Takdir yang Mana?

6 2 5
                                    

"Tidak akan kubiarkan kau menghancurkan kehidupan putriku,"

Teriakan itu menggema di sisi hujan yang tak berhenti turun, membuat wanita yang baru saja melahirkan anaknya itu basah kuyup dan bayi di tangannya menangis keras. Orang-orang yang mengelilinginya hanya tertawa hambar menanggapi teriakan si Wanita.

"Sudahlah, suamimu tak akan datang dan menolongmu. Kau itu saudara dari istriku, aku juga pernah mencintaimu, bahkan sekarang aku masih mencintaimu. Jadi, berikan anak itu!" Tegasnya.

Mata si wanita bergetar, bukan akibat kedinginan karena guyuran air hujan, tetapi karena takdirnya yang selalu membawanya untuk mempertaruhkan banyak nyawa, dan sekarang itu nyawa putrinya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya cepat, menolak memberikan sang buah hati.

"Masih mau membantah?"

Tanpa pikir panjang, si wanita berlari sambil membawa bayinya. Mungkin tak sekencang sebelum melahirkan, tetapi ia bisa membawa bayinya menjauh dari para penjahat itu. Setelah bersembunyi di suatu tempat, ia berusaha untuk tidak ketahuan dan menunggu bantuan dari orang-orangnya.

"Nyonya," seseorang menghampirinya.

"Syukurlah kau datang, tolong bawa putriku dan lindungi dia." Ucapnya memberikan bayinya.

Dia menatap bayi yang kini berada di gendongannya, melihat bayi cantik. Tanpa berpikir panjang, ia membawa bayi itu lari. Tetapi lagi-lagi takdir tak berpihak pada mereka, orang-orang yang tadi mengejar si wanita, menghadangnya di tengah jalan.

"Berikan," ucapnya.

Bayi itu langsung direbut dari tangannya tanpa perlawanan apapun. Lalu mereka membawanya, jauh dari kedua orang tuanya.

****

(17 Tahun kemudian)

"Akan kuberikan satu juta sebagai imbalanmu,"

Hah, sudah kuduga! Perlahan aku mengalihkan pandanganku menatap seorang pria yang berdiri tepat di samping kiriku. Pria itu terlihat sedang tersenyum sambil menyelipkan batang rokok yang telah ia bakar ke dalam mulutnya.

"Kenapa? Apa kau kesal? Beraninya kau menatapku seperti itu." Katanya sambil memekik keras.

Segera ku alihkan padanganku ke depan, sepertinya dia tahu aku memang sedang kesal padanya. Kurasa sekarang dia tengah menghitung uang satu juta yang barusan dia bahas denganku, padahal seharusnya aku mendapatkannya dua kali lipat. Aku hanya bisa menghela nafas berat. Bekerjasama dengan si brengsek ini memang pilihan yang buruk, lalu mau bagaimana lagi? Seperti inilah seharusnya.

Entah berapa jam pria bodoh ini akan menghitung uangku, ingin rasanya kupatahkan saja tangan yang telah menyentuh hasil jeripayahku itu. Aku kembali melirik sekilas uang di tangannya, kuperkirakaan sekitar dua puluh juta, sedangkan aku hanya menerima 1%.

"Ambil itu, bagianmu." Ia melemparkan uang satu juta itu tepat di kakinya.

Tepat di depan kakinya,

Orang brengsek sepertinya memang tak punya tangan untuk dipergunakan dengan baik. Bisa dilihat dari penampilannya yang lusuh dan menjijikkan, tubuhnya yang bongsor tak membuatku takut, aku memang sudah mengenalnya selama bertahun-tahun. Jangan tanyakan kenapa aku terjebak dalam dunia yang sama dengan orang-orang brengsek ini, karena ini memang kehidupan yang sesungguhnya.

Terlepas dari perlakuannya padaku, aku sama sekali tak peduli ataupun menggubris, segera ku bungkukkan tubuhku dan memungut uang pecahan 50 itu. Bisa kupastikan sekarang ia tengah menyeringai melihatku berada tepat di depan kakinya.

"Aish, kenapa wajahmu seperti itu? Apa kau kesal padaku? Hah! Jawab aku!"

Dia menarik rambutku kuat hingga membuatku spontan berdiri dan menggenggam tangannya yang berada di rambutku. Tarikannya begitu kuat, hingga kulit kepalaku seperti ingin terkupas. Aku hanya meringis kecil menatap wajahnya yang berada 10 cm dari depan wajahku.

Our Relationshit LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang