Di depan kelas, terdapat sebuah taman kecil dengan gazebo kecil yang dinaungi pohon-pohon rindang. Embun pada tanaman hias dan suara air mancur yang berada di sekitar taman itu begitu menyejukkan. Setiap pagi, aku duduk di sana selama 20 menit untuk menulis jurnal harianku sambil menunggu bel masuk sekolah. Namun, akhir-akhir ini aku tidak dapat menjalankan rutinitas itu, beberapa siswa lain tampak menggunakannya sebagai tempat untuk berkumpul. Itu berarti aku harus menetap di ruang kelas atau mencari tempat baru.
"8 November ------------
Hari yang membosankan selanjutnya, pagi ini aku kembali menulis jurnal ini di kelas.
Tampaknya tidak ada satu pun yang menjalankan piket kelas hari ini, kelas begitu kotor, botol minuman dan kemasan berserakan di dalam kelas, papan tulis masih penuh dengan catatan mata pelajaran kemarin. Aku terpaksa memunguti sampah-sampah itu dengan kedua tanganku karena alat-alat kebersihan kelas sudah hilang entah kemana. Untungnya ada seseorang yang tanggap dan membantuku memunguti sampah-sampah itu, aku rasa namanya Alamanda."Aku menutup buku jurnal harianku dan berniat meletakkannya kembali ke dalam tas. Tiba-tiba, seorang anak laki-laki yang bahkan aku tidak berniat mengingat namanya merampas buku itu. Daniel- nama anak itu, ia membacanya dengan keras hingga seisi kelas mendengar. Rasanya sudah begitu memalukan jika seseorang membaca jurnal harianku, apalagi ketika ada yang membacakannya di depan kelas. Semua orang di kelas menunjukkan reaksi yang beragam, ada yang berbisik-bisik, tertawa mengolok-olok, dan sebagian menatapku dengan tatapan aneh.
"Apakah dia mencatat nama kita juga di buku hariannya?"
"Setelah 4 bulan berlalu dia bahkan tidak yakin dengan nama teman sekelasnya."
"Apakah Azalea menyukai seseorang dari kelas kita? Haha"
"Kenapa kita harus sekelas selama 3 tahun dengannya."Sekejap aku ingin memperhatikan reaksi Alamanda yang namanya terdapat dalam jurnal harianku, namun kuurungkan. Ah sial- kurasa tatapannya juga sama seperti yang lain.
Tubuh Daniel yang tinggi membuatku kesulitan mengambil kembali buku itu dari tangannya. Karena kesal, tanpa pikir panjang aku memukul perutnya, cukup keras hingga ia merintih kesakitan dan langsung membalas dengan melemparkan buku jurnal harianku ke arahku hingga mengenai wajahku. Memang terasa sakit, tapi akhirnya aku mendapatkan kembali jurnal harianku.
Beberapa teman perempuan di kelas berteriak heboh. Beberapa juga tampak kaget dengan tindakanku. Teman-teman Daniel mulai mendekat, dan dari tatapannya aku tau mereka berniat membalas apa yang telah aku lakukan pada Daniel, salah satunya juga telah menggulung lengan bersiap untuk memukul. Beruntung teman-teman perempuan di kelas mencegah mereka.
"Hei sudahlah! Kalian ingin melawan seorang perempuan?"
Daniel dengan mulutnya yang lentur menjawab "Memangnya dia perempuan? Lihat saja penampilannya haha, menjijikkan! perempuan berpenampilan seperti laki-laki!"
Aku begitu marah mendengar perkataan Daniel, tanganku panas ingin memukul wajahnya. Namun, saat aku melangkah maju, seseorang menahan lenganku. Aku pun menoleh ke belakang, kulihat Alamanda memegang erat lenganku, dari wajahnya ia seperti memohon agar aku mengurungkan niat.
Tanpa tau alasannya, rasanya air mataku akan mengalir, mungkin karena bekas lemparan buku di wajahku yang mulai terasa sakit atau karena ini pertama kalinya seseorang memohon kepadaku untuk membuatku berhenti berkelahi. Karena aku tidak ingin orang lain melihatku menangis, akhirnya aku melepaskan pegangan Alamanda dan berlari keluar kelas.
Sudah 15 menit aku berada di bilik toilet, menangis tanpa suara. Ini sering terjadi di sekolah menengah pertama setiap aku berkelahi. Biasanya pukulan orang lain begitu menyakitkan hingga membuatku menangis, tapi kali ini aku tidak tau aku menangis karena apa. Bel masuk sekolah sudah berbunyi 10 menit yang lalu, Guru Fisika pasti akan mencatatku sebagai Absent karena terlambat masuk kelas. Ah, aku benar-benar tidak berniat kembali ke kelas.
YOU ARE READING
Wilted Yellow Flower
Teen FictionIni adalah sebuah cerita tentang seorang penyendiri yang merasa mempunyai sahabat untuk pertama kalinya. Ia mengira persahabatan adalah hal terindah yang akan selalu kokoh selamanya. Tanpa ia sadari, ekspektasi itu malah menghancurkan dirinya.