0.1

22 2 0
                                    

Jalan-jalan basah oleh hujan. Kubangan-kubangan pada jalan yang bolong membuat cipratan dari pengendara. Airnya yang keruh mengingatkanku pada susu cokelat yang biasanya kita beli. Tersenyum bibir ini tanpa sadar. Biasanya sore-sore begini kamu menjemputku bersama motor matic kesayanganmu. Tapi pesan terakhirmu di jam dua belas siang membuatku memberengut.

Sayang, hari ini aku harus ke rumah sakit. Kakekku sakit lagi.

Meski demikian aku tak pernah membabibuta marah, hanya kecewa sebab seringkali janji itu ditangguhkan.

Aku duduk menunggu bus, di halte ini cukup sepi. Tidak biasanya. Tapi takapa, aku bisa menikmati petrichor setenang mungkin. Ada bayang-bayang yang membuat hangat hatiku, sentuhan-sentuhan aksara yang membelenggu hati.

Betapa indah cawan-cawan berisi kasih sayang itu, hiasannya penuh lukisan tulus, berupa-rupa layaknya bunga. Betapa indah pula hangat-hangat itu, yang dekapannya penuh runtutan penenang jiwa. Ah, aku berulang kali menyeru perihal indah yang tak kunjung reda.

Aku kembali mengecek ponsel, menunggu balasanmu. Namun lagi-lagi apa yang kutunggu tak hadir. Aku menghela napas dan memasuki bus ketika sudah datang. Langkah demi langkah membawaku ke sana, tak ada bangku kosong tersisa. Aku memilih berdiri dengan terpaksa seraya mengamati beberapa orang yang ada di sini. Beragam-ragam dengan mimik wajah. Salah satunya diriku yang tengah sendu.

***

11.04.23

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kidung Renjana untuk LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang