Pagi ini, aku sampai di sekolah lebih awal. Tak kutemui Mahir di dalam colt yang membawaku ke sekolah tadi, apa dia tidak masuk hari ini? Mengingat mustahil seorang Mahir terlambat karena kesiangan.Seperti biasanya, aku terlebih dahulu harus mengunjungi destinasi wajib ketika di sekolah. Ini sudah sebulan, seharusnya pencernaanku sudah terbiasa dengan segala bentuk makanan yang masuk, nyatanya tidak. Mungkin perlu sedikit waktu lebih lama untuk beradaptasi.
Selesai urusan pribadi di toilet, aku mengamati tampilanku di cermin. Anak rambut yang sedikit menjuntai kurapikan kembali agar tak mengganggu pandangan.
“Permisi,” ucapku ketika melewati sekelompok siswa kelas sebelah yang kata Mahir dianggap berandal sekolah karena sering membolos pelajaran. Tempat nongkrong mereka selama membolos adalah kantin jika mereka makan atau toilet jika mereka merokok. Jumlah mereka tak banyak, hanya empat orang yang—lagi-lagi kata Mahir—diketuai oleh Karang, siswa dengan penampilan beda sendiri.
Aku sempat beradu pandang dengan siswa yang lengan seragamnya digulung itu. Ia yang paling mencolok, selain karena gaya berpakaiannya, di alis kanannya terdapat bekas luka garis yang membuat rambut tak tumbuh di tempat tersebut.
Respons apa yang kau harapkan dari sekelompok berandal? Bisa melewati mereka tanpa mendapat masalah saja sudah untung. Kecuali Karang, mereka sibuk berebut handphone dengan merek yang tak pernah kulihat sebelumnya. Itu juga tidak sengaja terbaca.
“Dari toilet?” tanya Mahir saat aku kembali ke kelas. Ia telah duduk di bangkunya.
Aku mengangguk dan mengambil tempat di sisinya.
Mahir mengibas-ngibaskan tangannya setelah mengulurkan lehernya sebentar. “Ketemu berandal sekolah itu kamu, Kas?”
Aku lagi-lagi mengangguk. “Bau rokok, ya?” tanyaku menyadari asap yang mungkin saja menempel di seragamku, mengingat saat melewati Karang dan gerombolannya, ia sedang mengisap nikotin.
“Iya.”
“Biar bau tembakaunya samar,” ucapku mendapati Mahir yang mengamatiku menyemprotkan parfum.
“Nggak samar lagi, Kas. Itu parfum yang kamu pakai tiap hari bukan? Bajuku yang kupakai pas nganter kamu pulang masih ketempelan parfummu, padahal udah dicuci.”
Aku hanya tersenyum. Bingung mau memberikan tanggapan apa pada Mahir. Ia sangat lucu. Tak mungkin aku mengatakan kalau parfumku custom langsung dari Paris. Diracik berdasarkan bau alami tubuh, dipadukan dengan zodiakku. Jika dipakai orang lain, aromanya akan berbeda. Bonjour Paris, anak perusahaan dari Bonjour Madmoiselle yang khusus menangani parfum laki-laki milik teman Mama, aku memesannya dari sana.
Aku melewati jam pelajaran dengan mulus tanpa ada gangguan dengan perutku lagi.
“Let’s go nyoto.” Aku bangkit menuju kantin yang sudah akrab kusambangi.
“Sebentar, Kas.” Mahir mengulurkan secarik foto padaku.
Itu foto candid yang diambil Mahir ketika aku kelelehan sembari menopang lutut seperti gerakan rukuk sepulang sekolah di hari pertama. “Aku nggak lihat kamu bawa kamera.”
“Pakai HP.” Mahir menggaruk tengkuknya kikuk.
“Makasih, ya. Bagus.” Kuacungkan jempol setelah menyimpan editan foto dari Mahar yang dibentuk polaroid itu. Ada bagian yang tak rapi pemotongannya, tampak seperti hasil print di atas kertas foto. Kupikir semua dikerjakan serba sendiri. Di luar itu, hasil jepretannya bagus kalau hanya bermodal handphone. Sepertinya, Mahir berbakat di bidang fotografi.
Belum makan separuh sotoku, perutku nyeri lagi.
“Bawa obat nggak, Kas?” tanya Mahir, melihatku memegangi perut
“Sudah minum tadi pagi, perut
“Sepertinya kamu harus periksa ke rumah sakit, Kas.”
“Iya, besok aku izin nemuin dokter Ghael.”
Mahir menatapku, mencoba mencari jawaban dalam benaknya, barangkali ia mengenal nama yang kusebutkan.
“Dokter keluargaku,” terangku menyadari responsnya.
Ia mengangguk.
Sekembalinya kami dari kantin, aku memutuskan belok ke kamar mandi lagi. Perutku nyeri, barangkali ada yang bisa kubuang.
Aku yang selesai merapikan baju menemukan sedikit noda di saku. Selesai mengusapnya dengan sedikit air, aku melihat polaroid candid-ku dan memindahkannya ke dalam dompet sebelum tangan orang lain mengambilnya.
“Hei, kembalikan dompetku!”Itu Karang. Setelah selamat berkali-kali darinya yang selalu kutemui di toilet, sepertinya keberuntunganku kali ini sudah habis. Aku benar-benar harus berurusan dengannya.
Kedua temannya dengan warna baju tak lebih terang dari yang Karang kenakan, menahanku dengan lengan-lengan mereka di dadaku. Aku tersudut di tembok.
“Manis sekali. Kau dekat dengan anak semangka itu rupanya?” Karang mencibir saat melihat sisi dompet yang terbuka.
Aku mengeryit tak paham.
“Mahir,” ucap berandal sekolah di kiriku.
Kejam sekali mereka menyebut Mahir anak semangka hanya karena ayahnya pedagang buah. Meski itu benar, tapi tak etis. Apalagi kupikir mereka tak sedekat itu untuk menyebut ucapannya sekadar gurauan.
Karang mengosongi dompetku yang sebenarnya hanya berisi dua lembar pecahan uang dua puluhan dan beberapa lembar dua ribuan. Bi Ila telah berpesan untuk tak membawa uang banyak ke sekolah. Selain demi keamanan, harga kebutuhan di sini bisa lima sampai tujuh kali lebih murah dibanding kota asalku. Jadi, pecahan kecil sudah cukup.
“Lumayan juga,” katanya mengembalikan dompetku dengan melemparnya.
“Sisakan dua ribu saja untuk aku pulang!” ucapku saat sosok Karang hampir menghilang di balik pintu.
“Apa?” tanyanya mengetes, tak benar-benar tak mendengar suaraku sebelumnya. Lehernya menjulur ke dalam toilet, tidak dengan badannya.
“Setidaknya sisakan dua ribu untukku pulang nanti,” ucapku lagi.
Karang kembali masuk ke toilet dan berjalan menghampiriku. Ia menghalau dengan tangannya ketika ketiga gerombolannya hendak menyusul. Mungkin maksudnya, mereka berjaga di luar saja menghalau siswa lain yang barangkali hendak menggunakan toilet atau mungkin memberitahukan jika ada guru yang lewat lorong tersebut.
“Siapa namamu?” tanyanya sangat dekat dengan wajahku. Aroma tembakau bercampur bau mulut menyeruak hidungku dan refleks aku menutup hidung dengan tangan masih memegang dompet sisa memeriksa isinya yang sudah dikuras berandal ini.
“Tangkas.”
Tak kusangka Karang kembali merebut dompetku. Aku membiarkannya karena kupikir apa lagi yang akan ia lakukan, uangku sudah habis.
Di luar perkiraan.
“Tangkas Xavian Gauravi,” ucapnya setelah melihat kartu pelajarku. Di sana berderet kartu member beberapa tempat yang aku yakin Karang tak tahu itu apa. Kepalanya mengangguk-angguk dan mengembalikan dompet ke tanganku. “Akan kuingat namamu. Satu-satunya siswa di sini yang berani meminta uangnya kembali setelah kusita.”
“Kau ini siapa memangnya?” tanyaku dengan nada biasa saja yang ternyata mengusik pendengaran Karang
“Karang. Karang Prasetyo, semua siswa takut padaku.”
“Aku tidak.”
“Kau memang mencari masalah,” ucapnya sambil memainkan bibir bawahnya ke kanan dan kiri, kepalanya miring beberapa kali. “Tapi, karena uangmu cukup banyak maka kali ini kau kulepaskan tanpa luka sedikit pun. Ingat, perampok tak akan meninggalkan sedikit rampasannya untuk korban. Ingat-ingat namaku dan terima kasih atas uang sakunya.”
Ia berlalu begitu saja setelah mengedipkan sebelah matanya.
Aku bergidik geli lalu kembali ke kelas, menceritakan semuanya pada Mahir di sela-sela jam pelajaran. Tepatnya curi-curi kesempatan.
Mahir menenangkanku karena hari ini ia bersepeda ke sekolah. Jadi, ia bisa memberikan tumpangan lagi untukku.
Aku menarik napas lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
[RWM] Dépaysement - Give Me This Year, Forever : Eye Maulidah
Teen FictionOleh : @EyeMaulidah Tangkas terpaksa menjalani kehidupan barunya di desa setelah diasingkan mamanya. Di tengah proses adaptasinya, ia dihadapkan pada kenyataan pahit mengidap Kanker Kolorektal. Lantas, bagaimana Tangkas menguntai hidupnya?