The Begining Conversation

1K 78 12
                                    

Supra seolah mengalami mimpi yang sama selama bertahun-tahun. Dia duduk di atas kasur, berbaring diatasnya, menarik selimutnya, lalu terbenam di bawah sana. Begitu matanya terpejam dan alam membawanya jauh dari dunia nyata, dia mulai merasakan gelombang aneh menyedotnya ke dimensi lain. Saat Supra terbangun dari tidurnya, dia akan selalu berada di tempat itu lagi.

Tempat yang sama saat ia terbangun dari dunia nyata.

"Supra."

"...."

"Sup?"

"Supra! Hei!" Seorang anak laki-laki dengan pakaian pohon pinus memanggilnya dari balik layar panggung. Mereka baru saja menyelesaikan satu adegan dari cerita 'Kerajaan yang Runtuh' dan Supra tertidur setelah dia menyelesaikan satu dialog penuh sebagai seorang pengembala.

Wajah pemuda di balik layar di tekuk ke dalam. Mulutnya di tarik ke bawah dan dia melanjutkan omong kosong yang tak berguna:

"Waktunya eliminasi. Jangan buat masalah."

Supra menengok ke samping. Anak laki-laki itu selalu terlihat lebih aneh dengan potongan rambut asimetris nya (seakan awan mendung baru saja menutupi kepalanya dari cahaya matahari).

'Dia tidak pernah terlihat cukup baik untuk seusianya.'

Supra berjalan ke belakang tirai panggung. Anak perempuan secara mengejutkan patuh pada omong kosong Guru Seni mereka.

Wanita itu kadang-kadang hanya terlalu berambisi. Jadi, sangat mengejutkan mereka duduk di sana dan menunggu. Dia mulai mencari tempat juga, tapi tidak ada yang mengundangnya sama sekali.

"Inti dari permasalahannya adalah seberapa kalian bisa melakukannya dengan baik! Which is all you guys need to do is do yer best!" Suara Guru Seni itu melengking setiap detik.

Diam-diam Supra bergeser ke belakang. Menghindari barisan depan.

Masih terus mencari tempat, Supra melihat Sori, adiknya, di ujung barisan. Disampingnya ada Frostfire dan anak band lain. Ada satu tempat kecil di samping mereka tapi itu tidak cukup jika Supra ingin duduk di sana. Dia akan menyerah dan membolos jika saja anak laki-laki dari barisan belakang tidak menariknya untuk segera bergabung.

"Kau terlambat." Bocah dengan garis mata emas dan campuran biru itu mencibir ke arahnya. Sengaja menunjukkan kekesalannya. "Bagian terbaiknya baru saja di mulai."

"Sayang sekali." Supra mengangkat bahu acuh. "Hanya masalah waktu sampai mereka memberiku tempat atau tidak sama sekali."

"Tahu tidak? Aku sudah duduk di sini selama setengah jam dan yakin sebentar lagi akan berubah menjadi biksu dengan rambut!"

"Selamat, kalau begitu." Bocah itu memelototinya dan Supra nyengir sebagai tanda perdamaian.

Anak-anak masih memperhatikan Guru nyentrik itu. Sebagian dari mereka serius mendengarkan, tapi tak jarang pula diantaranya mulai berbisik dan berbisik.

"Itu konyol," kata salah satu dari mereka. "Sesuatu seperti itu akan ditampilkan?"

Yang lain mendelik malas. "Yang benar saja."

"Kapan kita akan selesai?"

"Ini mulai membosankan."

Sejujurnya, Supra tidak pernah keberatan dengan kelas teater mereka. Dia datang dan pergi untuk mencari pengalaman. Keberadaannya kadang-kadang lebih dianggap angin lalu. Kebanyakan dari mereka memang anak perempuan, dan mereka pemain handal di atas panggung.

Pada dasarnya, anak perempuan masuk ke sana karena pemain utama mereka yang tampan. Tapi setelah mendengar kabar jika Kakak kelasnya itu akan lulus, mereka menjadi sedih dan kecewa.

"Semua terlihat bosan. Kenapa kau terlambat?" Anak laki-laki di sampingnya—Glacier—menatapnya dengan muka penasaran.

Dia mulai bertanya-tanya barangkali Supra berkeliaran lagi di dunianya dan segera, anak laki-laki yang di bicarakan itu nyengir lebar.

Glacier mendesah kecewa. "Ya Tuhan, Supra ...."

"Dengarkan aku! Kau tidak akan percaya ini." Supra segera menggeser posisi duduknya. "Kali ini, seorang pangeran berkulit pucat dengan mata kelabu kebiruan berdiri di mimpiku ...."

"Kau jatuh cinta padanya?—Aw!" Sepersekian detik Supra memukul kepala Glacier dan bocah itu langsung mendelik ke arahnya. "Jika terjadi sesuatu pada kepala ku, semua tanggungan biaya akan menjadi lebih berat di pihak mu!"

"Diam!" Supra mendesis, "Aku tidak benar-benar bertemu dengannya. Tidak ada perasaan itu juga, dan tidak akan pernah ada!"

Yang lain terlihat ingin mengejek.

"Supra, jangan mulai lagi." Tapi Supra memutar bola mata. "Jadi, apa yang istimewa dengan pangeran ini?" Glacier menyerah untuk mengorek. Dia menatap ke depan.

"Jadi ...." Sebelum Supra melanjutkan pembicaraan mereka—sebenarnya omong kosong menurut keduanya—pintu ruang teater terbuka.

"Oh, benar." Guru itu berseru, "Hari ini, aku merekrut anggota baru."

T.B.C

Lanjut? Atau skip? :D

SopSup Fanfic: Endless RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang