Niat Baik

2 0 0
                                    

Lanang yang masih berdiri dan Embun dengan posisinya yang sama saling beradu pandang. Perlahan, wanita itu menarik lembut kaki Lanang sampai membuatnya kembali duduk.

"Kakimu terluka dan ini akan menjadi infeksi. Aku hanya ingin membersihkannya lalu memberikan obat," jelas Embun dengan tutur kata yang lemah lembut.

Lanang menelan ludahnya karena merasa terharu dan terkejut dalam bersamaan. Tutur kata Embun tetap saja lembut biarpun dirinya terus saja berteriak dan berkata kasar. Tangan mungil itu dengan telaten membersihkan lukanya.

"Apa dia sedang bersandiwara menjadi sosok ibu yang baik untukku?" batinnya penuh tanya.

Lanang yang sibuk dengan isi hatinya pun sama sekali tidak menyadari saat Embun memanggilnya. Berulang kali, gadis itu memanggilnya lalu memilih pergi begitu saja karena tidak ingin mendapatkan amukan kembali dari Lanang.

"Sedikit-dikit marah, sedikit-dikit diam membuat bingung orang saja," gerutu Embun seraya membersihkan kedua tangannya.

Di dalam rumah besar itu, Embun yang menjadi Nyonya Ganang pun tidak hanya tinggal diam duduk manis. Gadis itu menyibukkan dirinya mengerjakan sesuatu yang tak di ketahui oleh suami dan anak sambungnya.

"Pekerjaanku semakin menumpuk. Padahal, baru saja satu pekan aku berada di Indonesia," keluhnya seraya menutup semua email yang ada.

Terdengar suara ketukan dari luar kamarnya dengan nada yang keras berulang kali membuatnya bergegas membuka pintu kayu berukir itu dan terlihat Lanang yang tengah berdiri di sana.

"Lanang," panggilnya lirih.

"Ya, ini aku. Memangnya, kenapa?" tanya Lanang dengan nada menjengkelkan.

Embun yang mendengar itu cepat-cepat menarik napas panjang seraya memejamkan matanya sebentar sebelum menghadapi nada tinggi Lanang. Ia pun mencoba tersenyum dan tenang.

"Aku tahu itu dirimu. Maksudku, ada perlu apa?" tanya Embun dengan suara lembutnya.

Lanang mengerutkan keningnya, ia baru saja melihat dua ekspresi yang berbeda dari Embun dan itu semakin membuatnya yakin. Jika nyatanya, sosok ibu sambungnya ini memiliki tujuan tertentu pada sang ayah.

"Apakah seperti ini caramu memikat lelaki di luar sana?" tanya Lanang dengan nada mencemooh.

"Memikat?" Embun semakin di buat tidak mengerti dengan ucapan anak sambungnya tersebut.

"Kau berlaga bodoh di depanku. Tidak akan pernah berpengaruh padaku!" sungutnya seraya menunjukkan raut wajah garang.

Embun masih mencoba mencerna apa yang di katakan Lanang seraya berkata dalam hatinya. "Memikat? Apa maksudnya itu dan menjadi wanita bodoh. Apakah dia berpikir kalau aku memiliki niat jahat pada Tuan Ganang?"

"Lanang, jika kau kemari hanya untuk memcelaku dan berpikir yang buruk tentangku. Sebaiknya, kau pergi saja karena aku sedang tidak ingin berdebat," tutur Embun mencoba tegas.

"Kau memerintahku!" seru Lanang tak suka.

"Terserah bagaimana pikiranmu akan diriku. Dari pada mendengar ocehan menyakitkan dari mulutmu aku akan lebih senang kau berterima kasih karena aku sudah mengobati lukamu," jelas Embun dengan mata yang berkaca-kaca.

Lanang membulatkan matanya saat melihat wajah cantik itu yang biasanya tersenyum kini terlihat begitu sendu. Entah mengapa, ia pun merasakan sakit di dalam dadanya.

"Aku tahu jika kau tidak menyukaiku. Tapi, tolong setidaknya lihatlah hal baik yang ku lakukan sebelum kau memikirkan hal keji padaku," lanjut Embun seraya menutup pintu kamarnya.

"Hey, Embun. Buka pintunya!" titah Lanang seraya mengetuknya berulang kali dengan sekuat tenaga.

Beberapa pelayan yang melihat itu pun merasa iba pada Embun yang memang begitu baik. Sikap Lanang yang biasanya ramah pun kini berubah dingin dan menjadi pemarah setelah melihat Ganang sang ayah yang menikahi Embun sebagai istrinya.

Di balik pintu, Embun duduk bersimpuh dengan air mata yang sudah meleleh deras. Hatinya begitu sakit saat melihat Lanang menatap cemooh dirinya, gadis itu benar-benar menumpahkan semuanya dengan menangis.

"Kenapa rasanya sangat sakit saat melihat sorot mata itu seakan jijik memandangku. Menatap rendah diriku," lirih Embun sembari menepuk dadanya yang sakit.

Lanang masih mematung di depan pintu pun terlihat gusar, ia pun memilih pergi dari sana dengan segala rasa kesal, marah dan sedikit menyesal.

"Ada apa dengan Tuan Muda Lanang? Bukankah, dia pemuda yang baik," ucap salah satu pelayan.

"Ya, pada kita saja dia begitu sopan tetapi kenapa pada Nyonya muda sikapnya sangat kasar," timpal yang lainnya.

"Hust! Kita tidak boleh ikut campur urusan tuan kita. Berdoa saja, Tuan muda bisa bersikap baik pada Nyonya muda," harap pelan itu.

Hari berganti malam, Embun masih menantikan kepulangan sang suami Tuan Ganang. Tak ada kabar dari lelaki itu setelah makan siang tadi, rasa khawatir menyelimutinya. Lanang yang ternyata berada di dalam kamarnya pun terus memperhatikan gerak-gerik sang ibu sambung.

"Hah! Kini dia bersandiwara menjadi sosok istri yang baik dengan menunggu kepulangan suaminya," cemooh Lanang.

Ya, lelaki muda itu masih saja berpikir buruk pada Embun. Tanpa dirinya tahu jika antara ayah dan gadis cantik itu tidak terjadi apapun setelah pernikahan selesai.

Embun yang masih menunggu di depan teras pun mendapatkan kabar jika suaminya Ganang tidak akan pulang karena harus menghadiri acara di Kota B dimana anak perusahaannya berada.

"Hm, jadi hari ini Tuan tidak pulang. Tuan terlalu keras dalam bekerja," ucap Embun dengan wajah khawatir lalu beranjak masuk.

Di dalam dapur, ia pun mulai menyibukkan dengan bahan-bahan makanan. Makan malam yang dia buat untuk dirinya dan Lanang, ia tahu jika kejadian pagi tadi membuatnya dan Lanang semakin menjauh.

"Aku tidak akan menunggu datang untuk makan. Hari ini, aku sudah lelah dengan semuanya." Embun terus bermonolog sambil menyajikan semua makanan di meja.

Anpa dia sadari, Lanang keluar dari kamarnya dan segera duduk di kursi untuk makan. Embun yang melihat itu pun terkejut dan segera memalingkan wajahnya. Suasana makan malam saat itu begitu hening dan sangat canggung.

"Bi, tolong nanti bereskan semuanya. Saya sudah selesai makan dan tolong bawakan teh hijau ke kamar," pinta Embun dengan suara lembutnya.

"Kau tidak menghabiskan makananmu!" seru Lanang seraya menatap piring yang masih penuh.

"Aku sudah kenyang. Maaf, saya kembali ke kamar terlebih dahulu," jawab Embun dengan nada datar.

Ketiga pelayan itu kembali merasa takut dengan perubahan wajah Lanang yang mulai terlihat marah dan kesal lagi saat Embun pergi dari ruang makan.

"Kunci rumah, aku tidak akan pulang sampai besok!" titah Lanang seraya beranjak pergi.

Lelaki muda itu pun memasuki mobilnya dengan amarah yang sangat memuncak. Sedangkan, nyatanya dirinyalah yang mempunyai masalah tersendiri dengan hatinya.

"Ya, ampun. Kenapa suasananya menjadi mencengkam seperti ini?"

"Tidak biasanya mereka berdua bersikap seperti ini saat ada Tuan besar Ganang."

"Hm, kita tidak tahu bagaimana pikiran mereka. Keduanya masih sangat muda dan masih labil."

Embun menatap nanar kepergian Lanang dari rumah, ia merasa sangat sedih mengingat ucapan Lanang padanya, apapun yang dilakukannya terlihat salah di mata lelaki tampan tersebut.

"Ucapanmu masih berbekas di hatiku. Walaupun, nyatanya ku mencoba melupakannya." Embun membalikkan tubuhnya seraya memeluk dirinya sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 24, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mencintai Wanita Ayahku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang