Much Later

4.1K 368 57
                                    

Dinamika waktu silih berganti meninggalkan kenangan demi kenangan dengan berbagai genre kehidupan. Yang dulunya kecil menjadi besar, yang muda beranjak tua, pun yang hidup akhirnya akan mati jua.

Ribuan hari berjalan semenjak surat pertama dan terakhir yang Yuga Sasangka berikan pada Pramana Lazuardy. Puluhan kali purnama menghias langit yang selalu ditatap sendu lewat pelupuk mata.

"DITYA, SARAPAN DULU!!" Hampir lima tahun berlalu, namun merdu suara Yuga masih sama di telinga.

Sudah rapi dengan baju biru muda, seragam yang ia dapat dari pekerjaannya, si pria manis tersenyum puas atas hasil karyanya pagi itu. Nasi goreng dan telur mata sapi sudah tersaji di atas meja bagi keluarga kecilnya yang sebentar lagi berangkat untuk aktivitasnya masing-masing.

"SEBENTAR, BUNA." Balas suara dari dalam kamar dengan intonasi yang tinggi pula.

Yuga tak menjawab. Hanya mengulum senyuman memandang satu persatu dua pintu kamar yang berdiri bersebelahan. Rumahnya memang tak tergolong besar. Hanya ada dua kamar dengan ruang tamu kecil, ruang keluarga dan dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi.

Ada senyuman miris tersemat di antara manis pagi. Ia yang dulu bahkan punya kamar mandi sendiri di dalam kamar kosnya yang mewah, kini malah terjebak di rumah kecil dengan satu kamar mandi yang itupun tanpa toilet duduk dan mesin cuci.

Cklek ...

Kedua pintu kamar dibuka bersamaan disusul dua langkah berbeda yang terketuk riang ke arah Yuga. Dua sosok lelaki yang beberapa tahun terakhir mengisi hari-hari Yuga menyapa dengan  ceria.

"Udah Buna, Ditya nasinya segitu aja." Ujar si lelaki kecil yang dipanggil Ditya ketika Yuga mengambilkan jatah sarapannya.

Sang Buna tersenyum. "Ok, sayang. Dimakan sendiri ya?" Tanya Yuga yang diangguki dan diberi acungan jempol oleh si bocah berseragam celana pendek kotak-kotak biru dan kemeja putih lengkap dengan rompi serupa celananya.

"Aku biar ambil sendiri aja." Sedang satu lelaki dewasa yang sedari tadi diam memandang interaksi Yuga dan Ditya, bersuara jua saat  Yuga hendak mengambilkan nasi untuknya.

Kali ini Yuga mengangguk. Membiarkan si lelaki mengambil alih sendok nasi dan ia sendiri yang duduk menyeruput teh hangat buatannya sendiri. Toh ia juga harus bersiap pergi kerja setelah ini.

Bermenit ketiganya larut dalam rutinitas sarapan yang selalu Yuga sajikan. Hingga tiba waktu berangkat, masing-masing sibuk dengan sepatu dan kaos kakinya. Termasuk si kecil Ditya yang masih usia tak genap lima.

"Dek, nanti ini dikasih ke Bu Guru ya." Si lelaki memasukkan kartu pembayaran bulanan yang telah diselipkan beberapa lembar uang. Kartu dengan deret nama 'Senja Pramunditya' tersebut dimasukannya ke dalam tas sang bocah.

"Loh, jangan Mas Jati!" Sergah Yuga yang harusnya percuma. "Nanti aja tunggu aku gajian lagi. Uang kamu kan udah buat bayar kontrakan rumah, listrik sama air."

Jati, lelaki yang hampir lima tahun selalu ada di samping Yuga menggeleng dengan tatap teduh andalan. "Biar, Yug. Gajiku masih ada kok." Tersenyum menunjuk dasi yang belum tersimpul rapi sebagai kode pada Yuga.

Si manis maju, tak hanya menyimpulkan ikatan dasi Jati namun juga membenarkan letak kerah kemeja navy polos yang dikenakan sang suami. "Tapi nanti akhir bulan yang bayar field trip-nya Ditya biar aku ya?"

Jati hanya mengangguk membiarkan. Gajinya sebagai seorang sales motor yang dibayarkan di awal bulan memang belum bisa memapankan kehidupan mereka. Pun gaji Yuga yang bekerja di pabrik makanan ringan di daerah tempat tinggal mereka yang diterimakan di tanggal 28 setiap bulannya juga hanya mampu mencukupi saja. Ah, paling tidak mereka bisa hidup tenang sederhana tanpa hutang dimana-mana.

DISAPPEAR (Boys Love, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang