Bab 2

4.6K 265 3
                                    

Happy reading, semoga suka.

Cerita lengkapnya sudah ada di Karyakarsa dan Playstore ya.

Cerita lengkapnya sudah ada di Karyakarsa dan Playstore ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Juga di Playstore.

Juga di Playstore

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Enjoy

Luv,

Carmen

__________________________________________________________________________

Tapi bukan seperti itu yang ada di dalam pikiran Daniel. Sejak awal, ia sudah melihat betapa berbakatnya gadis muda itu. Dengan bimbingan yang tepat, sekolah yang tepat, masa depan Lana pasti akan cerah. Ia percaya pada kemampuan Lana dan Daniel bertekad membuat gadis itu menjadi pemain piano terbaik di Amerika, bahkan diakui dunia.

Well, tekadnya ini semata-mata karena ia tahu akan bakat dan kemampuan gadis itu, bukan karena hal lainnya. Walau tidak akan ia pungkiri, Lana Johansson memang gadis muda yang sangat cantik. Saat pertemuan pertama mereka. Daniel sudah kesulitan mengalihkan perhatiannya. Seorang gadis muda cantik yang agak gugup, dalam balutan kemeja putih dan rok pendek lipit abu-abu membuat Daniel sedikit goyah. Ia memuaskan tatapannya, tubuh langsing dengan kaki-kaki jenjang, dada gadis itu itu tidak begitu besar tetapi kencang, wajahnya manis dan cantik dengan rambut pirang panjang, mata biru dan bibir penuh yang merah merekah.

Tapi yang menakjubkan, penampilan malu-malu Lana selalu hilang berganti menjadi seorang gadis yang penuh percaya diri setiap kali dia duduk di depan piano dan jari-jarinya memainkan tuts hitam putih itu. Daniel selalu mengagumi kelenturan jari gadis itu, koordinasi dan stabilitasnya, konsentrasi dan ekspresi Lana saat menghayati lagu yang dimainkannya. Dan semakin lama ia menatap gadis itu, Daniel tahu bahwa ia mulai terobsesi. Lebih dari sekali ia terbangun di tengah malam dengan mimpi-mimpi tak pantas, dan bagaimana ia seperti masih merasakan sentuhan kulit tubuh gadis itu di tubuhnya sendiri, begitu nyata, sehingga terasa menyiksa.

Satu hari, ketika ia melihat ada kesempatan bagus untuk membuat nama Lana mulai dikenal, tanpa berpikir dua kali, Daniel langsung mendatangi rumah gadis tu.

"Oh, Mr Powell." Ibu Lana yang menyambutnya di depan pintu. "Kenapa tidak bilang kalau kau akan berkunjung? Sebentar, akan kupanggilkan Lana."

Lalu wanita itu mulai berteriak memanggil anak perempuannya.

"Lana! Turunlah, guru pianomu ada di sini."

Ia digiring ke ruang tamu dan duduk menunggu. Tak lama, Ibu Lana kembali dengan nampan berisi dua cangkir teh dan sepiring cookies, sementara Lana mengekor di belakang ibunya. Begitu wanita itu mempersilakannya minum, Daniel langsung mengutarakan niat kedatangannya

"Nyonya Johansson, sebenarnya aku datang ke sini karena ingin menyampaikan kabar baik untuk anak perempuanmu, Lana."

Lana saat itu sedang duduk di hadapannya. Dan untuk pertama kalinya ia melihat gadis itu dalam busana kasual dan harus ia akui, Lana tetap secantik itu. Untuk menutupi kegugupannya yang tidak biasa, ia meraih cangkir teh dan menyesapnya pelan.

"Kabar baik apa, Mr. Powell?" tanya Lana ceria sambil mengambil cookie di atas piring tapi kemudian menjauhkannya tangannya kembali setelah ibunya meliriknya tajam.

"Oh, begini, Miss Johansson, aku diminta untuk menampilkan salah satu murid terbaikku dalam acara peresmian teater baru di kota. Dan aku tentu saja merekomendasikanmu, karena kau adalah murid terbaikku." Ia lalu meletakkan kembali cangkir tehnya dan menunggu reaksi keduanya.

Daniel tahu bahwa Lana tentu saja tidak ingin melewatkan kesempatan ini, tapi masalahnya ada pada ibu gadis itu.

"Mom, please?"

Nyonya Johansson bahkan tidak menatap anaknya. "Kapan acaranya?"

"Jumat malam ini. Akan ada acara makan malam, lalu Miss Johansson akan tampil di panggung. Acaranya mungkin tidak akan selesai terlalu awal, tapi seharusnya berakhir sebelum jam 11 malam."

"Dia terlalu muda untuk pergi ke acara seperti itu sendirian."

Dan Daniel melihat bahwa gadis itu sama sekali tidak menyela dan membiarkan ibunya memutuskan semuanya.

Daniel berdeham pelan. "Uh... dia.. dia bisa membawa teman kencan, aku bisa mengantar mereka berdua, lagipula aku juga harus hadir di acara itu," tawarnya.

"Lana tidak diizinkan untuk berkencan."

Sepertinya itu adalah akhir dari diskusi dan tampaknya Nyonya Johansson sudah siap mengantar Daniel keluar dari rumahnya. Dan saat itulah ia melihat Lana, tertunduk dalam dan ia terkejut saat melihat air mata menetes di karpet di bawah kaki gadis itu. Lana sedang menangis, dalam diam.

"Nyonya Johansson, bagaimana kalau saya yang membawanya bersama? Aku bisa menjadi pendampingnya, sebagai gurunya."

"Sebagai gurunya?" Ia mendapatkan perhatian wanita itu. "Sounds appropriate. Bagaimana denganmu, Lana? Kau ingin pergi?"

"Tentu saja, Mom!" Lana mengangkat wajah, tersenyum walau matanya masih tampak basah.

"Oke, baiklah. Tapi saya ingin Anda berjanji untuk terus mengawasinya, Mr. Powell."

"Tentu saja."

"Bagus. Jadi, kurasa itu semacam acara formal?" tanya wanita itu lagi.

"Yes, Ma'am."

Nyonya Johansson mengangguk. "Aku punya gaun yang cocok untukmu, kau bisa mencobanya nanti. Dan Mr. Powell, Anda ingin tinggal untuk makan malam?"

"Tidak, terima kasih, Nyonya Johansson. Aku masih ada jadwal kelas malam ini." Ia lalu berdiri. "Selamat malam, Nyonya Johansson."

"Selamat malam, Mr, Powell. Lana, bisakah kau antarkan Mr. Powell ke pintu? Aku perlu mengecek masakanku."

Begitu mereka tiba di depan pintu keluar, Lana mengejutkannya dengan memeluk Daniel singkat. Singkat memang, tapi cukup untuk mencuri pergi napasnya, apalagi saat ia merasakan dada gadis itu menekan tubuhnya.

"Terima kasih banyak, Mr. Powell. Aku tidak akan pernah memaafkan ibuku jika dia membuatku kehilangan kesempatan ini. Terima kasih telah membantuku."

Daniel tersenyum pelan. "Dengan senang hati, Miss. Johansson. Kau layak mendapatkannya, kau muda dan berbakat dan layak dikenal."

Lana terkikik senang dan Daniel menyadari betapa mudanya gadis itu dan ia juga menyadari betapa tidak pantasnya ia karena memiliki pikiran-pikiran tak senonoh terhadap gadis muda itu.

"Aku juga akan mencari gaun lain. Aku ragu kau akan menykai gaun yang dipilih oleh ibuku untukku." Dan gadis itu tersenyum malu-malu.

"Aku... Um... Miss Johansson, it really isn't my business. Aku akan ada di sana sebagai gurumu."

"Aku tahu." Wajah Lana sedikit bersemu tapi gadis itu tersenyum kecil. "Kalau begitu, selamat malam, Mr. Powell."

"Selamat malam, Miss Johansson."

Sleeping with My Hot Teacher (Forbidden Desire)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang