Kamu tahu batasanmu, tetapi selalu dilanggar.
Ketidakmampuanmu seperti hanya batas.
Sebab tingkamu selalu kelewat batas🍂🍂🍂
Sampah berceceran di sekitar tempat sampah. Padahal isinya juga tidak terlalu penuh. Bak cuci piring juga penuh dengan beberapa bungkus plastik sisa makanan. Wadah sterofoam persegi dan berbentuk mangkok juga bertengger di sana.
Belum lagi dengan gelas minuman. Sudah seharusnya itu semua berakhir di tempat sampah, tetapi malah masuk ke bak cuci piring. Di samping bak cuci piring terdapat sendok kotor juga sumpit yang sudah dipakai.
Bani menarik napas, mengembuskan perlahan. Ia memutar kepalanya melihat ke arah Septa yang masih asik bermain dengan Giant. Sungguh penyesalan itu memang hadir belakangan.
"Septa, itu kenapa dapur berantakan?" ujar Bani yang urung masuk ke kamar mandi dan malah berjalan menuju ruang tengah.
"Oh, itu? Maaf, tadi nggak sempat beresinnya. Kakiku mendadak cenat-cenut lagi pas bolak-balik dari kamar ke dapur. Besok aku beresin, ya?"
Bani ingin sekali melempar handuk ke arah Septa. Namun, kewarasannya masih terjaga. Ia berbalik kembali menuju dapur, menggulung lengan kemejanya dan mulai berbenah.
Semoga lekas berakhir, nambah sehari lagi aku yang enggak sanggup, batin Bani sambil memungut sampah yang berserakan. Ia juga bergegas mengeluarkan tumpukan sampah dan menaruhnya di lokasi tempat pengumpulan sampah yang tersedia di setiap lantai.
Andai saja dia tidak terlalu bermurah hati, mungkin tidak akan merepotkan begini. Sayangnya kata hati tidak bisa ia bohongi. Ia masih punya hati untuk berempati pada teman yang sedang ditimpa masalah.
Selesai berkemas Bani mendapati Septa tengah rebahan di sofa dengan sebelah kakinya terangkat pada sandaran sofa. Tangan Bani terkepal, rahangnya mengatup dengan sangat rapat sampai tulang dagunya terlihat jelas.
"Sep, bisa turunin kakinya?" tegur Bani pelan.
"Sori, lagi pegel yang ini. Ntar lagi aku turunin."
Jika melihat seorang menumpang lebih berkuasa, ya, seperti inilah. Temannya itu seolah lupa siapa pemilik rumah yang sebenarnya. Mendadak kepala Bani berdenyut. Ia tak kuasa lagi berpikir bagaimana kelanjutan hidupnya jika harus terus menerima Septa untuk tinggal di rumahnya.
"Eh, Sep, besok gimana? Masih di sini? Soalnya aku mau bawa teman ke sini."
"Oh, aku aman, Ban. Enggak bakalan ikut nimbrung. Bisa ngungsi di kamarmu kalau misal takut terganggu."
Bukan, bukan jawaban seperti itu yang ingin Bani dengar. Ia sebenarnya ingin mengusis Septa supaya cepat kembali ke rumahnya. Justru jawaban seperti itu yang didapat oleh seorang Bani.
Ternyata benar apa yang dikatakan oleh banyak orang. Menjadi orang yang enggak enakan itu susah. Karena orang lain justru semakin seenaknya saja. Lalu, untuk mengusirnya haruskah ia membawa Sesha dan Patra?
Bahu Bani langsung merosot mendengar jawaban Septa, "Oh, iya, deh. Semoga kamu nyaman, ya?"
"Tenang saja, aku nyaman, Ban."
Bani berjalan lunglai menuju kamar mandi. Ia ingin berjumpa air hangat dan kemudian melepaskan semua penat yang menderanya hari ini. Sebelum tidur, ia juga menyempatkan mengganti benda putih di lengannya. Sudah waktunya alat itu diganti karena batasnya kegunaannya sudah habis.
Setelah memastikan alatnya bekerja, Bani meminta Septa untuk beristirahat di kamarnya karena ia akan menggunakan sofa ruang tengah. Semula, Septa tidak mau dan ingin bermain dengan Giant, tetapi wajah lelah Bani ternyata ampuh untuk membuat Septa bertekuk lutut.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Build Bridges ✔
General FictionNamanya Bani, si paling serius kalau urusan pekerjaan dengan slogan hidup: kerja, kerja, kerja. Apa saja yang si Bos pinta, Bani akan selalu siap bekerja meski itu di luar jobdesk-nya. Tidak ada kata menolak dalam kamusnya meski posisinya menjadi or...