesepian. Nanti Hafshah punya teman yang tidak akan membuat Hafshah takut," ujar ibunya menyemangati Hafshah yang nampaknya tidak memiliki kepercayaan diri dan hanya mempercayai ibunya.
Hafshah mengangguk perlahan dan kembali fokus pada jalanan yang akan membawanya kembali ke rumah yang sangat ia rindukan, ia ingin istirahat di rumah setelah hari yang cukup melelahkan baginya.
"Untung ada ibu," gumamnya seraya menatap lurus ke jalanan didepannya.
.
.
.
.
.
To be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahariku
General FictionDia bagaikan matahari di kehidupanku aku sangat membutuhkannya untuk melanjutkan kehidupan bagiku, dia juga penghangat untuk diriku seperti matahari yang selalu menjadi penghangat untuk semua makhluk di bumi. adakalanya matahari tidak terlihat pada...