Bab 3: Menyimpan Amarah

128 19 1
                                    

Ketika mengetahui Sei masuk rumah sakit, orang tuanya yang sudah tiga minggu menghabiskan waktu sibuk di China langsung kembali hari itu juga.

Tak tahu dari mana-- oh, mungkin pengawal yang mengawal mereka yang memberi kabar itu. Zoey sampai lupa kalau selama ini Sei diawasi dua puluh empat jam penuh, kebersamaannya waktu itu hanya memperketat pengawasan pada si bungsu. Entah kabar dari mana, mereka takut jika Zoey akan membahayakan Sei. Padahal berinteraksi pun dia enggan.

Matanya tertutup karena kantuk, dia sedang duduk di dalam kamar VVIP di rumah sakit terbaik pusat kota. Baru akan terbang ke alam mimpi, dobrakan pintu yang keras membuatnya terpaksa membuka mata. Hans tiba dengan wajah dingin. Di sampingnya, Ose berdiri dengan mata memerah.

"Kau! Apa yang kau lakukan pada adikmu!"

Dalam hatinya, Zoey mendumal. Drama lainnya akan segera tayang, dan mendesah dalam diam.

"Memang apa yang ku lakukan? Kalian kan tahu dia yang tadi memaksa untuk pergi." Acuh, Zoey menjawab dengan sedikit tak terima karena dituduh.

"Kau seharusnya menjaganya! Kau tahu Sei mudah sakit, dia adikmu!" Ose berseru.

Zoey tidak bertanggung jawab atas penyakit anak itu. Lagipula, setahunya itu hanyalah asma ringan, pun dia sudah mendapat penanganan oleh dokter profesional. Jangan salah, dia tidak meremehkan sesuatu hal. Tapi ini adiknya, dan semuanya tentang anak itu berlebihan. Itu terlihat semakin menyebalkan di matanya sekarang.

"Kalau begitu seharusnya kau juga menjaganya!"

Seruan itu adalah final darinya.

Kehilangan kata, Hans menyentak, "Dasar tidak berguna!" mengakhiri perdebatan itu kemudian.

Sesaat setelah mereka berdua menghampiri brangkar dan mengusirnya keluar, Zoey melihat kedua orang tuanya. Sebenarnya itu ibunya, yang berjalan dengan panik dan tergesa. Sementara di belakangnya, sang ayah --si pengusaha nomor tiga terbesar-- berjalan dengan langkah tegas yang lebar.

Ibunya berlalu tanpa melihatnya. Tapi ayahnya berhenti sebentar, hanya untuk memberikan tatapan tajam yang lebih meruncing dan tekanan pada bahunya, "Kau harus hati-hati kedepannya, anak ketiga."

Memang aneh. Lelaki tua itu kerap menyebut anak-anaknya: pertama, kedua, dan seterusnya. Itu sedikit membuatnya tersinggung karena alih-alih nama, yang akrab di telinganya malah bilangan. Dirinya kerap kali merasa krisis identitas, hanya karena saudaranya yang lain juga disebut serupa lah, dia sedikit menerima.

Ayahnya pergi diikuti beberapa orang, salah satunya adalah Mr. Ramley, yang membungkuk sebentar pada Zoey dan menyapa, "Senang melihat anda setelah sekian lama, tuan muda ketiga."

Zoey balas menundukkan kepala singkat. Tak menyapa balik, dan seterusnya melangkah tanpa berbalik.

Kehebohan privat yang rombongan ayahnya timbulkan berakhir di pintu salah satu ruang rawat, milik Sei.

Zoey melihat orang-orang itu seperti mengikuti seremonial pejabat tinggi atau pengusaha tua yang harta warisannya ada di mana-mana. Padahal itu hanyalah Sei, bungsu Ragnala yang lebih tidak berguna daripada apa yang orang-orang pikirkan tentangnya.

Bayangan orang-orang itu terpantul di dinding lift yang buram, dimana Zoey lekat meletakkan mata. Ketika lift berdenting setelah menunggu sebentar tadi, pintu itu membuka, dan Zoey melangkah masuk ke dalam ruang besi itu dengan menggerutu.

Ketika tidak ada orang lain, wajahnya yang semula dingin berubah memerah. Bibirnya membentuk sedikit kurva kebawah, bergetar samar, dan matanya mulai berkaca.

Dia perlahan membatin lagi apa yang selama ini terngiang di kepala: aku benci hidupku.

Kenapa dia tidak seperti adik lain yang dipedulikan oleh kakak-kakaknya? Mengapa dia tidak bisa menyukai adiknya seperti kedua kakaknya menyukai Sei? Mengapa dia justru membenci sang adik yang lebih disayang? Mengapa ayah dan ibunya membedakan sekali dirinya dan saudaranya yang lain, dengan begitu kentara?

Kesenangan kecil yang hadir kemarin lantas saja menguap. Mengapa mereka kemarin berlaku begitu baik padahal masih memendam rasa tak suka padanya? Untung, Zoey belum menjatuhkan percaya. Tapi dia tetap saja terluka.

Sekali lagi, apa yang mereka lakukan padanya hari ini membuktikan bahwa pemikirannya selama ini benar. Zoey tidak begitu berharga di Ragnala.

Pikirannya sedikit kusut.

Dia masih enam belas, tapi dia sudah benci hidupnya sendiri. Dulu sekali, mereka tidak seperti ini padanya.

Dan kenangan masa kecilnya sedikit menghantui, bahwa dia masih sedikit berharap dia juga mendapat perhatian dan masih bisa bermanja ria.

Zoey tergelak atas pikirannya sendiri. Tapi dia juga merasakan luka, jadi dia berjongkok di sudut lift, tertawa lirih sebelum terisak. Dia bahkan sempat meludah dan berdecih.

Saat tengah melucui hidup itulah, pintu lift khusus naratama terbuka. Meski sadar bahwa ada yang melihatnya seperti itu, Zoey tidak peduli. Ia tetap pada posisinya hingga orang itu masuk dan lift kembali tertutup.

"Seorang pria tidak akan membiarkan kelemahannya terlihat oleh dunia." Warna suara yang berat tapi lembut terdengar.

Tidak ada orang lain selain mereka berdua di dalam ruang sempit itu, jadi Zoey menyimpulkan jika pria itu tengah berbicara padanya.

Dengan kepala masih di lipatan tangan, mata Zoey memicing. "Aku masih anak-anak! Tapi aku sudah tidak merengek meminta mainan, aku tidak menangis karena saudara-saudara ku yang timpang kasih sayang, aku tidak--huks--aku juga tidak protes karena dunia begitu memuakkan! Aku sudah tidak menuntut apa-apa dan hanya mengandalkan diriku sendiri, huks, apa menangis juga tidak boleh?!"

Tanpa sadar, dia telah berbicara panjang lebar dengan orang asing. Mengutarakan isi hatinya yang berat.

Sementara lawan bicaranya membalas dengan desahan malas, "Anak muda yang sentimental."

"Orang dewasa memang suka mencampuri urusan orang lain, cih! Sok tahu, menyebalkan!"

Zoey tidak melihat bagaimana pemuda asing itu memandangnya layaknya menonton drama opera yang berulang sama setiap pagi. Bukannya kasihan melihat ada anak tersedu-sedu seperti kehilangan atau berduka, hal itu malah terkesan membosankan. Seolah sudah sering menemukan kejadian serupa hingga akan mengeluarkan nafas keras saking bosannya.
"Bagaimana jika aku memang tahu, dasar bocah, tidak pernah mendengarkan orang tua.." Suaranya memang lirih, tapi Zoey tetap saja bisa mendengar.

"Kau tidak akan pernah tahu!" Dia sudah tidak tergugu, tapi suara Zoey masih teredam oleh kepala yang dibenamkan pada lipatan tangan.

"Hei, bocah, mau kuberi saran?" Zoey semakin dibuat kesal. Lelaki itu terus saja berbicara. Dia bertanya-tanya kenapa lift tidak kunjung sampai padahal itu hanya lantai enam belas. Tapi meski tidak merespon, telinga Zoey tetap menangkap suara.

"Menangis hanya membuat lemah. Air mata melunturkan kekuatan amarah dalam dirimu. Jika aku jadi kau, aku akan terus tetap memendamnya sehingga mereka tidak akan bisa menggoyahkan hatiku lagi karena terlanjur membenci. Lalu saat aku kuat, aku akan jatuhkan mereka semua hingga mereka tersiksa sampai bersujud menyesal karena pernah berbuat jahat kepadaku. Mungkin, kau harus sekali-kali melihat mata orang yang mati dihantui penyesalan atau rasa takut, itu cukup menghibur."

Agaknya, selain mendengar, ucapan itu begitu menggoda hingga masuk ke dalam memorinya. Meski kalimat akhir pria itu memang sedikit membuatnya tak nyaman, tapi-- membuat mereka menyesal terdengar menggiurkan.

"Itu akan terjadi kalau kau punya yang namanya dendam, pemuda."

Lift berdenting. Pintu terbuka. Sinar led di atasnya menunjukkan angka empat.

Zoey ingin memastikan lagi apa yang baru Ia dengar, tapi orang itu sudah berlalu pergi dengan jarak yang jauh. Dia tidak punya selera untuk berteriak.

Zoey hanya sempat melihat sosok lelaki berperawakan kecil, jaket denim pudar dan rambut bergelombang yang mengintip dari balik beannie berwarna cokelat tua, sebelum lift kembali berdenting dan pintu besi itu tertutup tepat di depan matanya.

ROMBAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang