4. Mengenai Banyak Hal Asing

17 8 6
                                    

Mimpi burukku masih terus berlanjut. Tak berbeda dengan hari-hari sebelumnya, aku masih harus berangkat dengan pikap, mendengarkan loceng besi persegi panjang setiap menjelang pergantian jam pelajaran, dan makan jajanan kantin yang kata Mahir murah meriah.  Demikian juga dengan rutinitasku yang setia mengunjungi toilet berkerak setiap dua hari sekali.

Perutku memang belum begitu akrab dengan makanan di sini, tapi sekarang selalu ada senjata yang menyelamatkan. Di saku celanaku ini ada obat maagh. Lagi-lagi ini saran Mahir. Setidaknya itu yang kami pikirkan dengan derita lambungku.

Seharusnya, aku bisa kembali ke kota asalku untuk menemui dokter Ghael. Mencari tahu apa yang ada di perutku sebenarnya. Memang tak sekali ini aku merasakan sakit. Sudah dimulai sejak dulu, tapi tak sesering sekarang. Namun, lagi-lagi kesal yang menguasai.

Aku tak akan membiarkan Mama yang telah mengasingkanku mendapatkan kabar sedikit pun tentangku –dokter Ghael bisa saja memberitahunya.

Biar impas, sama-sama tak tahu apa pun seperti saat keberangkatanku dari rumah.
Mengenai self-diagnose ini tentu aku tak keberatan menyetujuinya.

Minggu lalu saat tiba-tiba saja aku pingsan setelah merebahkan diri di lantai musala, Mahir dan bapaknya yang merupakan imam di musala tersebut datang membantuku.

“Kas, Tangkas.”

Samar kudengar panggilan memasuki runguku.

Susah payah membuka mata dan mendapati dua wajah dengan fitur yang mirip memperhatikanku dengan cemas.

“Alhamdulillah, sudah sadar. Dikasih teh angetnya ya, Nang (kependekan dari lanang, kata ganti/panggilan sayang untuk anak laki-laki). Bapak tak (akan) ke kios, sudah ditunggu Bu Lurah.”

“Iya, Pak.”

Aku berusaha bangun dibantu oleh tangan Mahir yang cekatan.

Bersandarkan pada dinding serambi musala, kusesap sedikit demi sedikit teh manis hangat yang terasa melegakan tenggorokanku setelah mengucap terima kasih kepadanya.

“Sudah membaik, Kas?”

Aku mengangguk. “Maaf, jadi ngerepotin kamu.”

Mahir menggeleng. “Ndak apa-apa. Tadi saya lagi mau pinjam hondanya Paklik buat antar kamu pulang. Malah Bapak ngawe-awe (melambaikan tangan tanda memanggil) ke sini, ternyata kamu pingsan.”

Aku meringis menahan malu. Bisa-bisanya, seorang Tangkas pingsan karena kelelahan, atau kelaparan?

Bunyi perutku setelah itu semakin membuat semburat merah di wajahku matang. Mungkin terlihat maroon saat ini, saking malunya.

Namun, bukannya terkikik seperti respons yang seharusnya diberikan Mahir atas suara perutku yang tidak sopan, ia malah pergi meninggalkanku setelah berpesan, “Sebentar, ya. Kamu jangan pergi!”

Aku hanya mengangguk meski tak tahu harus menunggu selama apa.

Rupanya tak lama, Mahir datang bersama ibunya dengan piring mengepul.

Aku menatapnya cukup lama saat piring itu disuguhkan di hadapan kakiku yang bersila.

“Sudah enakan, Mas?” tanya ibu Mahir.

“Sudah, Bu,” jawabku lalu bergantian memandangi piring dan wajah Mahir.

Mahir menggaruk tengkuknya. Ia nyengir, menyadari ketidaktahuanku akan suguhannya itu.

“Ini pisang kukus, Nak. Maaf, Ibu nggak punya apa-apa lagi di dapur. Belum mateng masakannya. Enak, kok. Dimakan ya, supaya perutmu terisi,” tutur ibu Mahir meyakinkan. Aku hanya mengangguk.

[RWM] Dépaysement - Give Me This Year, Forever : Eye MaulidahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang