"Mer, coba deh liat cermin! Persis gembel, kan?"
Mera yang sibuk dengan keripik kentang sedikit terusik melihat pantulannya. Benar, persis gembel. Rambut Cepol berantakan, kacamata bulat, remahan keripik menempel dimana-mana. Gak ada hal yang patut dibanggakan dalam dirinya. Ia sendiri bingung.
"Ah, biarin! Lagian mana ada orang rapi diam di rumah."
"Ya ... setidaknya perbaiki style lu! Gimana mau dapat pacar dengan bentukan gini!"
"Eh, congor ya! Bentukan gue good good aja. Depan belakang padat."
"Lu kira modal body doang bisa gitu dapat pacar? Yang ada lu dimanfaatin, bege!"
"Trus lu kira nyari pacar modal tampang doang? Kalau mau pacaran model gituan banyak. Tapi, nyari yang bener tulus itu susah. Kalau aku sih yang penting match, nyaman, searah, good people, sama good rekening sih, hihi ..."
"Matre lu!"
"Normal! Itu artinya gue kenal duit."
"Yayaya, terserah lu! Capek ngomong sama samsak! Patutlah Mak Tiah hobby banget nge-rap."
"Hihi, bagus lah, itu artinya Mak gue punya bakat. Tapi kayaknya Mak gue kalau battle rap sama Ruka YG masih menang Mak gue deh!"
"Iyalah, secara anaknya aja sejenis lu, gimana gak komat kamit tuh mulut."
Benar. Bahkan Mak Tiah kualahan menghadapi gadis bungsunya. Umur sudah 23 tapi masih saja menolak menikah, padahal gadis sebayanya di kampung rata-rata sudah punya buntut, sedangkan dia masih dengan santainya berleha-leha sambil nyemil keripik kentang tanpa beban.
Kalau ditanyai kapan mau nikah, sudah pasti jawabannya, "lagi gak kepengen dulu!"
Menurut Mera, gak apa menikah telat asalkan dengan orang yang tepat. Karena gak sedikit kasus perceraian akibat menikah tanpa kesiapan. Siap ilmu, mental dan ekonomi.
Dan satu lagi, ia sedikit parno dengan hal-hal yang berbau malam pertama. Akibat sering direcoki cerita berunsur plus oleh temannya membuat Mera semakin lantang menolak menikah.
Tiap ngumpul keluarga topik utama pasti nge-review kelakuan Mera. Semakin hari semakin jadi.
"Eh, gak pulang lu? Ntar dicariin suami," usir Mera.
"Iyalah, indahnya ada yang nyariin. Gak kaya situ, ilang aja gak ada yang nyadar, huhu ..."
"Bangke emang! Syuh syuh ... sana! Gue mau nemenin ayang membasmi hama-hama jahat, kaya lu!"
"Pantengin aja tuh HP sampe gila!"
"Ho'o, gila sama kegantengan Ayang Il-Ha gue."
Gak ada yang lebih baik selain Drama Korea, menurutnya. Apalagi sekarang lagi viral Duty After School, drama yang digandrungi berbagai kalangan. Pesona main-cast juga tidak main-main. Bahkan, Mera rela bergadang cuma demi 6 episode dalam semalam, untung aja masih on going. Gak kebayang kalau 16 episode rampung, sepertinya akan ada muka zombie part 2.
Begitu Fitri keluar, Mera lanjut menonton. Gak ada yang membekas sama sekali. Ia sering dinasehati perihal yang sama oleh orang yang berbeda, tetap saja konsisten dengan dirinya saat ini. Menikmati hidup tanpa beban.
"Meraaaaaa ..." Panggil Mak Tiah dari dapur.
"Iyaaaa ..."
"Tolong belikan garam ke warung!"
"OKE!"
"Jangan teriak-teriak! Mak gak budeg!"
"Mak duluan yang teriak!"
"Terus kamu ngapain ikutan teriak? Udah sana!"
"Yeee salah sendiri juga!" Gerutu Mera.
Daripada mendengar rapper keluarga Yunus ngamuk lebih baik bergerak cepat. Gardigan mencolok tak membuatnya insecure, apalagi dipadukan dengan daster terang. Lagian semua orang juga khatam gimana kelakuannya selama ini. Toh, ia gak ambil pusing pendapat orang lain.
Dalam perjalanan ke warung, mata Mera menangkap sesuatu yang baru. Yah, sepertinya ada yang baru pindah ke komplek ini. Dari bau-baunya sih tercium dolar. Terlihat jelas dari brand yang mereka gunakan.
"Wak, beli garam 5000, Indomie 3, sama lollipop 1!"
"Sebentar, ya!"
Selesai dari warung Mera langsung pulang karena harus menuntaskan drama-nya.
Bugh!
"Etdah, bokong gue!" Teriak Mera.
"Eh, maaf maaf."
"Makanya, situ kalau jalan tuh pake mata! Eh, pake kaki! Eh, gimana, sih? pokoknya manfaatkan anggota tubuh dengan bener! Jangan sampai nabrak orang," omel Mera.
"Iya, maaf. Sini, biar saya bantu!"
"Gak usah, gue masih bisa bangun sendiri."
"Pa ..."
Seorang bocah mendekat. Ia sembunyi dibalik kaki pria di depan.
"Kenapa, hm?"
"Mau permen. Tadi udah janji beliin permen," cicit bocah tersebut, namun masih terdengar oleh Mera.
Melihat lollipop dalam plastik bening itu terindra oleh bocah di depan, dengan cepat Mera sembunyikan ke belakang. Biarlah dikata pelit, lagian masa rumah segede itu gak mampu beli permen yang harganya gak sampai 2000.
"Iya, sebentar ya! Nanti kita beli permennya."
"Mau permen yang itu!" Tunjuk bocah itu ke arah Mera.
"Iya, nanti kita beli. Itu punya kakak."
Mera merasa aneh dengan situasi saat ini, mau pergi takut itu anak nangis, yang ada dituduh menganiaya bocah. Mau ngasih tapi gak rela.
"Huaaa ... Mau yang itu! Permen yang itu!" Teriaknya histeris.
"Beli aja sana di warung!"
"Gak mau, mau yang itu! Itu!"
"Boleh gak permennya ..."
"Gada gada, itu di warung masih banyak kok!"
Mendengar perkataan Mera, bocah tersebut semakin mengencangkan suaranya hingga menarik perhatian warga.
"Huaaa ..."
"Pak, gimana sih anaknya didiemin tuh!"
"Kita beli sekarang, yuk!" bujuknya. Tetap saja gak mempan, bocah itu semakin menjadi-jadi.
"Mer, lu apain anak orang?" tuduh tetangga yang lewat.
"Eh, bukan gue. Nih anak nangis sendiri!"
"Mau permen itu!" Adu bocah yang entah berantah namanya siapa.
"Kasih aja Mera! Permen satu aja pelit!"
Nah kan, kena lagi gue. Emang paling sial kalau berhadapan sama bocah kematian.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemburu Duda!
General FictionSering ditakuti malam pertama membuat Mera enggan menikah. Namun, apa boleh buat umur terus meningkat dan orang tua gencar menanyai perihal mantu. Hal tersebut sangat membebaninya. Hingga sebuah ide gila muncul. "Kenapa gak nikah sama duda aja? buy...